Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Hajatan

14 April 2015   11:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:37 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14289877431766232836

Ah, sebenarnya aku pun lelah. Semua saung kusambangi sudah. Setiap hidangan purna berpindah. Lolos kualifikasi di lidah. Meluncur mudah ke gua garbah. Berakhir di perutku buncit begah. Janjiku pada cacing-cacing rakus tunailah. Kini tinggallah kebosanan menjajah. Dan menanti selalu menjadi hal susah. Telinga serasa jengah. Menyimak lagu demi lagu diunggah. Dari bibir ibuku basah. Mengalun lembut mendesah.

Aku duduk mencangkung. Di tepian panggung. Punggungku melengkung. Pipiku mencembung. Aku, sendiri di tengah kemeriahan mengepung. Tak seorang pun peduli padaku si bocah bingung. 'Duduk diam, jangan kemana-mana', pesan ibuku berdengung-dengung. Perintah agung menciptaku jadi patung.

'Malam ini malam terakhir bagi kitaaa...' Lantunan itu disambut tepuk-tangan sebagian undangan. Ada yang beriak girang saat telinganya menangkap lagu kesayangan. Yang tampak seperti orang gedongan, malu-malu karena takut disebut kampungan. Yang tak keberatan dipanggil kampungan, bergoyang serupa warok kesurupan.

Kupeluk kaki agar tak berlari. Menghambur pada sekelompok anak ramai menari. Di bawah kaki panggung tawa mereka berderai-derai. Ikuti seblak sampur selendang ibuku melambai. Dangdut ceria dengan lenggok gemulai.

Puk ketipak ketipung, bertalu-talu suara kendang. Tubuh kecilku mengejang. Mataku perih memanas bagai dijerang. Melihat tangan-tangan liar menggeranyang. Dada ibuku kian montok disumpal berjubal uang.

"Kamu capek ya, Nak?" tegur ibuku penuh sayang. Tangannya tak membelai kepalaku peyang. Tapi mengurai tali kutang. Melompatlah sejumlah uang. Namun cepat terangkum dalam sinjang. Sebelum jatuh bergelimpangan. Gesitnya si lelaki berkumis baplang. Yang kupanggil bos Jajang. Tampak ibu menatap gamang. Lantai panggung hampa tak menyisakan walau satu gobang.

"Bobo sini dulu," ibuku menggelar koran lima lembar. Berikutnya syal, jaket, apa saja, dihampar. Disingkirkan keruwetan kabel dan sakelar. Setrum listrik bisa sangat membakar. Jadilah peraduan tempatku terdampar. Kucoba rebahkan kepala yang pengar. Kucoba redupkan binar. Namun mata bertahan nanar. Damai yang kumau kian tercemar. Drum, organ, kendang, kecrek, seruling kejar mengejar. Benar-benar, musik yang hingar bingar.

"Kamu siapa? Ngapain di situ? Ayo main bersamaku," seseorang seumuranku menegur.

"Aku Satria," kujawab tegas bukan ngelindur. Walau sesaat tadi hampirku mendengkur.

Tak sampai enampuluh detik. Kudapat kawan baru yang enerjik. Berkemeja batik. Bercelana jin keluaran pabrik. Menyebut dirinya bernama Arik. Datang ke hajatan ini mengikut perempuan cantik berbalut kebaya dan kain jarik. Bu Menik, istrinya beliau yang terhormat bapak Carik.

"Ha ha!" tawa kami kalahkan suara organ tunggal. Pada rasa lelah dan bosan, kuucapkan selamat tinggal. Kami terus terpingkal-pingkal. Bukan hilang akal. Namun tahlah apa yang tak masuk akal. Yang pasti, takkan ada yang menghardikku anak nakal. Apatah lagi menyebut Arik Bengal. Siapa berani berkata, dasar begundal! Siapa sanggup berteriak, dasar anak sundal! Seperti telingaku selama ini kerap disumpal. Padahal sebaris kursi telah terjungkal. Beberapa pajangan kembang terpental. Oleh lari kami yang ugal-ugal. Bersama Arik, sejenak ku menjadi fenomenal. Ah, kapan lagi, pekik batinku brutal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun