“Suer!”
Sepasang cicak abu-abu, tokek berbintik dan para hantu yang bersembunyi di sela antara plafon dan tembok pun serentak meleletkan lidah. Pret! Pret! Pret! Ini sungguh sebuah scene malam pengantin yang paling membosankan yang pernah ada. Begitu gerutu Cicak dan sejawatnya.
Benar apa katamu itu, Cak. Siapa sangka, kita akan menjadi penonton bodoh seperti ini. Ini jauh lebih menjemukan dari sidang para anggota dewan di gedung DPR. Tokek pun terhasut menggerundel.
Sejenak suasana mengheningkan cipta. Sepasang cicak, tokek dan para hantu berdebar menunggu adegan berikutnya. Tapi Rin, sebagai aktris utama malam itu, hanya tertunduk dengan wajah bersapu merah jambu. Jari-jemari berinai itu sibuk memilin ujung kerudungnya. Sedang aktor utamanya, Gen, pun tampak serba salah. Sang pengiran begitu tak berkutik, ia hanya duduk mematung di atas peraduan beralas sprei bertabur kelopak-kelopak mawar.
“Ya, sudah,” akhirnya Rin memecah kesenyapan. “Bagaimana kalau keindahan malam ini, ehm… kuawali dengan…,” Rin menggantung kalimatnya. Lalu kedua belah tangan berhias mehendi itupun ditangkupkan rapat menutupi wajahnya. Kemudian, perlahan-lahan Rin mulai menyingkap kerudung berekor meraknya.
Sepasang cicak sontak tercekat. Temannya, si Tokek, menelan lidah lengketnya. Adapun para hantu saling bertaruh tentang apa yang akan dilakukan Rin, si pengantin wanita.
Gen mengumbar sorot matanya, takjub melihat apa yang sekian puluh tahun ini hanya ada dalam mimpi-mimpinya belaka. Rambut berkepang itu kini benar tampak nyata. Di matanya, Rin seperti kembali meremaja.
“Kau dulu sangat suka dengan kepang rambutku. Tapi sekarang, nampaknya kau kehilangan minat ya?” Rin mengeluh manja.
“Tidak, Rin. Aku tak pernah kehilangan minat terhadap dirimu seutuhnya, barang semenitpun. Sungguh!”
“Haiyaah… gombal suwek! Buktinya kau hanya membelai-belai rambutku saja.”
“Lantas harus bagaimana? Masakan harus aku jambak rambut bagusmu itu.”