Mumum vs Momon
-o0o-
“Mas Momon!”
Pria berambut tak jelas hairstyle-nya itu mencokok lubang telinganya dengan ujung telunjuk. Lalu meremas rambutnya penuh gemas. Jangkrik si Mumum itu!
“Mas Mom...”
“Buka lagi mulut ember kau itu, atau kutempel lakban!” hardik Ramon.
Tak jelas sejak kapan Mum memanggilnya dengan nama badut semacam itu. Seingatnya, dulu semasa ingusannya, bocah itu tak pernah jahil dan selalu patuh menurut apalagi beride nakal dengan memanggilnya ‘Momon’. Siwalun!
“Kenapa mesti gerah sih, Mas? Lah, Momon itu kan kependekan dari Ramon,” jelas Mum serius. “Saya juga tak pernah marah-marah dipanggil Mumum-lah, Mumun-lah, Mumi-lah. Malah adakalanya Mas Momon panggil saya, Munyuk. Itu jauh lebih melanggar batas kemanusiaan, tapi saya selow,” dan bibir Mum pun ndawir.
“Karena Mumun, apalagi Munyuk, pas bener dengan profil kamu.”
“Momon juga cucok tauk sama kamu,” sahut Mum tak mau kalah.
“Jelek tauk! Ntar aku dikira lelaki mehong!”
“Mas Momon inkonsisten juga sih! Suka mencemooh saya gembrot, tapi manggil saya, Mumi?!” cibir Mum berasa menang.
Bukan sekali ini, tengkar mulut terjadi meributkan nama panggilan. Tampaknya sia-sialah berharap Mumum membuka kerelaan hatinya untuk tidak memanggilnya Momon. Seperti dia yang juga sulit menjaga keseleo lidahnya dari nama panggilan ‘Mumum atau Mumun’. Walau nama asli dan maknanya sama cantiknya, namun baginya Mumtaz Hannah sangat tidak mengindonesia. Terlalu berbau rempah India, sedang sosok perempuan di depannya ini pun jelas sangat tidak mewakili keindahan apapun. Beuh! Tapi Ramon juga sangat tak rela nama bagusnya menjadi bahan olok-olok Mum.
“Kalau kau masih sebut-sebut Momon, maka sama saja kau menghina ras unggul nan hebat, ras Aria papaku,” tuntut Ramon.
Mum melet, pamer lidah tak bertulang. Gadis itu sudah tak heran lagi dengan kebanggaan Ramon pada nama dan darah kental Aria yang sangat disanjungnya, darah sang papa.
“Hitler kok dibanggain sih Mas? Udah tampang ngga macho blas, sebelas duabelas sama badut Chaplin, sadis pula!” celetuk Mum asal.
“Baca!” Ramon menyodorkan copy akte kelahirannya dengan kasar ke wajah Mum.
“Haitss!” Mum terbersin-bersin. “Subhanallah, Mas! Kertas apaan nih, baunya kok seperti koran bekas bungkus jengkol?”
“Iqra! Iqra!” jerit Ramon.
“Saya sudah lulus Iqra-6, Mas Momon!” Mum pun meninggikan satu oktaf.
“Sekali lagi kudengar kau panggil Momon…,” ancam Ramon dengan wajah tak main-main.
“Dan sekali lagi saya dengar Mas Momon panggil saya Mumi, Munyuk…,” Mum melempar balik ancaman.
“Dan mau apa kau?!” dagu tinggi Ramon menerima tantangan Mum.
“Tidak ada es teh bunga roselia dengan perasan jahe merah,” demikian ultimatum Mum.
“Aku bisa minta Rumi yang buatin,” elak Ramon.
“Tidak ada Mie Soba dengan irisan asparagus segar. Tak ada yang bisa membuatnya, tidak juga Rumi yang hanya pandai membuat sega bumbu mugana.”
“Terserah, toh aku pun sedang bosan dengan soba itu.”
“Ya sudah. Aku mau bilang ke ibu supaya dibebas-tugaskan dari kerja bebenah rumah utama,” ketok palu Mum.
“Terus siapa yang akan membereskan kamarku?”
“Ya Mas Momon sedirilah...,” senyum Mum sarat kemenangan.
“Moman-momon! Ramon, titik! Apa susahnya sih? Dasar kau Mumum… Mum mumtah aku menyebut nama Mumum!”
“Sama. Saya juga mo… mo… moncer di jamban kalau sebut nama Momon!”
Dan pada akhirnya tak tercapai kesepakatan apapun di antara keduanya. Hardy Romansky harus pasrah menerima panggilan Momon sebagai kependekkan Ramon begitulah mengacu pada penjelasan Mum sebelumnya. Adapun Mumtaz Hannah juga harus ikhlas dipanggil Mumum. Sesekali Mumi atau Mumun menyesuaikan situasi dan kondisi. Tapi Munyuk?
“Semua orang juga akan berkata saya terlalu cantik untuk dipanggil Munyuk,” ujar Mum kalem.
“Oke dweeh, Mum Gembrot.”
“Bukan gembrot, Mas, ini semok namanya. Justru menurut Mas Patriot, body saya ini minta ampun sexy-nya, ” Mum tak kehabisan kata.
[bersambung]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H