Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[3] Ramonsky, No More Noisy!

3 Oktober 2016   15:02 Diperbarui: 3 Oktober 2016   15:05 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ramonsky, No more noisy!

“Mum!”

Kali ini panggilan itu hanya pendek dan terdengar sekali. Padahal biasanya lolongan yodel itu baru akan berhenti bila nyonya rumah sudah berkacak pinggang dengan bola mata membesar tepat di depan putranya si Rowdy-boy yang as noisy as the creditor’s meeting..hihihi...

Di balik pintu koboi, pintu separuh badan pembatas antara rumah makan dengan rumah utama, Mum bersandar santai menantikan ‘Muun!’ berikutnya. Ia tak lantas tergopoh seperti yang sudah terjadi sekian lama ini. Lalu diam-diam, batinnya pun mulai mengeja angka.

Satu, dua, dan Mum lekas tersenyum simpul kala panggilan itu tak kunjung berkumandang. Sepasang matanya berkilat jenaka, angannya diterbangkan ke dalam kamar berdisain minimalis dan tak meninggalkan ide as a bachelor’s bedroom yang maskulin. Kamar Hardy ‘Noisy’ Ramonsky.

“A-apaa ini?” Ramon terbeliak, sulit percaya pada perubahan dramatis yang menimpa kamarnya. “Sejak kapan kamarku mendapat sertifikasi ISO9001:2015?!”

Sambil mengikat kepalanya dengan headband ala pemain sepak bola dunia, Ramon berjalan perlahan mengitari istana kecilnya itu. Matanya nanar sedang tangannya membelai satu demi satu perabotan kamarnya. Seperti biasa kamarnya itu selalu rapi jali. Tak nampak sebuah pena pun di atas meja. Tak ada dasi menjulur terjepit pintu laci. Semuanya serba well-organized.Yang berubah dan sangat mencolok dan membuat stress matanya adalah label yang tertempel dimana-mana. Dan ini sudah pasti tak dapat diingkari, yeaah, siapa lagi kalau bukan kerjaan si.....

Tok! Tok! Tok!

Ramon tergesa menyambar pintu. Dan dugaannya tepat akurat. Si biang kerok yang baru saja melintas dalam benaknya itu kini abrakadabra! muncul di depan batang hidungnya. Cengengesan dengan kepolosan seorang anak balita. Entah sengaja atau memang si nona gila ini tak melihat wajah Ramon yang terbakar, semerah mobil damkar.

“Sepertinya MasRamon tadi memanggil saya, ya?” wajah sesuci malaikat itu bertanya, walau tak urung senyum nakalnya gagal bersembunyi di sudut bibir Mum.

Alih-alih menggunakan hak jawabnya, Ramon lebih memilih tangannya sebagai unit reaksi cepat.

“Aduh, aduh! Sakit toh, Mas!” Mumum mengaduh. Tangannya disibukkan menahan rambut poninya agar tak rontok ditarik Ramon. Rasa pedih yang dirasakannya cukup mewakili level amarah yang berkecamuk di hati Ramon.

“Apa-apaan ini, haahh?!” pekik Ramon, lalu dengan gemas ia meninju tiap label itu. Buk! Buk!

“Loh, mosok MasRamon ngga bisa baca sih?” Mum masih berani bertanya pula.

Lo! Lo! Lo itu yah! Auugh...,” rahang Ramon beradu, menahan diri agar tak berlaku kasar lagi. Sekarang juga cabut semuanyaaa! Hari ini jugaak!”lalu melampiaskan kekasaran itu pada pintu.

Mum menjulurkan lidahnya, selepas kepergian Ramon tentu. “Ughh,lah wong dibuat sistematis biar enak, biar ngga perlu teriak-teriak setiap hari, eeh, malahngamuk-ngamuk seperti banteng ketaton,” sambil menggerutu sendiri, tangan Mum berusaha mencabut label ‘kaus-kaki’ dari laci tempat kaus-kaus kaki milik Ramon tersusun rapi. Lalu mencabut label ‘pulpenand the gang’ dari muka laci tempat menyimpan alat tulis dan ragam stationery. Lalu melepas label ‘underwear’ dari laci besar yang menampung semua pakaian dalam milik Ramon. Lalu label ‘dasi’, dan label-label lainnya.

Hiks! Mungkin ini juga yang membuat dia marah,” Mum tersenyum geli saat melepas label bertuliskan ‘Photo Pacar’ yang melekat erat di atas pigura dimana gambar Sintiya terperangkap cantik di dalamnya.

Fiuh! Mum-Mumum..., iseng juga sih lo! Segala photo ditempeli label, keset ditempeli label, tempat sampah, tempat topi, mug, laptop, gitar, bola dan keranjang basket, nyaris tak ada barang perabot dalam kamar Ramon yang tak dilabeli.

Sesaat Mum tersenyum puas, memuji hasil kreasi yang menurutnya pantas mendapat reward dari MURI. Kemudian menarik nafas berat bila terkenang malam-malam ia mengetik, melaminating, lalu menggunting tiap label itu, dan sembunyi-sembunyi menempelkannya disaat Ramon lama menghabiskan waktunya entah dimana dan bersama siapa. Hmm, lagi-lagi sebuah adagium, bak alu pencungkil duri...

[bersambung]

-cerita sebelumnya:

[1] Mum vs Mon

[2] Kaus kaki Ramonsky

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun