Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Alun-alun Kota Petang Itu..

18 Maret 2015   14:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:28 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Wahai Ibu, bagaimana kau demikian kuat?” tanya seorang pelanggan di antara kerumunan yang melingkar, bersila dan bersantap dhahar.

“Harapan, Nak!” balas si Ibu tegas dan manatap. ”Jangan pernah kehilangan harapan. Bukankah seorang mahaguru dunia pernah berkata, karena harapanlah seorang ibu menyusui anaknya. Karena harapanlah seorang ayah berangkat sebelum fajar dan pulang larut malam. Karena harapanlah kita menanam pohon meski kita tahu tak akan sempat memetik buahnya yang ranum bertahun-tahun kemudian. Karena harapanlah seorang penulis tekun menulis walau tak ada pembacanya, ia berharap tak lekas pikun saja. Sekali kau kehilangan harapan, maka kau akan kehilangan seluruh kekuatanmu untuk menghadapai dunia.”

“Ibu tampak seperti orang yang tak pernah dikhianati. Tak dapat dipungkiri bila Ibu tentu sudah melalui banyak hal, namun wajah sepuh Ibu tidak menceritakan akan hal itu,” seseorang yang lain terpengaruh untuk bertanya.

“Ikhlas akan segala sesuatu, Nak. Kita punya apa di dunia ini, hmm? Kita ini mung sakderma menjalani apa yang sudah dianugerahkan olehNya. Dan bersyukur akan hidup pinaringane Gusti,” si Ibu tersenyum seraya mengulurkan pesanan.

Nasehatnya itu mengakhiri diskusi. Orang-orang masih berkelakar. Sebagian yang tak enggan bersantai segera bertukar dengan pendatang-pendatang baru yang berperut lapar. Dan aku masih belum membayar. Namun tetap kuberanjak secara diam-diam. Menyelinap dalam keremangan bola lampu bulat besar yang malas berpijar. Harusnya namaku segera terdengar dipanggil setelah sepuluh langkah, namun hingga pokok beringin sembunyikan bayanganku, tetap tak ada lambaian apalagi teguran yang memalukan. Pelarianku nampaknya sukses berjalan. Namun aku tak rasa malu, tujuhribu rupiah tidaklah sebanding dengan dosa masa laluku. Lagipula mengapa malu bila hutangku telah lunas petang itu…

-0-

Alun-alun kota petang itu. Sepi tanpa keributan lapak-lapak kaki-lima. Kota menjadi lebih bersih dari sebelumnya. Rerumput hijau masih dijaga namun alun-alun kini berpagar keliling. Pokok beringin di tengah sudah kemana entah. Hanya tersisa empat di tiap sudut, itupun dengan kerindangan yang tak memberikan keteduhan. Alasan keindahan kota menjadi penyebabnya.

“Apakah Ibu masih ingat dengan seorang lelaki yang tiga petang datang berturut-turut di warung kita?” anak perempuan Ibu Cita bertanya di samping suaminya yang terengah-engah memikul angkringan. Keluarga itu tengah menuju lahan berniaga yang telah disediakan khusus oleh pemerintah kota.

“Saya tidak yakin, tapi sepertinya terakhir kali datang, dia pergi tanpa membayar. Semoga saya salah menduga,” si Menantu ikut angkat bicara.

“Sudah. Dia sudah membayar,” si Ibu menjawab singkat. Diam-diam tangannya bergetar meraba, merasakan sesuatu yang ia sembunyikan di antara belahan dadanya. Lalu menarik nafas panjang bila mengenang kantung yang ditemukan di dalam bakul besar bertutup serbet makan. Kantung yang berisi perhiasan emas 24K, kalung berliontin mirah delima, gelang, cincin, suweng, batu-batu bernilai, baik yang satu set maupun perhiasan tunggal. Dengan sepucuk surat bertulis tangan berisi permohonan maaf yang menguras airmata.

Semua barang berharga itu miliknya sejak lama, sudah sangat lama. Lalu hilang dalam kekacauan ekonomi yang pernah menimpa keluarganya berpuluh tahun silam. Lenyap tak berbekas bersama seorang hamba yang sangat ia percaya. Namun hidup sekandang sehalaman, tak boleh teking-meneking, tak boleh tindih-menindih, tak boleh dendam kesumat. Sungguh Cita sudah mengikhlaskannya. Cita sudah melupakannya. Bukankah tak ada sesuatu yang benar-benar mutlak dimiliki seorang manusia??

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun