Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Koper-koper Delilah

18 Januari 2016   15:50 Diperbarui: 18 Januari 2016   23:45 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Hello, Sweetheart!”

Delilah mempersembahkan senyum menawan teriring geliat menggoda sebagai balasan sapa mesra itu. Benar, jam kerjanya telah pun diawali sejak pada saat itu. Ia lalu duduk merapat dengan manja seraya memagut tepat di gerbang bibir yang sontak menyambutnya suka cita.

Aaah… Ya, Dan di atas roda-roda gagah yang mencengkeram kuat aspal bebas hambatan, Delilah bersemangat menebarkan pesona. Membiarkan jemari bergerilya liar. Mengijinkan setiap sentuhan secepat Bugatti bertenaga 7000-an cc yang berlari senyap, nyaris tanpa suara itu, laksana terbang membawanya ke landasan jet carteran. Koper-kopernya diam membisu dalam kungkungan bagasi tak jauh dari singgasana belakang tempatnya beradu nafas.

Dua hari di Bahama. Tiga hari di Karibia, Necker island tepatnya. Dan benar, tak satupun muatan si Merah-Jingga yang dikeluarkan Delilah. Bahkan kopernya kini bertambah. Ou, lucunya, padahal ia yang berenang-renang dengan peluh dan produk ejakulasi, mengapa justru kopernya yang beranak-pinak?

Tiga? Aih, kau itulah sekedar kotak tak bernyawa, tapi banyak dan cepatnya kau berpinak. Delilah menatap nanar koper-koper barunya. Pelayanannya jelas memuaskan, itu sudah pasti. Pulau-pulau eksotis itu saksi kerja kerasnya. Tak hanya Mr. Perfect yang harus dibuatnya tersenyum puas, tapi pada kolega bisnisnya pun Delilah harus membuatnya terbahak. Bukankah kepuasan diawali dari senyum, disetujui oleh tawa, dan diakhiri dengan koper-koper. Maka tak heranlah bila Delilah menjadi apple’s of the daddy’s eyes, bagi Ma’am, bagi kerajaan yang telah mengelola dengan sangat baik kinerjanya, dan tentu, bagi para Mr. Pis.

Satu koper mendapat perhatian khusus Delilah. Mata bulat besar sayu yang membangkitkan buluh perindu itu, tajam mengira-kira. Dolar atau rupiah? Delilah bertaruh pada dolar. Dan itu semua miliknya. Ma’am dan organisasi yang menaungi profesionalitasnya pun sudah mendapat persekotnya sendiri. Sebab mereka adalah keluarga besar yang saling menjaga dan melindungi. Mereka bahkan menggaji tim medis tersendiri untuk memantau kesehatan para bidadari seperti Delilah.

Hm, akan dikemanakan lagi mata uang itu? Mata Delilah menerawang langit hitam tanpa bintang. Mencari ruang tersedia bagi koper-kopernya. Sebab semua rumah ibadah, panti asuhan, panti jompo, badan-badan social, sudah pernah mendapatkan hibah rejeki besarnya itu. Namun kini Delilah harus sedikit menahan diri. Terlalu murah hati, orang pun akan kasak-kusuk tentang muasal koper-kopernya.

Hanya seorang saja yang tak sudi menerima kopernya. Dan tidak apapun yang berasal dari dirinya. Tidak sebatang tusuk gigi, apalagi mata uang yang berkuasa merombak gubuk berdinding separuh bata separuh anyaman bambu, nun jauh di kampung tak terpetakan. Betapa ingin Delilah memugar gubuk itu menjadi setegar istana kepala negeri ini. Namun orang itu, satu-satunya kerabat sedarah yang Delilah punyai, lebih baik berkalang tanah daripada menerima kebaikan hati Delilah. Ibu sungguh tak perlu fatwa haram dari pemangku agama untuk semua kopernya.

Delilah menangis tanpa isak, hanya lelehan air mata di sudut bernaung bulu lentik, yang tak lama ia biarkan membasahi pipi putih halus mulus tiada noda. Ia lekas memindahkan angannya tentang ibu pada satu koper lain yang dipastikan memuat ragam cindera mata. Yang berharga Delilah akan simpan. Sekedar syal, fedora, woolen gloves, knitted hat dengan aneka style dan keceriaan warna, dan lain-lain, itu semua bisa menjadi milik Ma’am dan para staffnya.

Satu koper terakhir, apatah lagi dambaan wanita setelah gemerincing uang, kemilau perhiasan, jikalau bukan belaian sutra? Koper ini dengan beberapa couture dan prêt-a-porter atau ready-to-wear di dalamnya, masih akan menunggu keputusan Delilah, seperti nasib koper-koper lain yang masih berbaris tersimpan di ruangan khusus tepat di sebelah condo-nya.

Delilah membayangkan tubuh kurus ibu yang selama hidupnya hanya dibalut baju kurung dengan bawahan kain batik usang yang jemur-kering-cuci-pakai dan seterusnya begitu. Ibu tak pernah dihinakan dengan pakaian sederhana macam itu. Walau juga tiada hadir penghormatan pada kebersahajaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun