Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Klaudia, Sang Pembantu Rumah Tangga|3nd|

27 Maret 2013   16:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:07 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[image :123RF_stockphotofree]

~.~

Setiap kali hendak melepas calon pekerja rumah tangga dari lembaga kepengasuhan, tak bosan-bosan kuingatkan kepada mereka bahwa menjadi pembantu rumah tangga bukanlah kehinaan. Usah memusingkan derajat pembantu atau penguasa yang hanya merupakan pelabelan sesama manusia di dunia. Risaukan saja stempel yang kelak akan diberikan Tuhan kepada setiap umatNya.

Dan tak lupa kuberpesan, fokuslah pada pekerjaan, jalani dengan penuh kesungguhan dan ketulusan, pandai-pandailah membawa diri, dan jangan pernah lalai untuk terus memperjuangkan hak terlepas dari belenggu sahaya. Caranya? Miliki cita-cita, kembangkan segenap kemampuan dan potensi diri, dan jangan lelah berdoa. Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang, tanpa orang itu berusaha sekuat daya mengubah nasibnya sendiri.

Pesanku terakhir, berusahalah bukan untuk menjadi orang berhasil, tapi berusaha untuk menjadi orang berguna. Orang yang berhasil belum tentu berguna, orang yang berguna sudah tentu berhasil. Alhamdulillah, hingga hari ini belum pernah seorang pekerja pun yang bermasalah dengan para majikan. Justru kepuasan bertubi-tubi dilontarkan dari klien di situs bisnisku. Walhasil, klien dan orderan pun datang membanjir.

[..]

Past. Present. Future. Proses ada di semua masa. Proses meninggalkan jejaknya di masa lalu. Proses berlangsung di masa yang tengah berjalan. Dan proses akan terjadi di masa mendatang.

Aku tidak pernah malu mengakui prosesku, apalagi mencapnya sebagai kemalangan. Bagiku setiap insan memiliki proses hidupnya masing-masing. Adapun malang dan beruntung hanyalah standar buatan manusia dengan tolak ukur yang selalu jauh dari kepastian. Sawang-sinawang, begitu kata makku dahulu. Tanpa berproses sebagai pembantu, sungguh takkan ada cerita tentangku hingga berkembang seperti sekarang ini. Lagipula, siapa yang bisa memilih atau menghindari sebuah proses? Tak ada yang bisa kita lakukan pada sebuah proses pilihan Tuhan kecuali menjalaninya dengan segenap kesungguhan tanpa keluhan.

Jadi, kalau proses itu kembali sebagai déjà vu, buatku tak masalah. Akan kujalani sembari bersabar menunggu hasilnya. Sebab siapa akan mengira, aku yang bermula sebagai pembantu rumah tangga, and look here I am, back to my senses, kembali mengemban profesi lama yang sama.

Pernikahan, mungkin bisa dikatakan sebagai qua causa (?) yang telah mengembalikan profesiku sebagai “pembantu”. Namun untuk kali ini, aku tidak keberatan bahkan bila profesi ini harus kujalani seumur hidupku. It’s gonna be a very very long term career. Nasib, nasib, hehehe…

Nasib baik, maksudnya. Sebab ada banyak perbedaan yang sangat nyata hinggaku bersedia melakoninya dengan segenap jiwa raga, hati dan pikiran. Kalau dulu para majikanku adalah orang-orang yang datang silih berganti dengan tingkat kesulitan beradapatasi yang variatif dan kewajiban mutlak pada kepatuhan. Kini majikanku permanen dan akupun berhak penuh untuk mengkritik bahkan mencubit bila majikanku itu sulit diatur. Kalau dulu, aku sebagai subyek yang diatur, sekarang akulah sang pengatur. Dulu aku selalu berharap gaji yang besar. Sekarang, no salary, no worry. Gaji menjadi tak sebanding dengan kepuasan melihat ‘majikanku’ tumbuh berkembang pesat-sehat-smart didampingi pengawal pribadi yang kuat-cermat-setia setiap saat. Hahaha!

Bagaimana tidak kusebut nasib baik? Dan mana boleh kusesali tiap proses yang telah menorehkan ragam warna rancak dalam hidupku ini? Bersyukur, itulah yang sepatutnya kulakukan. Apalagi dengan anugerah jodoh yang sangat pantas dijadikan contoh. Mas Rahman benar-benar seorang imam. Semua tindakannya ia usahakan sebisa mungkin berdasar atas ajaran rasulnya. Shalat malamnya tak pernah lewat. Puasa Senin-Kamisnya rutin berjalan. Tiap maghrib ia adakan tausiah dalam keluarga, walau hanya sekedar membaca satu hadis yang dinukilnya dari sebuah kitab. Subuh selalu dilakukannya di masjid, bahkan semangatnya meninggi kala hujan deras. Amal sodakohnya pun tak pernah lowong.

Mas Rahman adalah sosok suami idaman, sangat mirip dengan almarhum bapak. Tanpa perlu meruntuhkan harga diri dan egonya sebagai lelaki yang selalu lebih besar dari apapun di dunia ini (hoho!), ia selalu bersedia menggantikan peranku, kapan saja ia ada di rumah. Mencuci botol-botol. Membuatkan susu anak-anak. Berganti berjaga malam menjaga adik kecil, putra ketiga. Membuat sarapan. Membantu mengerjakan pe-er anak-anak. Menyiapkan pernik perlengkapan sekolah. Hanya mencuci piring yang tidak kuijinkan karena teringat mak yang selalu melarang bapak untuk mencuci piring. Kata mak, biarkan itu selamanya menjadi jatah wanita. Bahkan menjahit kancing bajunya sendiri yang terlepas,  mas Rahman mampu melakukannya.

Karena rasul kita tercinta, tak jarang menambal sendiri lubang di jubahnya, bahkan menjahit sendiri kasutnya. Dan tak ada yang salah dengan itu, bukan? Kuingat itulah yang pernah mas Rahman katakan sambil bersikukuh mencegah tanganku yang hendak mengambil alih kemejanya itu.

Aku tidak sedang membual. Ini kenyataan yang mengagumkan dan menyenangkan. Tapi, darimanakah kemandirian itu diperoleh mas Rahman?

Masa kanak-kanak mas Rahman dihabiskan di sebuah pondok pesantren. Eyangnya khawatir cucu sulungnya itu tumbuh menjadi anak nakal, karena menurut beliau anak tentara kebanyakan mbandel akibat kehilangan figur ayah yang sering ditugaskan jauh dari keluarga. Masa SMP diselesaikan di sekolah umum karena saat itu papanya dipindah-tugaskan ke kota yang kemudian mempertemukannya dengan empat sahabatnya itu, The fantastic four. Di masa SMAnya, sang papa kembali ditugaskan di pedalaman. Mas Rahmanpun harus kost karena rumah dinas keluarganya berjarak cukup jauh dengan sekolah. Kemudian sewaktu kuliahnya, mas Rahman berkesempatan kuliah di luar negeri dengan dana beasiswa. Maka, dalam separuh hidupnya itu, ia memang sudah terbiasa mandiri.

“Sudah dong nulisnya. Dari tadi dipamerin punggung melulu. Tulisanmu itu tidak akan menjadi sebuah buku hanya dalam waktu semalam. Cepatlah down-tooled! Don’t make me drool like a tomfool!” mas Rahman terdengar merajuk dari atas pembaringan.

“Makanya mas Rahman bantuin dong. Pusing juga nih, maklum amatiran,” aku memutar kursi, memindahkan konsentrasiku padanya.

“Hanya satu cara agar kau punya kepala tidak pusing lagi,” berkata begitu mas Rahman menarikku.

Malas-malasan aku menanggapi kemesraannya, tapi mas Rahman memang selalu punya cara. Dalam sekejap, I drown into him and I quivered beneath his touch. Malu-malu kutepis tiap sentuhannya. Sambil melepaskan diri dari belitannya, kuisyaratkan pintu kamar yang setengah terbuka, menjadikannya berstatus bahaya karena invasi tiba-tiba atau panggilan darurat bisa terjadi kapan saja.

“Pernah tidak kau merasa heran, Klau?” tanya mas Rahman lagi setelah meredam hasrat karena malam memang masih belia. “Atau paling tidak, sedikit bertanya-tanyalah…” sambungnya tanpa kejelasan.

“Heran atas apa?” jawabku mengembalikan pandangan ke layar komputer.

“Heran gitu, mengapa kau bisa berjodoh denganku dan mendapatkan kelimpahan anugerahNya?” sahut mas Rahman datar namun tak hambar, ada unsur pretensi di sana.

“Hm, begitu, ya?” aku mulai melambatkan kecepatan jemari berlaga-tari di panggung keyboard. Naga-naganya, ia mulai melempar bola panas. “Dan mengapa pula aku harus bertanya-tanya?”

“Ya, bertanya-tanya apa gerangan salahku, hingga yang kudapatkan hanyalah musibah belaka,” jawabnya tanpa beban. Mengesalkan? Oh, tidak.

“Hm, jadi, kesimpulannya, mas Rahman adalah anugerah buatku tapi aku musibah buatmu? Atau dengan kata lain, ini semua kekeliruan, begitukah?” kujawab dengan pandangan tetap terfokus pada layar datar.

Mas Rahman pasti lupa, ini bukan past. Sekarang adalah present. Kini butuh waktu lama baginya untuk bisa menyentil ketersinggunganku. Mulutnya sudah tak lagi ampuh seperti dulu. Sindiran apapun sudah tak mempan buatku.

“Kekeliruan favoritku,” mas Rahman terkekeh sendiri. Mungkin akhirnya ia sadar telah gagal memancing emosiku. Namun sesungguhnya yang terjadi, ia memang tak pernah berniat menyakitiku, in the past, in the present and in the future.

“Sejujurnya, aku memang sempat bertanya-tanya, bahkan pertanyaanku lebih panjang lagi. Apa, siapakah aku hingga Tuhan begitu baik denganku? Bahkan seringkali tumbuh rasa tak pantas bilaku menerima semua ini. Tapi kupikir mungkin itulah sifat kemahaanNya, Maha Kasihnya. Dari situ pula kemudian aku teringat kata-kata almarhum Jean Paul Henri. Begini yang dia pernah bilang kepadaku, Darling D, you need to be more confident about yourself. You know that sometimes people are beautiful. Not in looks. Not in what they say. Just in what they are. And you’re one of them.”

Kulirik mas Rahman seraya mengulum senyum nakal. Kata ‘darling D’ jelas tak ada sebelumnya. Sengaja kutambahkan, sekedar membalas olok-oloknya belum lama berselang.

Purnama di wajah mas Rahman pun segera padam. Posisinya sebagai orang kedua yang singgah di hatiku selalu mendatangkan kecemburuan. Inilah secret weapon yang sesekali terpaksa kukeluarkan bila mulutnya mulai usil dan aku pula kehilangan akal membalas kejahilannya. Ouh, jahatnya aku!

“Siapa kau bilang tadi?” sepasang alis mas Rahman bermanuver, menukik tajam.

”Jean Paul Henri,” kujawab berikut ketegasan yang terencana. Aku tahu, aku tahu, tidak seharusnya kusebutkan nama itu. Perlahan kuberingsut mundur dan meningkatkan kewaspadaan melihat gelagat menyerang dari mas Rahman. Beberapa bantal yang menghalang kusengkat dalam sekali tendang.

“Cobalah kalau kau berani menyebut namanya sekali lagi di depanku,” ancam mas Rahman. Lalu tangannya sigap menarik kakiku. Aku menjerit dan separuh menahan tawa. Namun segera kubekap mulutku sendiri, takut terdengar ketiga putra mahkota di istana kecilnya masing-masing. Dan kelengahanku itupun dimanfaatkan dengan sangat baik oleh mas Rahman. Dalam sesaat, jadilah aku tawanan dalam dekapannya yang erat.

“A-a-ampun, Mas,” desisku menahan geli, karena telapak kakiku yang dia gelitik dengan keji.

“Satu lagi, Klau!” katanya dengan nafas tersengal karena menahan perlawananku. “Hapus segera cerpen jelekmu yang berjudul ‘Hitam Bukan Hijau’ itu!”

“Loh, kenapa? Ngga mau ah. Sayang dong, Mas. Animo pembacanya lumayan tinggi. Komentar para sahabatku juga bagus,” aku menolak setengah merengek setelah berhasil sedikit meregangkan ‘borgol’ tangannya di kakiku itu.

“Ngga suka aja. Pokoknya hapus ataauu…” jari mas Rahman mulai menggeranyangi telapak kakiku lagi.

“Hi-hi-hiyaaa…, iya, nanti aku hapus deh!” janjiku sambil menjejak-jejakkan kaki karena tak terkira geli.

“Dari dulu tinggal pencet delete, apa susahnya sih?” mas Rahman menggerutu.

”Aduuh, bilang aja cemburu, pake malu-malu,” aku mencibir santai seraya menggelung-konde rambutku yang tergerai kusut-masai.

”Oh, tak ada itu pasal cemburu dengan batu nisan,” mas Rahman menguap lebar.

“Selain cemburuan, ternyata mas Rahman juga ge-eran ya? Hijau memang kutujukan bagi sepasang mata Paul yang menawan. Tapi hitam? Mas Rahman kan bola matanya coklat, jadi hitam itu bukan merujuk padamu. Bisa jadi pria lain…” ujarku menyeringai. Lalu bergegas turun dari peraduan, sadar telah mengusik ketenangannya.

Belum sampai kakiku terjuntai, pita gaunku sudah lebih dulu disambar. Dalam satu sentakan saja, mas Rahman sukses membuatku kembali terguling, we are shifting then he begin pressing kisses along my shoulder to the base of my throat. Kemudian telapak tangannya ditangkupkan atas wajahku and when he bent his head, I close my eyes in exquisite relief. But then, just as his lips were about to touch mine, invasi yang kutakutkan terjadi. Daun pintu kamar terkuak, panggilan darurat pun riuh meledak-ledak.

“Mamaaaa! Mana susu adek? Mama, mana buku pe-er kakak? Mama, ayo temani adek walnai gambal-gambal! Mama, kakak mau jus jambu dong! Mama… Mama… Mama…”

Ouch, ouch, those kids! Selamanya mereka takkan membiarkanku menjadi Cinderella, namun upik abu yang mengabadi. Well, setidaknya panggilanku kini bukan lagi mbak atau yang lain-lain, tapi panggilan yang paling didambakan seorang wanita, mama!

Malam kian menua. Gelap telah menggulita. Dan tawa canda dua beradik itu semakin merentangkan jeda. Tigapuluh menit berlalu untuk memindahkan pangeran sulung di kamarnya. Tigapuluh menit lagi terlewat untuk menggendong  princess kedua. Untungnya ghazi ketiga telah terlelap selepas maghrib.

“Mungkin setelah ini, perlu ditambah lagi jaringan bisnismu dengan konsultasi pernikahan,” kata mas Rahman setelah invasi anak-anak berhasil dilumpuhkan.

“Saran yang bagus mas. Tapi aku tidak berkompeten menasehati pernik persoalan pernikahan. Harus orang yang ahli, sebab bukankah setiap rumah tangga itu memiliki misterinya yang unik sendiri-sendiri? Jangan bilang, jabatan counselor itu akan mas bebankan pada lek Kamidi!?” tudingku penuh kecurigaan.

“Aku sendiri kok yang akan jadi counselor itu,” sahut mas Rahman kalem.

“Ah, benar kan, suka kepedean gitu deh. Memang mas Rahman bisa apa? Pengalamanmu blusukan ke hutan, ke kantor-kantor, itukan tidak relevan dengan persoalan pernikahan?” cibirku menggoda.

“Memang benar tidak relevan. Tapi setidaknya aku sudah menjadi seorang role model, suri tauladan bagi calon klien kita kelak, terutama para wanita. Bahwa kalau mereka mau menikah dengan sedikit masalah, maka carilah suami idaman sepertiku,” jelas mas Rahman so calm, so smooth, and so... damn cool.

Aku terpana-pana mendengarnya. Tidak kusangka ia akan menyombong sedemikian rupa. Dengan gemas kucubit pinggangnya. Mas Rahman tidak menghindar, justru menyambut tanganku lalu menariknya lebih jauh ke dalam dekapannya yang harum, sedap lagi hangat. Kali ini akupun tak menolak, bahkan kupastikan pintu kamar telah terkunci rapat. Bebas dari invasi gerombolan siberat…

______________________________________

1364374781819873889
1364374781819873889

______________________________________

Sahabat pembaca yang baik, terima kasih banyak telah bertekun mengikuti Klaudia, sebuah cerita sederhana sekedar pelepas kepenatan. Tak terbersit sedikitpun untuk menyinggung sesiapa dengan ide cerita dan gaya bertutur. Mohon maaf bila itu tetap terjadi. Semuanya tak lepas dari kekurang-hati-hatian penulis dan kekhilafannya memilah kata. Semoga ada manfaat yang dapat dipetik. Terima kasih juga untuk stockphotofree dan colorbox.com atas gambarnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun