Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Hotel Impian Tijah

31 Maret 2015   15:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:44 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kalau daun lompong itu enak buat mbungkus buntil,” jawab Tijah.

Lalu dari bincang-bincang tanpa ditemani kudapan itu, Tijah pun berjanji akan menyuruh Kuntarsih, anaknya, untuk mengambil pesanan buntil dan nasi mugana dari para napiwati sekaligus untuk sipir-sipir di sini. Namun bilakah? Sebab Tijah tak pernah tahu bila Kuntarsih pernah mengaku sangat malu dengan ibu tuanya itu punya laku.

Hari-hari Tijah kini terbelenggu. Tak lagi seperti di masa lalu. Bisa ngalas, mendaki bukit, bertegur sapa dengan rerumput liar, serangga, beburung sesekali uwa-uwa. Adakala terkejut oleh desis ular, ringkik babi hutan sambil mulutnya terus komat-kamit ‘numpang-numpang’ sepanjang setapak terhampar, jalan kecil terjal berpagar belukar yang bertahun sudah ia telusuri. Tapi selalu ada hikmah dibalik suatu masalah, demikian hati Tijah kerap berharap.

“Simbah jangan mau dipenjara lima tahun hanya untuk selembar dua lembar daun jati, saya ini loh hampir sehektar lebih pepohon saya tebang, hukuman saya sama dengan simbah, hehe,” napi yang cantik terkekeh bukan meledek.

“Minta ditarok tivi sama sipir, Mbah,” usul napi lain. “Dan kamar mandi yang ngga bau pesing, seperti punya saya itu, Mbah.”

“Pakai uang ndak?” Tijah bertanya.

Yo pake tho, Mbah. Mana adayang gratis di dunia ini, Mbah-simbah? Sampeyan kalau buang hajat ngga mbayar nanti dikepruki orang!” tawa memecah dari para pengikut napi cantik itu, kembali memenuhi ruang sempit berpagar besi.

Lah pripun, kata anak dan cucu, uang simbah ngga laku gitu?” kening Tijah bertambah kerutan.

“Uang apa yang ngga laku itu, Mbah?” penasaran seorang tahanan.

“Itu, uang kertas yang gambarnya neng Dora, neng Sinderella, Naruto,” terang Tijah.

Dan meledaklah tawa yang membahana dari para tahanan wanita yang tengah menikmati makan siangnya mendengar penuturan Tijah hingga seorang sipir harus mengetuk pagar besi dengan pentungannya beberapa kali barulah redam keriuhan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun