Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Klaudia, Sang Pembantu Rumah Tangga|19

22 Februari 2013   07:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:54 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[image :123RF_stockphotofree]

~.~

Lima pria tengah duduk mengepung meja. Seseorang duduk menguasai sebuah kursi untuk dirinya sendiri, sedang empat yang lain harus rela berbagi space di sebuah risbang untuk masing-masing pantat dan perut ndut yang saling bersenggolan karena pundi-pundi lemak. Dalam berbagai kesempatan, client memang berhak diperlakukan selayaknya raja. Itulah yang kini tengah terjadi.

”Memang. Kami ini hanyalah mantan intel. Tapi sudah menjadi semboyan kami yang melarang siapapun, apalagi klien, untuk tidak meragukan sedikitpun keterangan dari kami,” Nandi, mantan intel pertama, angkat bicara. Telunjuknya tak henti menaikkan bingkai kacamatanya, daerah T di wajahnya itu pasti terlalu aktif memproduksi minyak. Perlukah memberitahu Pertamina?

”Itu kalau kau memang serius mau bekerjasama dengan kami,” Dedi Susanto, mantan intel kedua, latah bersuara.

”Serius dong, ah. Ngapain juga kalau gua kaga serius? Mendingan gua main gitar sama anak-anak kolong jembatan, daripada harus ngabisin waktu sama kalian,” jawab sang Client kalem.

“Sialan. Sombong elo tuh ya, selangit, amit-amit! Padahal kocek elo, cekak aja!” sindir si mantan intel ketiga, Aliman.

“Bener ape kate si Halimah,” serobot Dedi Susanto.

“Halimah, halimah, jidat loe tu peyang!” hardik Aliman yang tidak terima dirinya dipanggil Halimah. Padahal kenapa juga ya? Toh mirip-mirip gitu loh.

”Gua setuja. Mana ada client nyewa ditektip dengan harga persahabatan? Padahal kami ini kan jawara, mantan anggota dinas rahasia pula,” api kecil mulai menyala di kompor hati Jayadi, sang mantan intel keempat.

”Gua ngrasa sayang aja kalau ngasih kalian bayaran gede. Tar buat gaple,” si Client menjawab santai dengan cengiran khas kuda pion.

”Lu kate kita kaga punya gawe? Kalau bukan karena eloh! Ogah dah gua repot-repot datang dimari!” sembur Jayadi lagi, rupanya ia masih kurang sreg dengan harga persahabatan yang harus dia terima dari klien istimewa ini. Harapannya, sebuah harga bisnis yang normal, atau yaah, setidaknya ada persekot yang dapat diterimanya di awal perjanjian.

“Kaga! Kaga ada itu persekot, mau alesan bayar angkot, pemkot, apelagi buat pigi ke panti mak Erot! Lagian, elu-elu pade, ngaca dong, ngaca! Harga persahabatan itu sudah sangat bagus dengan reputasi kalian. Kalian sadar kan, kalau intel itu profesi yang prestisius. Sekarang, jelasin ke gua, ngapain coba elo pada diberhentikan tanpa hormat, alias dipecat, haa? Dasar bergajulan!” orasi sang Client terdengar berapi-api.

”Kami dipecat hanya karena gagal sekali dalam bertugas. Tapi emang begitulah adanya sistem kerja dalam organisasi kami,” Aliman unjuk penjelasan.

”Ya! Dan itu pastinya sebuah kesalahan yang sangat fatal!” tuduh sang Client tanpa sungkan.

”Yaa, emang gitu sih keadaannye…” akhirnya Jayadi kehilangan api, nglokro seperti godhong lumbu dilulubi.

”Sefatal apa sih?” tanya Client penasaran.

”Padahal hanya karena kekurang-sigapan kami dalam mengumpulkan informasi saja,” Nandi membela timnya.

”Tapi karena itu juga target kakap kami terlepas seperti ikan terlolos dari jala,” ada penyesalan dalam nada suara Dedi Susanto.

Mendengar itu, Client dapat menduga keempatnya ini hanyalah rekrutmen pemula yang langsung tumbang setelah masa probation. Kalau tidak, kecil kemungkinannya, mereka berakhir dengan profesi mereka seperti sekarang ini. Dan fakta mengatakan dia masih juga bersikeras memperkerjakan mereka berempat? dalam hatinya, si client segera menyesali keputusannya.

Nandi mungkin sedikit lebih beruntung karena berhasil menjaga ‘wibawa’nya sebagai pengawal pribadi seorang pejabat tinggi. Tidak demikian halnya dengan Dedi yang hanya sebatas satpam perusahaan garmen. Aliman dan Jayadi bekerja sama merintis usaha yang menawarkan jasa penyidik swasta. Keempatnya sepakat menggabung diri, kala-kala ada client yang membutuhkan jasa intelejen mereka.

Sesungguhnya, tak seorangpun yang menunjukkan kapasitasnya sebagai penyedia jasa telik sandi. Karena alasan solidaritas sajalah, si Client ini bersedia memohon bantuan empat sekawan. Itupun disertai janji pembayaran di muka yang tak boleh dicicil segala. Gila ya?! Merampok atau menggarong? Masa yang beginian pernah bekerja sebagai anggota dinas rahasia nasional? Paling banter, jabatan mereka dahulu adalah informan freelance. Ngakunya saja mantan intel. Tapi umpatan itu hanya disimpan dalam hati oleh Client, sebab kalau tidak urusan bisa menjadi lebih panjang dan ngga kelar-kelar. Belum lagi, dia pula yang harus menanggung biaya makan dan akomodasi mereka semua. Tobil, tobil! Tobat, tobat!

“Tampang dan kepribadiannya jelas tak senada seirama. Dia bisa menjadi pribadi lugu, polos dan tak berdosa, namun sebenarnya dia ular berbisa,” Dedi si satpam berusaha menggali fakta.

“Biar tampang kampung, otaknya Pentium!” Nandi yang berpengalaman membaca kepribadian seseorang menambah minyak di pengapian.

“Apa elo kata? Tampang kampung?” Client tak percaya pada dirinya yang tak bisa menerima sebutan tampang kampung yang diberikan empat detektif swasta ini mengenai seseorang yang tengah dicarinya itu.

“Nada elo kaga suka begitu? Kenapa?” tanya Jayadi, hidung detektifnya segera mengendus sesuatu yang mencurigakan. Ah, dia memang kadang lebay.

“Kaga napa-napa. Gua bingung aja. Terus yang elo kira tampang kota, siapa? Elu? atau elu?” sambil bertanya Client tak lupa mengacung-acungkan telunjuknya ke wajah masing-masing detektif.

“Gua jadi curiga nih, dengan maksud elo nyuruh kita ngebeberin inpormasi tentang dirinya,” hidung Jayadi semakin kembang kempis. Mungkin kecurigaannya semakin menguat.

“Tapi, Pren. Bener juga apa kata dia. Kita ngga boleh ngeremehin tampang seseorang. Kaya kita yang paling ganteng aja,” Dedi Susanto mencoba bijak. Dengan wajah kebapakannya itu pantasnya dia menjadi seorang guru, bukan satpam. Tapi kalau ditempatkan di perusahaan garmen, mungkin sulit juga buat dirinya menolak?

“Kalau kata gua mah, bukan tampang kampung, kali. Lumayan manis sih, ada kesan lugu dan jujur. Orang jawa bilang, ngga teko-teko!” Jayadi kembali ambil suara.

”Jayadi jaelangkung! Apaan tuh ngga teko-teko? Ngga neko-neko!” protes Nandi yang merasa pernah kuliah di Jogja dan paham sekali bahasa jawa kratonan ngahadiningrat.

”Resep-sedep gitu yak, ngeliatnya? Padahal, yang gua pernah lihat, tuh orang kaga pernah mek-apan, lipenan, atau apelah istilahnye kalo perempuan pade bedandan,” Aliman menambahkan. Pujian yang mungkin pernah sempat diawali suatu tunas tertentu kala menjalankan tugasnya di masa lalu. Sayangnya ia keburu dipecat.

“Kata si Ambon Ungke, akhlaknya juga lumayan,” kata Dedi dengan sedikit bingung pada hatinya yang mendadak bahagia setelah melontarkan pujian itu barusan. Iapun segera menyesali pemecatan dirinya yang dianggap terlalu dini. Andai saja…

“Sompret! Jangan bilang kalian sedang mengakui kebodohan di masa lalu!” kata Client dengan sengit.

“Hahaha! Gua jadi inget. Sapa dulu yak, nyang usaha ngibulin tuh orang, bilang katanya di taman kota ada orkes dangdut, eh malah pipinya kena gaplok tas belanjaan?” Nandi tak tahan membocorkan rahasia kecil di antara mereka.

Jayadi yang merasa disindir, mukanya sontak merah padam. Tak mau menahan malu bersendirian, iapun balas menyibak aib, “Dasar Kandi! Lupa lo yak, sapa yang nolongin elo dengan insiden mal itu?”

“Insiden mal?” sambar Client cepat. Tatapan mata tajamnya langsung ditujukan ke arah Nandi, yang namanya diplesetkan Jayadi menjagi kandi (karung). Pria berkacamata itu dilihatnya spontan ngiyem, ngemu baem.

“Kapanan, waktu ntu kita lagi disuruh ngekor tuh orang. Nah di mal, kita lepas dah tuh si Nandi. Biarin dah, dia ngerasain jadi detektif solo. Lama dah tuh, kita bertiga ampe kelar makan gorengan. Nih kancil keblangsak kemana? Nganclep di toilet ape kependem sekalator?” papar Jayadi.

”Eskalator kali Bang,” koreksi dari si Client.

”Ape lo kate deh,” riak wajah Jayadi tak suka kata-katanya dikoreksi.

”Udeh ah, awas aje kalo Abang terusin,” ancam Nandi. Pucat di wajahnya semakin memias.

“Diem lo! Sapa tadi yang duluan buka-buka aib orang, haa?” Dedi melempar tissue ke muka Nandi. Aliman tak mau kalah. Diraih olehnya sebuah asbak, tapi lalu abu rokoknya saja yang dia lempar ke situ.

“Leher gua udah panjang waktu itu. Tapi ngalor, ngidul, kaga nongol-nongol juga jidat jenongnya? Tau-tau dateng dah tuh satpam mal. Ngeliat gaya jalannya nyang plengkat-plengkot kaya bekicot, gua mah udah piling aja. Nih kancil kacamata sialan pasti bikin ulah dah. Eh lah bujug, bener juga apa kata gua, si satpam bilang engkalo si Nandi udah kena laporan, apaan tuh namenye, esek-suwal hara-semen?” Jayadi garuk-garuk kepalanya yang gatal karena malas keramas.

“Sexual harassment, Bang,” kata Client.

“Nah iye ntu die yang gua maksud. Kaga taunya si Nandi berhasil ngegeret tuh orang masup ke bioskop. Nah di dalem gedong nyang gelap kaya kuburan jaman belanda, tuh bocah yang engkonon disekolahin maknye di UGM, ceritanya mau ngelaba. Kaga taunya, tu orang kampung bener-bener otaknya Pentium! Pas si Nandi lagi kepedean ngantri beli karcis, orang kampung yang dia geret-geret entu udeh lapor duluan ame satpam yang ada, dia bilang katanya ada resedupis…resipilis, pfuah, pfuah…,” Jayadi mengusap mulutnya yang belepotan ludah.

“Residivis, Bang…” Client menahan sabar.

“Iye. Katanya ada residipis nyang baru keluar dari bui, ngancem kalo kaga mau nonton bareng, dirinya mau di-bully. Wuahaha! Kebayang ngga lo? Baru juga duduk, belon juga sempet ngremek-remek tuh cewe punya tangan, kepalang lampu senternya si satpam udah nyorot Nandi Kandi punya muka yang belepoten iler!”

“Kaga segitunya kali, Bang,” Nandi tertunduk, sembunyikan rasa malunya.

“Kaga segitunya, otak lo tuh kaga waras! Satpam itu yang beberin keronologisnye ame gua! Dasar otak kriminal!” kata Jayadi masih tak puas mempermalukan Nandi.

“Gua rasa yang otaknya kriminal bukan si Nandi, tapi si orang kampung itu. Hahaha!” Dedi dan Aliman kompak tertawa.

Client membenturkan kepalanya ke meja. Busyet dah, mungkin otak gua juga kriminal karena masih nekat menyewa mereka? keluh sang Client di antara benturan-benturan ringan yang masih dia lakukan.

”Terus, sape nyang bilang kalau dia kelibet sindikat perampok berkedok PRT, haa?” tanya Client lagi dengan kepala masih cenat-cenut.

”Tauuuk! Kita mah cuman taunya dia di kampung bikin kaya pamannya. Nyang tadinya kaga gablek lahan sawah, tau-tau punya ladang sehektar. Nyang tadinya cuman petani penggarap sekarang bebalik punya tenaga penggarap,” empat detektif itu kompak berpaduan suara.

“Dasar intel ngga intelek! Pantesan lo pade dipecat!” seru Client jengkel.

”Gua jadi bertambah yakin, kalau keterlibatannya dalam perdagangan informasi itu pasti tanpa sepengetahuannya. Dengan kata lain, keluguannya itu telah dimanfaatkan pihak-pihak tertentu,” lanjut Dedi mulai menunjukkan tajinya sebagai detektif partikelir.

”Sekarang kalian bisa bilang begitu ya? Padahal dari dulu, kalian sendiri yang ngebacot, dialah sampah pengkhianat bangsa. Sial! Gara-gara kalian! Dengan semua info yang tidak bertanggung-jawab ini, anggapanku tentang dirinya sudah salah, salah besar, sejak awal,” Client mengatupkan gerahamnya, menahan geram, tapi terganjal permen karet yang sejak tadi dikunyah-kunyah sampe gusi lecet.

”Nah ini juga yang mau gua tanya, kapan sebenernya elo kenal ame tuh orang? Terus, ade hubungan ape sampe elo repot tanya ini-itu tentang die?” hidung intel Jayadi kembali beraksi.

“Gua? Gua kaga ada hubungan ape-ape ame ntu orang. Gua hanya sempet kenal ame dia waktu gua ditugasin mengaudit sebuah program acara televisi karena banyaknya keluhan dari masyarakat luas sebagai konsumennya,” papar Client lebih lanjut.

“Ngemeng-ngemeng, kerja apaan lo? Maennya ampe ke tipi segala?” tanya Aliman.

“Kenapa?” tanya Client tak senang. Mungkin ia enggan mengungkapkan jati dirinya lebih jauh.

“Elah, kaga. Ngkali aja ada lowongan. Iya kaga, Man?” Dedi yang bersuara lebih dulu. Kedip matanya disambut senyum Aliman yang malu-malu menjengkelkan.

“Bukannya enak lo Di, jadi satpam perusahaan garmen? Karyawannya semua perempuan,” jawab Client malas-malasan.

”Aaah, buruh pabrik, gua mah kaga doyan!” klaim Aliman tegas. Padahal yang ditanya Dedi. Hm, kacau deh…

“Belagu lo. Pantes aja komen lo bau asem cuka tiap kali bicara tentang dia. Gua kira karena sentimen pribadi, kaga taunya selera elo yang ketinggian!” cetus Client sengit.

”Ketinggian? Jadi maksudnya, selera elo tuh yang rendahan?” Aliman tak mau kalah. Ujung bibirnya menyisakan senyum mengejek ke arah Client.

“Ini kaga ada hubungannya ama gua,” tangkis Client.

“Kaga ada pigimana? Nah ntu, bang Jayadi aja udah bisa ngendus otak mesum lo! Kalo bukan selera elo yang emang rendah, ngapain loe ngoprek ampe dalem perihal dirinya itu?” mendadak Nandi unjuk gigi, membela rekannya, Aliman. Wah, ternyata dibalik penampilan slengean, mereka berempat punya kekuatan saling membela bila salah satu temannya diserang. Emang ngga boleh, judge the book by its cover.

“Dasar muka ubur-ubur! Kita bukan Tuhan yang bisa menilai tinggi dan rendahnya value seseorang. Dan kaga jaminan, bos elo yang pejabat tinggi itu lebih mulia dari para bedindenya,” hati Client mulai mendidih.

”Bau mulut kau itu sudah seperti ustad saja,” ejek Nandi yang geram kehormatan bosnya ikut dibawa-bawa.

”Sudaaah. Kapan makannya, kalo pade berantem mulut terus?” Jayadi yang paling tua, selalu bertugas menengahi pertikaian di antara mereka. Padahal makanan yang terhidang di meja, sudah ludes sejak entah kapan. Dessert pun telah tunai disajikan. Entah pula kemana perginya semua itu.

”Sering-sering dah kita reunian begini,” Dedi Susanto menimpali.

“Enak aja lo! Mau bikin gua bangkrut, ha? Gantian dong, masak gua mulu yang jadi bandar ?” nada ceria si Client kembali terdengar.

”Gua ada inpoh terbaru tentang dia. Tapi imbalannya lumayan gede nih. Yah, ame elo mah, cukup restoran padang Sederhana dah. Gimana?” tawar Nandi yang memang gemar mengintip situs-situs di internet.

”Kaga. Gua udah kaga mau beli lo pade punya info. Gua pamit dah,” singkat jawaban Client. Terlihat jelas ia tak dapat dibujuk, atau ditipu lagi, tepatnya?

”Tunggu dulu! Ini jelas ngga fair dong. Elo tau kita udah temenan sejak jaman jebot. Kasih tau napa sih, sebab elo ngincer dia? Emang dia punya utang? punya kesalahan ame elo?” tanya Dedi Susanto sambil menenggak sisa soda yang sudah di dasar gelas kelima, sebelum benar-benar ditinggal kabur bandarnya.

”Dia berhutang penjelasan. Dia juga punya kesalahan terbesar yang akan disesalinya sepanjang hidup karena ketidak-sengajaannya bertemu denganku di Koridor Maut,” Client tersenyum penuh arti.

”Ah, sumpe deh. Gua bingung Koridor Maut apaan. Udah gini aja, sekarang elo jujur ama gua, jujur sejujur-jujurnya. Lo ade hati kan ame tuh orang? Lo punya perasaan kan ame tu orang?” keempatnya serempak memberondong pertanyaan.

”Jujur? Jujur Setiadi? Jujur Pracoyo? Jujur kacang ijo?” seloroh si Client sambil bergegas berlalu setelah lebih dulu meninggalkan teka-teki besar di hati keempat sahabatnya, para mantan intel, tim detektif swasta yang diyakininya tak akan sukses di bidang penyediaan telik sandi itu.

“Paaaan! Kemari lu!” Jayadi masih berupaya menahan kepergian temannya.

“Panjuuull!” teriak tiga yang lain. Mereka seperti tak mau kehilangan client sekaligus ‘mesin kasir’ yang siap terbuka di setiap pertemuan mereka. Sebab kapan lagi, makan gratis dengan venue dan menu yang bebas mereka tentukan?

“Dasar panjul! Emang kecakepan tuh orang dipanggil Ivan. Ape tuh kepanjangannye? Kapan? Kaen kapan?” Jayadi bertanya sambil bersungut-sungut.

“Ih abang nih. Makin tua, ngomongnya makin belepotan, deh! Bukan Kapan, abang sayang, tapi Kayvan!” Nandi, Halimah ups Aliman, dan Dedi ramai-ramai membesarkan hati Jayadi yang nampak terpukul sekali melihat kepergian mantan adik kelasnya itu.

“Apaan, gua mah enakan manggil panjul, panjul, panci, pantat item,” pelan suara Jayadi, nampaknya iapun tak dapat lagi menahan titik air matanya.

“Sudahlah, Bang. Biarkan dia pergi mencari kemana hatinya telah dicuri. Yang penting, kita berempat sudah ada andil besar dalam membimbingnya kepada jalan yang benar dan direstui Tuhan, insya Allah. Amin,” Dedi bicara lirih, riak wajahnya juga tak dapat mengelak keharuan. Di kejauhan sana, sang sahabat mulai tak nampak, perlahan menghilang di balik badan bus trans yang berjubal penumpang.

“Amin. Amin. Amiiinnn…” tiga jenis suara pria, tenor-bariton-bas, mengakhiri doa dan maha tugas kedetektifan mereka hari itu…

...[bersambung]..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun