Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semboja dan Hujan Luruh Bersama Luh

10 Oktober 2012   10:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:59 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[image: http://www.science.ubc.ca/]

~~~

Di tengah keheningan, setangkai bunga jatuh di atas telapak tanganku. Cantik walau tidak berputik. Mahkotanya berkelopak lima dengan warna putih bergradasi merah keunguan dan kuning tepat di tengah-tengahnya. Takdir semboja begitu menyedihkan, ia hidup sebagai pengingat sebuah kematian.

Aku pasti tengah berhalusinasi ketika dari kelopak putih bersih itu muncul seraut wajah mak. Segera kupejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. Berharap halusinasi ini akan segera menghilang seiring terbukanya mataku nanti. Ternyata itu tidak terjadi. Sebab mak masih di sana, kini justru dengan senyumnya yang sangat kurindu. Mak…, panggil batinku tercekat oleh kesedihan yang begitu perih.

Ini tujuh hari sejak wafatnya mak. Semboja ramai berguguran menyelimuti tanah gembur tempat mak dibaringkan. Sudah sepenggalah hari, namun dudukku masih lekat di sini, tak sanggup bangkit dari kesedihanku yang tak terperi. Mak, maafkan aku…, rintih batinku sekali lagi, pasrah pada kenangan demi kenangan yang terus bermunculan dan kubiarkan itu menghantui sebagai pengingat betapa buruknya balasan yang kutimpakan kepada mak atas segala kasih sayangnya yang demikian besar kepadaku. Dan sedalam apapun penyesalan yang kutanggung kini, sejatinya tak ada guna, karena mak telah tiada.

Kelopak semboja di tanganku mulai melayu, namun senyum mak tak lekang, keceriaannya masih seperti yang pernah terabadikan dalam sebuah gambar bersama bayi comel dan gemuk, putri sulungnya yang berumur satu tahun, aku. Teringat akan hal itu, hatiku kembali teriris-iris, perihnya tak terobati. Yaa Allah, yaa Tawwab, kumohon sebesar-besarnya ampunanMu atas segala dosa yang telah kuperbuat kepada mak. Dosa yang mungkin tak hendak Kau ampuni, hingga menengok wajah mak untuk terakhir kalinyapun aku tak mendapat ijinMu, yaa Allah. Apatah lagi untuk mencium tangan memintakan maaf dan ampunannya. Aku si fakir yang hina ini memang layak untuk terhalang. Terhalang mendapati ridha mak karena tak terhitung perbuatan biadabku kepadanya. Yaa Allah, yaa Dzul Jalali Wal Ikram, sungguh sampai kapanpun aku tak akan pernah memaafkan kedurhakaanku pada mak.

Semboja meluruh lagi. Belum tiba masanya meranggas, namun kutahu semboja ingin menghadirkan satu demi satu potret kenanganku bersama mak. Mungkin juga ingin mencolok mataku tentang betapa tak bergunanya seluruh harta benda, pangkat yang tinggi, kedudukan yang terhormat, wibawa yang bermartabat, bila kasih-sayang seorang mak senantiasa kutepis dengan seribu alasan yang terkadang sangat mengada-ada.

“Marti banyak kerjaan, tak bisa antar mak pulang. Suruh saja si Majid untuk hantar mak pulang!” jawabku tandas sesaat kudengar suara mak di ujung telepon. Tak hanya nada bicaraku yang jauh dari tonase lembut, aku bahkan lupa meminta maaf karena kehalanganku itu. Karena besarnya kasih dan sayang mak, seperti biasa mak hanya terdiam dan menuruti semua kehendakku. Namun dari seberang kudengar suara mak termegap-megap menahan sebak di dada, mengadu pada adik bungsuku, Majid. Seketika itu hatiku seperti terlecut, kecewa karena mak tidak memahami kesibukkanku. Meski sempat kudengar nuraniku bertanya, bukankah aku yang sepatutnya berusaha untuk memahami mak?

Selepas meninggalnya abah, mak telah berubah menjadi sangat perasa. Bahkan terlampau sensitif menurut takaranku, mengabaikan pembelaan Majid yang mengatakan, itu sesuatu hal yang wajar sebab diusianya yang menua, didukung kondisinya yang kesendirian tanpa kawan berbincang, pasangan hidup tempatnya bergantung di dunia, sangatlah wajar bila perasaan mak menjadi over-sensitif.

Kucibir si Majid, dalam benakku justru muncul sangkaan buruk yang keji, sifat hasad yang kubiarkan menguasai. Mak pasti menganggapku malas atau berdusta dengan menggunakan alasan kesibukkan kerja. Mak memang selalu begitu. Majid saja yang selalu dibelanya, hingga semua kesan buruk secara langsung ditimpakan kepadaku. Dan tak hanya itu, hatiku selalu membara bila mengingat mak yang lebih kerasan tinggal di rumah Majid. Mak selalu lebih senang menghabiskan waktunya bersama Hayati, istri Majid, beserta anak-anaknya. Lantas mengapa mak harus bersedih ketika aku berhalangan mengantarnya pulang? Mak memang sukanya berlebihan, aku mendengus kesal.

Namaku Marti Damaihati. Barangkali mak sudah dapat meramalkan kelak hatiku akan senantiasa penuh gejolak emosi. Dan memang benar, hatiku tak pernah damai mengetahui mak yang acap menolak menginap di rumahku. Tak peduli betapapun aku telah merajuk, merayu dan membujuk. Yang semakin membuatku kecewa adalah mendengar jawaban mak.

Arep ngapa mamak’e nang umahmu kae, Marti? Apik tah iya pancen apik, gedhong magrong-magrong. Ning omah koh sepi nyenyet kaya pesareyan. Istanamu itu terlalu sunyi, macam tak berpenghuni. Suami dan anak-anakmu sibuk sendiri di kamarnya masing-masing. Bukan lantaran mak benci kau dan keluargamu, tapi mak hanya tak suka saja dengan rumahmu itu.”

Tersentak aku mendengarnya. Dengan hati berasap, cepat kubalas kata-kata mak, “Priwe sih Mak’e? Senengane koh mbedhak-mbedhakna anak-mantu! Si Hayati itu kan tidak berkarir, dia cuma ibu rumah tangga biasa. Kerjanya tak lain ngendon di rumah. Ya jelas sajalah, bila si Hayati itu lebih punya banyak waktu temani mak sepanjang hari atau temani mak kemana pergi. Gyeh, siki tek elingna mbokan mamak’e kelalen yah? Aku kerja mati-matian bukan untuk diriku sendiri. Bukankah mak juga yang menikmati hasil dari kerja kerasku itu? Bukankah mak setiap bulannya tak pernah terlambat menerima semua hasil peluhku itu? Memangnya uang siapa yang mak pakai untuk biaya sekolah keempat adikku hingga mereka semua kini jadi orang berpangkat? Uang siapa yang mak pakai untuk perbaikan rumah di kampung? Untuk mak pergi haji, untuk makan dan pergi berobat, untuk sumbangan-sumbangan pelbagai majlis yang mak ketuai? Untuk mengulur kasih kepada cucu-cucu, kerabat handai dan taulan? Ingatlah mak, semua itu uang aku! Uang yang jumlahnya tidak sedikit. Aku memperolehnya dengan banting tulang yang sesungguhnya, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala. Lalu apa salahnya kalau aku menjadi wanita karir yang sibuk bekerja? Apa bagusnya si Hayati yang bisanya hanya menadahkan tangannya ke suami?” beruntun semburan kalimatku yang biadab kepada mak. Tapi itu sudah biasa terjadi, sepatah kata dari mak akan kubalas dua-tiga patah kata, dan sebaris kalimatnya, sudah tentu akan kubalas dengan narasi mirip sebuah hikayat. Ah, tapi mak juga yang salah, teganya mak berkata seperti itu, bahkan mak juga tak segan berpaling kasih kepada Hayati, menantu yang di matanya selalu sempurna, demikian batinku membela diri sendiri.

Berawal dari iri dengki yang tanpa kusadari telah membuka pintu bagi jalan kedurhakaanku lebih meluas terhadap mak. Kian hari, hatiku kian tertutup, walaupun tak jarang nurani acap berbisik di setiap sujudku yang lima waktu. Ingatlah wahai Marti, tega nian hatimu melukai padahal mak tak pernah sekalipun menyinggung soal berapa rupiah harga nyawanya yang dipertaruhkan saat melahirkanmu, berapa harga airmatanya mendoakan kesembuhanmu, berapa pula harga bermacam obat dan vitamin untuk menjaga dan merawatmu, berapa rupiah untuk susu yang tumpah dan suapan demi suapan hinggaku pandai menyuap ke mulut sendiri, berapa rupiah biaya les, bimbel, sekolah, asrama selama kuliah, dan didikan agama yang ditanamkan pada dirimu. Dan adanya jabatan tinggi dengan segala fasilitas kemewahan ini bukannya kauperoleh tanpa sebab. Apalagi kalau bukan sebab pengorbanan mak, sebab kesabaran dan kecemasannya, kesusahannya, bahkan nyawa pula sanggup mak gadaikan untuk anak perempuannya yang terkasih, yaitu kau Marti.

Bila nurani telah berkata demikian, mendadak saja aku muak sekali dengan diriku sendiri. Kepakaranku pada bidang pekerjaanku, sikap bijak dan kebajikan yang kuhaturkan untuk para kolega, teman dan tetangga, ternyata hanya mampu mendongkrak namaku menjadi kian terhormat dan bermartabat namun tidak menjadikanku sebagai anak yang salihah.

Lebih jauh mengenang, kian nyatalah bahwa bukan sekali itu saja aku menyakiti mak. Dulupun pernah terjadi, saat cucu pertamanya yang paling disayangi yaitu anakku yang sulung bertemu jodohnya. Dengan luapan kebahagiaan yang tak terkira, keluarga kami merayakannya di hotel bintang lima yang sangat bergaya. Tetamu yang hadir bukan main banyaknya. Tentunya dengan atribut ‘wah’ yang jelas menunjukkan tingginya status sosial mereka. Tapi hanya mak saja yang tidak larut dalam euphoria itu. Sepanjang perhelatan roman mukanya selalu bermuram durja.

Mak benar-benar tidak memiliki tenggang rasa, batinku geram melihat awan hitam di wajah mak. Padahal kutahu pasti apa penyebab kemurungannya itu. Benar, jauh hari sebelumnya mak memang telah mengusulkan untuk melangsungkan hajatan di kampung halamannya. Alasannya, mak adalah tetua di kampungnya, mak juga dikenal sebagai pemuka agama, tentunya mak sangat mendambakan warga sekampung dapat merasakan nasi kenduri pernikahan cucu pertamanya itu. Dalam angan-angan mak, kenduri itu pasti berlangsung meriah dan kental dengan kesakralan acaranya. Sebab sesuai tradisi kampungnya, jamaah majlis yang diketuai mak sudah tentu akan dilibatkan dalam bacaan Al Qur’an, shalawatan dan dzikiran yang diiringi tetabuhan hadrohan dari kumpulan anak-anak kampung. Pada awalnya, kami tidak berkeberatan dan langsung menyetujui usulan mak tanpa perlu menimbang lagi. Mendengar itu, tak terkatakan senangnya mak. Kabarpun segera disampaikan, dan dalam sekejap berita gembira itu telah tersebar dari mulut ke mulut hingga ke ujung-ujung kampung.

Tapi siapa nyana, jadwal kerjaku bersama suami berubah menyempit dan tak dapat dikonsolidasi. Tapi dengan piciknya kondisi itu justru kusyukuri, seiring munculnya rasa khawatir mengingat orang-orang kampung yang akan hadir sebagai tamu undanganku. Semakin jauh kupertimbangkan, semakin nampaklah kenyataan bahwa orang-orang kampung itu sesungguhnya tak akan memberikan keuntungan sedikitpun bagi imaji diri dan keluargaku yang terhormat, apalagi untuk kumpulan harta bendaku. Mereka, orang-orang kampung itu tak memiliki pengaruh apapun guna memoles lebih gemilang pada kedudukan kami sekeluarga sebagai kaum terpandang. Dan dari segi materipun, apakah yang dapat diharapkan dari sumbangan orang-orang yang umumnya petani dan pedagang di pasar. Mungkin ada pengaruh kecil dari sedikit pemangku jabatan tinggi di kampung seperti lurah, penghulu dan beberapa guru agama teman mak. Terbayang olehku kelak, hajat besar itu tak lebih sekedar memberi makanan secara gratis pada orang-orang kampung yang kini tak satupun kukenali. Lain halnya bila pesta itu dilangsungkan di kota tempatku tinggal, dengan sekeliling orang-orang yang kukenal, teman dan tetangga yang sederajat, belum lagi kolega dari suami dan anak sulungku ditambah bakal menantuku beserta keluarga besarnya itu. Kesimpulanku, ini seperti membuang emas dalam genggaman.

Andai aku berpikir benar saat itu, maka dapat dimengerti bila mak lantas merajuk, dan sangat kecewa karena usulannya itu tertolak. Namun bukannya memberi pengertian yang dapat menentramkan hati mak, aku lebih asyik membujuk diri sendiri, “Ah, nantipun marah mak akan mereda, seperti biasanya. Bukankah selama ini mak tak mampu menolak apa kataku dan selalu menurutiku karena aku sajalah yang kuasa menanggung hidup mak sekarang ini.”

Ternyata harapanku melenceng, sebab mak yang biasanya penurut itu, untuk kali ini tak juga melumer kemarahannya. Di tengah jamuan pesta mewah meriah, mak yang nampak semakin tua dengan wajah tirusnya itu, bersikukuh dalam aksinya merajuk. Tegur sapa tetamu tak dihiraukannya, apalagi senyum dan tahniah yang dihibahkan, juga tak dipedulikannya. Wajah mak terus saja merengut.

Habislah kesabaranku. Hilanglah pula akalku. Itu terjadi ketika seorang kawan menanyakan perihal sebab musabab murungnya mak. Dengan biadabnya aku mengatakan bahwa mak sudah tuli lagi pikun.

Astagfirullah! Dengan cepat kusadari buruknya perkataanku itu. Namun apa lacur, semuanya telah terucap dan dipersaksikan Allah. Sungguh tak guna bila kini kuteteskan air mata dan menghiba-iba padaNya. Yaa Allah, yaa Hayyul yaa Qayyum, hanya karena aku marah, malu dan kecewa pada sikap mak yang tak sudi melayani tetamu undangan dan hanya duduk membatu di sudut pelaminan, teganya kulontarkan kalimah penuh azab kepada mak? Betapa besar dosaku ini, yaa Bashir, yaa Sami’?

Saat itu, dalam keadaan serba salah, bukannya bersegera memohon maaf namun aku sibuk membujuk diri sendiri, “Ah, sudahlah. Mak juga sih yang salah. Mak yang terkadang amat sulit untuk dimengerti. Lagipula apa hak mak untuk marah, bukankah ini pernikahan anakku sendiri? Semua biaya aku yang keluarkan, inilah hasil kerjaku dan suami. Kejayaan anak-anakku tak ada kaitannya dengan orang-orang kampung yang selalunya disanjung-sanjung oleh mak. Harusnya mak dapat memahami aku.”

Aduhai Marti, terdengar nurani merintih. Rupanya kehidupan kota yang penuh glamour, telah sukses membentuk diriku menjadi seorang yang sangat tinggi hati dan egonya hingga melupakan jasa orang lain. Sengaja kuabaikan cerita si Majid perihal betapa besar jasa orang-orang di kampung terhadap mak, terutama bila mak jatuh sakit sedangkan kesemua anaknya tinggal berjauhan di kota besar. Namun iblis selalu punya cara menelikung di relung hatiku yang kian tertutup. Lagi-lagi hardikanku lebih keras dari peringatan yang disampaikan Majid.

”Lagian sih, siapa suruh mak tinggal sendiri di kampung? Padahal kita, anak-anaknya bukan tak mampu menanggung hidup mak! Salaeh sapa jajal? Salaeh mamak’e mbokan?” begitulah hujah balasku dengan penuh kekejaman.

Hati mak memang terkadang keras, namun aku pula tak mau mengalah. Mengapa tidak kusadari mak itu hanyalah wanita kampung yang sederhana, yang hanya merasa nyaman bila tinggal di kampung halamannya. Mengapa tidak kupahami niat hati mak yang ingin menghabiskan hidup dan matinya di tanah kelahirannya. Apalagi almarhum abahpun disemayamkan di sana. Oh, bicara tentang abah, aku cepat teringat pada kebiadabanku yang lain. Semasa hidupnya, abah pernah sakit keras hingga dijemput ajal. Dan aku yang dikabari tak hanya sekali, lebih mementingkan sebuah rapat penting daripada tergopoh membeli karcis kereta api tercepat dan pulang demi menjumpai abah untuk terakhir kali. Mak bukan kepalang marahnya saat itu. Kemarahannya lantas dituangkan dengan cara mendiamkanku selama sebulan. Tak pernah sekalipun mak mengangkat telepon dariku. Namun seiring waktu berjalan, lagi-lagi hatinya mencair melihatku memaksakan diri untuk pulang dengan membawa beribu kata maaf, walaupun nasi telah basi.

Berdasar pada pengalaman itu, aku semakin yakin, bila selepas pesta pernikahan ini, mak akan memaafkanku lagi. Terlebihnya, secara esensi hajatan ini bukanlah kasus yang berat dibanding insiden wafatnya abah dulu, ini cuma perkara remeh-temeh yang akan segera dimaafkan mak. Selama ini telah terbukti mak selalu menyediakan kata maafnya yang tak terbatas untuk semua khilafku, baik yang memang kusengaja ataupun tidak. Bukankah, tak ada mak yang tak sayangkan anaknya ?

Telah banyak peristiwa terjadi, maka seharusnya sejak itu, aku lantas insaf. Tak lagi mempermainkan kata ‘maaf’. Herannya, aku tak kunjung sampai pada batas kesadaranku. Tak cepat menyadari keburukan diri yang perlu segera dikebiri. Kedurhakaanku pada mak justru menjadi-jadi. Aku semakin jarang menelpon mak apalagi berkirim sms yang membutuhkan keterampilan jemari, padahal tiap saat aku berpantang melewatkan satu BBM berdenting meski itu sekedar chatting untuk hal-hal tak penting. Dalam dua bulan, pernah aku hanya sekali saja menelpon mak, itupun setelah mendapat teguran dari suami. Disebabkan kesibukkanku yang kian hari kian menyita waktu, aku sampai terlupa mengiriminya uang. Sekali, dua kali, hingga itu terhenti. Dan aku tak lantas menyesali, justru menginginkan mak datang sendiri mengambil uang jatah bulanannya. Segolongan iblis pasti sudah berakar di kepalaku, hinggaku lantas terpikir begini: Loh, yang butuh siapa tho? Sudah sepantasnya yang butuh uang, datang sendiri menjemput rejekinya. Ya, siapa menduga, aku yang begitu dihormati, disanjung, disegani sejawat, kolega dan semua jaringan dalam lingkunganku yang terdiri dari orang-orang beradab, hebat, terhormat, dapat berlaku sebejat itu. Demikian tega memperlakukan makku sendiri layaknya pengemis yang datang ke rumah menjemput sedekahnya. Yaa Allah, yaa ‘Afwu, adakah dosa yang lebih besar dari dosaku?

Benar saja, makpun akhirnya mengalah. Mak datang sebulan sekali ke rumahku untuk mengambil jatah bulanannya. Yang demikian itu, nampaknya belum juga memuaskanku. Apalagi setelah mendengar kabar mak tak pernah menolak kunjungan setiap kerabatnya yang berkekurangan. Aku tahu mak adalah seorang yang pemurah, tapi mana boleh ia menghambur-hamburkan uang hasil jerih payahku? Tidak tahukah mak apa yang telah berlaku pada diriku untuk mendapatkan semua uang itu? Dan sekarang, dengan seenaknya mak semakin kerap datang karena alasan uangnya tak pernah cukup.

Tapi begitulah mak, kutahu sejak kecil dahulu, mak selalu menjadi tumpuan saudara-saudaranya. Bila tak punya uangpun, beras pula akan diberikannya. Tak ada beras, jagung kering yang disimpannya untuk masa paceklik dibawakan untuk saudaranya. Apapun diberikan asalkan saudara yang kesusahan tak pulang dengan tangan hampa.

Aku gemas tak kepalang tanggung mengingat mak. Terbersit niatku mengumpulkan adik-adikku, lantas menghasutnya agar memutuskan bantuan keuangan untuk mak, dengan dalih kemungkinan mak tengah diperdaya oleh saudaranya. Namun aku berakhir dengan kemarahan yang lebih besar, sebab tak satupun adikku yang mematuhiku, si kakak sulung dan putri kesayangan mak. Mereka berempat justru terang-terangan mengirim wesel untuk adik bungsu mak yang memang paling miskin namun selalu ringan tangan menolong mak di setiap kesusahan. Di mataku, mbah lik, sebutanku untuk adik bungsu mak itu, pasti tengah menyusun siasat di balik semua kebaikannya, dan berharap kelak semua harta mak jatuh kepadanya saja.

Mak pasti telah mendengar pengaduan adik-adikku yang macam pengkhianat busuk. Akibatnya mak berhenti total meminta uang dariku. Tak pernah lagi datang ke rumah untuk mengambil uang seperti sebelumnya. Dan secara menakjubkan, aku tetap bergeming, hingga tak terasa setahun lamanya kami berdua tak berjumpa, kecuali mak yang menelpon lebih dulu pada ketiga anakku, terkadang suamiku, sekedar bertanya kabar yang disebabkan kerinduannya pada cucu.

Pada hari raya terakhir dalam hidup mak, Allah Zul Ma’arij seolah sengaja menghalangiku bertemu mak. Karena aku lebih memberatkan ibadah umrah daripada pulang kampung menghaturkan sungkem kepada mak, apalagi mengingat setahun lamanya tak pernah sua. Yang mengejutkan, aku tidak merasakan kesedihan apapun atau teringat untuk menelpon mak dari Tanah Suci atau sepanjang ibadahku di sana. Aku benar-benar tenggelam dalam angan-angan surga dan pahala berlipat-lipat saat tawaf, sa’ie, dan duduk itikaf di Masjidil Haram. Sungguh diriku ini telah khilaf dan terlupa pada pesan Baginda Rasulullah tentang dosa-dosa besar yang empat; syirik kepada Allah, durhaka kepada orang tua, membunuh dan saksi palsu. Benar-benar tersilap bahwa syahdan diceritakan, Rasulullah menyuruh seorang pemuda untuk segera pulang dari medan perang hanya untuk menjaga kedua orang tuanya yang sudah renta. Rasulullah tidak mengijinkan pemuda itu untuk berjihad di jalan Allah karena kasihan kepada orang tuanya.

Yang terjadi pada diriku justru sebaliknya. Aku lebih mendahulukan umrah dan memutuskan kasih sayang antaraku dan mak. Hal yang sunnah aku kerjakan, sedang yang wajib aku tinggalkan. Syaitan benar-benar telah memperdayaiku. Aku sukses dibutakan. Betapa keras hatiku sungguh, hingga tak terbersit untuk bertanya kabar, sehatkah mak apalagi berucap memohon maafnya dengan penuh tulus ikhlas di hari raya nan suci. Karena hasad, akupun dengan congkaknya beranggapan bahwa hanya diriku sajalah yang benar, dan mak yang telah bersalah. Mak yang tak pernah adil antaraku dan para menantu, terutama Hayati, padahal akulah anak kandungnya sendiri. Mak yang selalu tega membanding-bandingkan dan terus menyudutkanku di sudut penuh kesalahan. Aku cemburu melihat mak yang lebih suka berkeluh-kesah pada Majid dan Hayati. Aku benci semua orang yang dekat dengan mak. Mengapa bukan denganku saja, putri kesayangannya? Putri yang telah menanggung semua biaya kehidupannya di masa tua?

Bukannya introspeksi diri, namun aku justru menyalahkan seratus persen pada mak atas keadaan ini. Aku tidak juga sadar bahwa tak ada sebab tanpa alasan yang memicunya. Aku tak dapat menerima bahwa sesungguhnya dirikulah yang menjadi penyebab semua ini. Hatiku benar-benar kosong, hampa. Tak pernah lagi hadir kerinduan bila mengingat mak, bahkan yang muncul selalunya rasa tak puas pada mak.

Namun cinta mak kepadaku terlampau besar. Sebuah cinta yang mak sendiripun pasti sulit untuk mengerti. Bekas luka yang disebabkanku mungkin tak pernah dirasakannya sakit, dan mak tak juga keberatan ketika aku menambahnya dari hari ke hari. Aku percaya, luka hati seorang mak yang disebabkan anaknya, tak pernah meninggalkan bekas. Mungkin itu sebabnya, di atas semua luka yang pernah kuperbuat terhadapnya, mak tetap datang kepadaku. Sepulangnya dari umrah, mak menyambutku dengan dekapan penuh kerinduan. Airmatanya berlinang-linang, tangannya bergetar memelukku. Aku hanya diam, dalam hatiku senang karena merasa menang. Tak ada pilu dan rindu yang seharusnya ada di hatiku, yang tumbuh justru sikap angkuh karena merasa diri sebagai hamba Allah yang telah suci selepas ibadah umrahnya dan beranggapan inilah hikmah pahala yang kudapat demi melihat mak yang tersedu-sedu. Tak kuhiraukan si Majid yang mendelik tajam melihat sikapku yang membatu, aku justru membalasnya dengan seringai keji, bangga seolah berkata, “Kau lihatlah Jid, mak akhirnya akan selalu mengalah kepadaku!”

Harusnya saat itu juga, cepat kusadari betapa besar kasih mak kepadaku. Sebab demi menyambut kepulanganku dari umrah, mak berkenan menginap sehari di rumahku. Namun hanya sehari saja, karena mak segera kembali ke rumah Majid. Keserakahan membuatku kembali meradang mendengar alasan mak. Bujuk rayuku sia-sia saja menghalangnya untuk pergi. Sebab kerinduan mak ternyata lebih ditujukan kepada bayi Hayati yang baru lahir. Mak berniat menjaga istri si Majid itu hingga habis empat puluh hari masa nifasnya. Cemburuku bergolak dengan cepat, menguasai akal sehat. Seingatku, dulu mak tak berlaku seperti itu terhadapku. Mak hanya sempat menjagaku selama seminggu. Walau dikatakannya bahwa aku wanita yang mandiri, pandai menjaga dan merawat diri sendiri, ditambah dukungan dua asisten yang siap sedia melayani. Dan ketika itupun, adik-adikku masih belum lepas dari pengawasan, sehingga semua itu menguatkan alasan mak untuk segera pulang mengurus mereka. Dan tega meninggalkanku paska operasi caesar walau baru seminggu berlalu.

Kalau sekarang Hayati yang menerima kelimpahan kasih mak, mengapa aku harus cemburu,  mengapa tak terpikir olehku, bahwa mak kini sudah tak ada lagi yang diurusnya di kampung, sehingga waktunya tersedia lebih longgar, anggaplah Hayati yang beruntung. Namun karena rasa cemburu yang membuta itu, aku tak dapat berfikir dengan bijak, ataukah kebijaksanaanku memang berlaku hanya untuk kondisi tertentu yang menguntungkan saja ?

Didorong oleh perasaan cemburu, sedih, benci, dan prasangka bahwa sejatinya mak memang tak pernah adil, aku mengacuhkan telepon mak. Beberapa kali kutampik permintaan tolong mak untuk mengantarnya kepada keperluan. Dan mak keras hati benar, tak juga jera walau sudah kusuruh anak-anakku untuk mengatakan aku sedang banyak urusan. Lalu dengan kejinya, batinku menuduhnya, ”Uh, pasti ada maunya hingga mak memaksa bicara. Apalagi kalau bukan urusan uang…” Hingga tiga kali mak memohon bicara, dan aku tetap menolaknya, melenggang keluar dari ruangan tanpa peduli melihat anakku yang kebingungan dan wajahnya yang serba salah karena tak enak hati pada neneknya di ujung telepon.

”Maaf ya Nek. Tinggalkan pesan saja, nanti Rizal akan sampaikan pesan nenek kepada Bunda...”

Yaa Allah, yaa Syahid, tiga kali mak meminta, dan akupun telah mengabaikannya. Apakah susahnya menjawab panggilan mak? Mungkin saja mak hanya ingin mengucapkan selamat tinggal sebelum kembali ke kampung, atau mana tahu bila mak ingin mendengar permintaan maafku, atau bisa jadi mak hanya ingin mendengar suara bayinya yang pernah dipeluk-ciumnya dengan penuh kemesraan, atau mungkin mak hanya mau dengar cerita-cerita kejayaanku di berbagai seminar, di kantor, supaya makpun turut merasakan satu kebanggaan. Tapi mengapa aku bahkan berprasangka buruk kepada makku sendiri? Sungguh tiada prasangka di dunia yang paling buruk seperti sangkaanku pada makku sendiri. Mengapa aku terus saja menolak mak? Mengapa aku selalu lari dari panggilannya? Bukankah Al Quranpun mengatakan, ”Cukuplah kedurhakaan seorang anak itu jika ia berkata ‘uh’ saja kepada maknya? Lantas bagaimana ini dengan banyak kata kesatku? Protes dan tak puas hatiku kepada mak selama ini ? Adakah kejahatan yang paling berat selain perbuatanku ini? Oh, mak…

Ingatanku berujung pada kesempatan terakhir yang kusia-siakan. Karena selepas peristiwa itu, mak pulang ke kampungnya dan kamipun tak pernah berhubungan lagi. Tak pernah! Hubungan itu benar-benar telah terputus. Hingga tiba hari ini, subuh tadi, usai berjamaah dengan imam keluarga, suami tercinta, datanglah kabar dari kampung. Mak sakit parah.

Seketika itu bergejolak beragam perasaan dalam hatiku. Sebab pagi ini akan ada seminar akbar yang diselenggarakan grup perusahaan nasional ternama dimana aku akan berdiri sebagai pembicara tunggal. Persiapan untuk hari terpenting ini telah kulakukan jauh hari. Sudah matang, tinggal pelaksanaannya saja. Ini sungguh ajang yang tak boleh kulewatkan demi pamor jabatanku dan kredibilitasku di kantor.

Bolehkah mak tunggu aku barang sekejap? bolehlah mak…, batinku memohon. Hanya setengah hari saja mak. Usai seminar ini, akan segera kujumpai mak dengan berita kesuksesanku yang akan membuat mak bangga telah melahirkanku.

Pagi hingga dua siang hari itu, dengan kesibukkan tak henti mengalir di tiap jamnya, waktupun berlalu tak terasa dan membuatku terlena tentang mak. Seperti harapanku, seminar itupun berlangsung sukses. Dalam sekejap beritanya sudah dapat kubaca di setiap situs internet, tinggal menunggu sore kala semua koran sore akan memajang foto diri berikut tajuk artikel kesuksesanku. Aku sudah meraih kunci mobil, tujuanku sudah pasti, pergi menjumpai mak. Baru saja dua tegukan dari air jeruk artificial itu menggelontor secuil roti makan siangku, banjir sms datang dari semua teman, kolega dan jajaran direksi tempatku bekerja. Akupun tenggelam dalam kesibukkan membalas setiap sms dengan kebahagiaan dan kebanggaan yang sulit kukatakan. Hingga seorang sahabat terdekatku menelpon dan tak habis-habisnya memuji, “Selamat ya Marti? Kau memang hebat! Kau bukan hanya seorang wanita karir, tapi istri, ibu dan anak yang luar biasa! Aduduh, terbayang deh betapa senang dan bangganya mak di rumah…”

Seperti disambar geledek aku mendengar nama mak disebutnya. Yaa Allah, yaa Raqib, yaa Dzahir, yaa ‘Azim, yaa Dzut Thaul, yaa Dzul Fadhl, yaa Awwal, yaa Akhir… kusebut sekian asmaul husna yang memujiNya, saat ingatanku terbang kepada mak yang kini tengah terbaring sakit parah. Seluler yang kugenggam hampir terjatuh karena aku begitu gemetar mengingat mak. Sejurus kemudian aku sudah menekan nomor rumah mak di kampung. Bunyi panggilannya berdering, lama tak ada yang mengangkat, jantungku riuh berdentam-dentam. Lalu terdengar suara Majid yang sendu dari sana, “Alhamdulillah, mak telah selesai dikebumikan. Mba Marti tak perlu repot pulang ke kampung.”

Petir menyambarku untuk yang kedua kali. Kata-kata Majid demikian memalu dinding hatiku yang keras ini. Rasa bersalah, takut, marah, duka, dan sesal, terlampau pedih untuk dikiaskan. Aku sontak merasa hampa dan hilang arah. Seperti terlontar ke dalam jurang dalam yang tak berdasar. Berkali-kali kusujud bersama tangis dan doa yang panjang namun tetap tak mampu menenangkan jiwaku. Wajah mak terus hadir di setiap sudut ruang yang kupandang, wajahnya yang senantiasa teduh dan penuh cinta. Dan aku sungguh tersiksa karena hanya mampu memandangnya saja tanpa dapat memeluknya walau untuk sekali saja yang terakhir. Ampunilah aku mak… kalau ada sedetik saja ruang untukku meminta, maafkan Marti mak…

Yaa Allah, yaa Hakim, ampunilah aku, hambaMu pendosa besar yang bergelimang azab ini. Walau kutahu tak akan sanggup menanggung hukumanMu, namun hukum sajalah aku di dunia untuk menebus keridhaan makku. Karena kelak aku ingin menemui mak dengan jiwa yang bersih dan memeluknya penuh cinta…

…Semboja berhenti luruh, gerimis yang kini jatuh, melarutkan luh

~~~

*Merasa tidak suka dengan nikmat yang telah Allah berikan kepada orang lain. Sifat semcam ini muncul karena pengaruh dan bisikan setan yang menjadi penyebab meninggalkan berdoa kepada Allah. Bisa juga berarti meremehkan nikmat yang ada. Itulah sifat hasad. Dan selalu berprasangka baik adalah salah satu cara untuk menghindari sifat hasad [dari buku Syaamil Al Quran for Kids - My First Al Quran]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun