Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hajatan 2

25 April 2015   22:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:38 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1430030678743280840

[sewaantenda.blogspot]

-o-

Sst, sst, ini antara kau dan aku. Jangan sampai ada yang tahu. Poma-dipoma aja ngasi kewetu untu. Terutama simbokku. Perempuan konservatif yang kaku. Teguh berprinsip soal saru dan tabu. Sudah terbayang murka beliau. Kutak kuasa ber-jikalau. Sebab pasti kelak kukena halau. Seperti halnya para perawan di masa lampau.

“Aih, kamar pengantinnya luar biasa cantik!” kerabat memekik.

“Lihat, cing! Barang bawaan pengantin lakinya bejibun and so eye-chatching!” jeritan lain mendengking.

Di sudut harum, khas sebuah bride room, aku tersenyum, tak berani tampilkan rona gloom. Padahal kutengah terjeruji oleh atmosfir depresi dan melankoli. Gloomy? Di malam midodareni?

Ini tanggal sekian Dulhijjah. Merunut penanggalan Hijiriyah. Bulanku terlambat datang sepekan sudah. Walau jaman telah berubah. Dan millennia ini kan menyebutnya anugerah. Pada titik yang menempel dinding rahim serupa lintah. Nutfah. Namun tetap saja ada resah. Hadir dan memburu itu rasa bersalah. Di bilik kemurnian hatiku nun jauah. Terkenang nasihat mulia berhujah. Bukan bid’ah. Tentang wanita ibarat madrasah. Kawah walau tak seluas Jabbal Arafah. Namun sanggup meletupkan generasi para kabilah. Dan bukit wanita yang sama berharganya dengan Jabbal Rahmah. Sebab darinya mengalir sumber yang kan menghidupi ummah. Jagalah, jagalah! Jagalah jalan sempitmu wahai muslimah. Jalan penyintas neraka dan jannah. Jangan sepertiku, payah! Pengantin berias susah. Hujan airmata tumpah. Basah. Merah. Darah. Jalan sempitku terkoyak begitu mudah. Dijelajah. Sembarang diambah. Laiknya barang murah. Malam pertamaku tiada kesan indah.

Gusti Allah. Aku telah memercik ludah. Di wajah ibuku hajjah. Yang bangga berputri solihah. Sejak balita diajar pandai mengeja hijaiyah. Kini hanya waktu yang bergulir kian gelisah. Pikiranku menggundah. Akankah sang putra bernama haram jadah? Oh, sukma berontak marah. Lontarkan sumpah serapah. Bedebah. Sampah. Runtah. Sesal tiada berkesudah. Aku memang salah melangkah. Itu takkan kubantah. Namun masihku getir pada wejangan simbah. Anak molah bapa kepradhah. Kesunggah-sunggah. Rekasa ora lumrah.

Di tanggal dan hari yang dihitung rumit para eyang. Janur kuning terpancang. Demikian pula bokor sepasang. Bakal dudukan kembar mayang. Mataku berlinang. Abang mbrambang. Tampak bapak ibu tengah mabuk kepayang. Bermenantukan seorang pangerang. Ibarat ndaru jatuh dari pohon tempayang. Konon inilah buah dari doa dan sembayang.

It’s the D-day. Here comes my wed-day. Itu mature bule. Nduwe gawe, ngaten ngendikane budhe. Hajatan, kawinan, wis apa jare. Mataku luwe. Keberatan bulu mata false. Feeling blasé. Jemu menyaksikan semarak undangan ber-jubile. But still today is my big day. Aih, lucu kale ye, kalau aku nangis bombay. Di atas pelaminan semegah panggung Ariana Grande. Senyum lebar I spray. Yea. Yea. Walau tak selebar Bayur Bay. Dalam hati I pray. Mengamini doa dan harapan pada kartu-kartu ucapan berawal ‘Many blessing on your wedding day’.

Kumelirik pada sang maharaja bermahkota Siga, berselop suede. Padanya yang tlah kukatakan ‘I do I do I do’ seperti judul lagunya Abba penyanyi Sverige. Can’t help but think happy days are on my way. Sambil kutitipkan harap may our love burn brighter each day. Padanya, to the most well-groomed man… Doux Bébé.

“Vide!” seru seseorang takjub saat melewati sebuah kaskade. Tetamu lain mengagumi kokarde.

Separuh zona telah disesaki para penggede. Relasiwan, relasiwati nan perlente. Dalam gaun bunga cinde. Kemeja perkale. Atau batik Sokaraja buatan bapak Anto Jamil bukan Anto Jamile. Bertabur beban di seluruh badan; giwang, kalung, dan rante. Yang baru ditebus dari balai gadai. Beberapa yang tidak pede. Merasa diri sekecil taoge. Berkumpul dan memilih garis apoge. Mereka tamu orang tuaku, tetangga erte-erwe. Namun yang pasti semuanya tampil tak kehabisan ide. Seperti rezim di setiap orde. He-he! Onde-mande! Ada yang berkonde. Sanggul dan sasak gede-gede. Yang awewe mengecat rambutnya blonde. Dan ada pula yang tak mau ketinggalan mode. Yep! Para babe. Mereka menyiram rambutnya dengan pomade. Lalu bising ber-abecede. Oh, nampaknya saling ber-ode. Tentu, karena ini bukan pagi hari yang lebih sesuai untuk aubade.

“Minggir ente!” teriak kanak-kanak yang bergaduh merebutkan kue onde-onde.

“Beri jalan, he! Ini bukan halte! Jangan berjajar seperti brokade!” jerit yang remaja sambil sibuk ngemil kacang mede.

Lalu berbarislah mereka mengantre. Begitu mengular, hingga sepanjang dekade? Mau apa, berparade? Mereka itu tengah bersiaga seperti slagorde. Siap menggempur ransum yang disajikan para bedinde. Seribu satu hidangan, mulai gorengan dage, tempe, kaspe, rolade, tumisan pare, barbekyu cempe, pecak lele, wedang ronde, kue tape, kue pepe, siap menyumpal mulut sampe cape, lambe ndomble, ilat mele-mele dan semoga aje perut tidak diare.

High noon. Almost afternoon. Tangan-tangan masih berperang mengadu sendok and spoon. Rakus seperti raccoon. Padahal perut sudah sebesar baboon. Sebentar lagi terbang laiknya balloon. Tawa diumbar seperti menonton film cartoon. Laughternoon. Laughter in the afternoon. Gaungnya membuat pikun. Pada kesejukan air di lagoon. Gemanya meniup dhuhur, asar, sekencang typhoon. Monsoon. Maghrib, isya, tergantung tinggi at the moon. Muadzin kehilangan tune.

“Doux petite Bébé…,” tegur mesra sang raja seraya menyingkap tule. Di dini hari ketika semua orang sudah lelap sare. Tetamu sudah lama say goodbye.

“What’s up honey?” sahutku berlagak tak pandai. “Benarkah hajatan sudah selesai?” Aku mendekatinya gemulai. Lingeriku berumbai-umbai, turut melambai. Dalam tubuh semampai. Yang mana belum lama lalu direndam dalam air berbumbu zaitun bertabur kelopak mawar tujuh helai, ragam bunga rampai dalam ikatan selampai. Sikat gigi tuk singkirkan selilit daging gulai. Dan berangus aroma petai.

“Oh, c’mon, don’t be silly! Hajatan is over sejak tadi, baby. Semua orang sudah terbius lullaby. Now, you! My pretty, sweetie, little bunny! Come to me and let’s do our job as hubby-wifey,” sang raja bersabda tanpa basa-basi.

“You come to me! Catch me, you grumpy!” aku menantang sang raja sambil ngiwi-iwi. Setelah itu aku ber-hihihi dengan echo panjang sekali. Melihat pembalasan darinya nan keji, showing off his willy??

Hajatan telah lama usai. Tapi maaf, hajat kami berdua baru hendak ditunai. Di dini hari ini, sebelum melengking tinggi bunyi serunai. Yuuk…mari…

-o0o-

Siga: mahkota pengantin pria adat Sumba

Vide! : Lihat!

Doux Bébé : my baby/sweet baby

Sverige : Swedish

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun