[sewaantenda.blogspot]
-0-
Umurku mungkin terbilang mentah. Namun pesta hajatan telah kuhadiri hingga hitungan entah. Dari yang sederhana hingga yang tergolong mewah. Di dusun, kecamatan, kota besar, sebutlah. Rasanya tak ada tempat yang belum di-ambah. Itu kalau tak salah, aku mengingatnya yaah? Maklum masih bocah.
Apa? Baju pesta? Ha-ha, ini dan itu saja. Spiderman berlatar belakang merah bata. Celana setelannya. Dan sepasang croc tiruan dari pasar Stekpi dekat Kalibata. Kononnya made in China. Begitu saja? Ya. Dress code ala kadarnya. Tak banyak gaya. Tapi terbukti diterima di hajatan mana saja. Bahkan ketika mobilku tak sekeren Agya. Memang sih, jalan masukku pun bukan gerbang bergelar karpet merah merona. Cukup pintu belakang yang tak dijaga pagar bagus dan pagar nona. Setelah susah payah aku keluar dari himpitan para 'raksasa'. Gulungan terpal, kursi segunungan, dan seabreg peralatan pesta.
"Maaf ya, Nak, kamu pasti kepanasan?" Tanya ibuku yang cantik rupawan. Aku tidak mengiyakan. Hati senang, terhimpit dan kepanasan bukanlah halangan.
Yang kusuka dari hajatan adalah makanan berlimpah-limpah. Dengan sajian yang menggoyang lidah. Apalagi bila hajatannya tergolong gemah ripah. Segalanya dipoles agar tampil wah. Panggung yang megah. Seragam panitia berbordir indah. Dari ujung kepala kepada terompah. Mengundang decak kagum dan pujian hingga nafas terengah-engah. Hati tersanjung bungah. Melambung ke alam antah berantah. Persetan dana berjuta rupiah. Walau sesudahnya kepala pening perut mau muntah. Loh lah, hamil sebelum menikah kah? Ataukah dicokok tagihan nan membuncah.
Oh, sudah jam sebelas. Umumnya waktu yang tertera dalam kertas undangan berkelas. Surya beringas. Terik menindas. Aku berlindung di balik salon sebesar kubah baitul muqaddas. Telingaku babak bundas. Oleh raungannya yang maha keras. Tapi hanya sudut itulah yang terdekat dengan ibuku tengah berhias.
"Sugeng rawuh," gadis jelita beranggah-ungguh. Menyambut para rawuh dan pinisepuh. Wajib tersenyum pantang acuh. Tak boleh berwajah keruh. Dilarang mengeluh. Walau muak dan jenuh. Dan jangan terpikir selingkuh. Pada tugas yang diemban dengan sumpah 'Sendika dhawuh'.
Lir ilir! Aku kaget nglilir. Eh, ternyata tetamu mulai ndilir. Menulis buku hadir. Berpenampilan mutakhir. Berbaris dalam antrian tiada akhir. Kado dan angpao deras mengalir. Aku keras berpikir. Tentang perut yang bertanya takdir. Cacing-cacing mungkin tengah mencibir. Pada janjiku mentraktir.
Karenanya aku lekas membaur. Di antara senyum dan tawa seumpama pelipur. Terlukis dari wajah-wajah berpupur. Gincu-gincu perlahan meluntur. Semerbak parfum bercampur aroma sayur. Celoteh basa-basi bersaing lagu Teluk Bayur.
"Heh! Ini bocah, anak siapa sih? Mondar-mandir ngga kenyang-kenyang!" wanita penjaga saung itu menghardik resah. Siomay di piring kertas meliuk goyah. Nyaris tumpah. Sudut mataku sedikit basah. Ingin kuberteriak hingga suara pecah. Aku anak ibuku, kurang jelaskah? Lihat, lihatlah ia di atas panggung tengah berkisah. Tentang kasih asmara di sekolah. Ciptaan mas Obbie Messakh. Suaranya merdu bak buluh perindu hingga para undangan dibuatnya terperangah. Wajah ibuku sumrigah. Menyambut hadiah. Tepuk tangan yang meriah.
Ah, sebenarnya aku pun lelah. Semua saung kusambangi sudah. Setiap hidangan purna berpindah. Lolos kualifikasi di lidah. Meluncur mudah ke gua garbah. Berakhir di perutku buncit begah. Janjiku pada cacing-cacing rakus tunailah. Kini tinggallah kebosanan menjajah. Dan menanti selalu menjadi hal susah. Telinga serasa jengah. Menyimak lagu demi lagu diunggah. Dari bibir ibuku basah. Mengalun lembut mendesah.
Aku duduk mencangkung. Di tepian panggung. Punggungku melengkung. Pipiku mencembung. Aku, sendiri di tengah kemeriahan mengepung. Tak seorang pun peduli padaku si bocah bingung. 'Duduk diam, jangan kemana-mana', pesan ibuku berdengung-dengung. Perintah agung menciptaku jadi patung.
'Malam ini malam terakhir bagi kitaaa...' Lantunan itu disambut tepuk-tangan sebagian undangan. Ada yang beriak girang saat telinganya menangkap lagu kesayangan. Yang tampak seperti orang gedongan, malu-malu karena takut disebut kampungan. Yang tak keberatan dipanggil kampungan, bergoyang serupa warok kesurupan.
Kupeluk kaki agar tak berlari. Menghambur pada sekelompok anak ramai menari. Di bawah kaki panggung tawa mereka berderai-derai. Ikuti seblak sampur selendang ibuku melambai. Dangdut ceria dengan lenggok gemulai.
Puk ketipak ketipung, bertalu-talu suara kendang. Tubuh kecilku mengejang. Mataku perih memanas bagai dijerang. Melihat tangan-tangan liar menggeranyang. Dada ibuku kian montok disumpal berjubal uang.
"Kamu capek ya, Nak?" tegur ibuku penuh sayang. Tangannya tak membelai kepalaku peyang. Tapi mengurai tali kutang. Melompatlah sejumlah uang. Namun cepat terangkum dalam sinjang. Sebelum jatuh bergelimpangan. Gesitnya si lelaki berkumis baplang. Yang kupanggil bos Jajang. Tampak ibu menatap gamang. Lantai panggung hampa tak menyisakan walau satu gobang.
"Bobo sini dulu," ibuku menggelar koran lima lembar. Berikutnya syal, jaket, apa saja, dihampar. Disingkirkan keruwetan kabel dan sakelar. Setrum listrik bisa sangat membakar. Jadilah peraduan tempatku terdampar. Kucoba rebahkan kepala yang pengar. Kucoba redupkan binar. Namun mata bertahan nanar. Damai yang kumau kian tercemar. Drum, organ, kendang, kecrek, seruling kejar mengejar. Benar-benar, musik yang hingar bingar.
"Kamu siapa? Ngapain di situ? Ayo main bersamaku," seseorang seumuranku menegur.
"Aku Satria," kujawab tegas bukan ngelindur. Walau sesaat tadi hampirku mendengkur.
Tak sampai enampuluh detik. Kudapat kawan baru yang enerjik. Berkemeja batik. Bercelana jin keluaran pabrik. Menyebut dirinya bernama Arik. Datang ke hajatan ini mengikut perempuan cantik berbalut kebaya dan kain jarik. Bu Menik, istrinya beliau yang terhormat bapak Carik.
"Ha ha!" tawa kami kalahkan suara organ tunggal. Pada rasa lelah dan bosan, kuucapkan selamat tinggal. Kami terus terpingkal-pingkal. Bukan hilang akal. Namun tahlah apa yang tak masuk akal. Yang pasti, takkan ada yang menghardikku anak nakal. Apatah lagi menyebut Arik Bengal. Siapa berani berkata, dasar begundal! Siapa sanggup berteriak, dasar anak sundal! Seperti telingaku selama ini kerap disumpal. Padahal sebaris kursi telah terjungkal. Beberapa pajangan kembang terpental. Oleh lari kami yang ugal-ugal. Bersama Arik, sejenak ku menjadi fenomenal. Ah, kapan lagi, pekik batinku brutal.
Di penghujung malam. Cahaya terang berubah temaram. Oleh pijar bohlam. Tiada kesan seram. Mencekam. Dan akhirnya mataku pun terpejam. Sayup kudengar ibuku bersenandung du bi du bi dam. Ah, sejenak hatiku serasa jenjam. Hingga tidurku pun berlangsung tah berapa jam. Esok mungkin mataku kan sebam. Lebam. Lusa mungkin kan kudengar kicau burung balam. Kokok ayam. Mengabarkan harapan damai tenteram. Tapi tak perlu berseru alakazam! Segala mengancam. Pisau menghunus terhujam. Walau benar dunia itu kejam. Dan setiap hajatan, mataku merangkumnya kelam..
-o0o-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H