Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Manakah Kaleena?

26 Mei 2012   04:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:47 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1338007474796150165

“Kiran, sang Dayang Pamegat Sukma!”

Anyeong haseyo, olaen man-eyo, Pyeonggang-ssi!”

Dhanapati terbengong-bengong mendengar bahasa aneh dari mulut Kiran. Dia tak pernah mengira ada bahasa lain yang dikuasai adiknya ini. Ah, pasti sudah berabad lamanya aku meninggalkannya. Kini ia seorang gadis berwawasan semesta, bukan adik kecil yang mulutnya cerewet memanggil: kakang! kakang! dan berlari mengekor kemana dia pergi, Dhanapati cepat-cepat menghalau keluhan batin yang terdengar nelangsa dan pasti dapat melemahkan jiwa.

“Adik, siapakah dia?” tanya Dhana penasaran. Matanya tak lepas menatap. Kecantikan Kaleena mendadak kehilangan pesona dibanding paras sempurna wanita yang berdiri anggun-menggoda tepat di hadapannya. Sepasang mata bulan sabit dengan kerling manja yang sumpah! demi kelima istri tercantik Arjuna yaitu: Sembadra, Manohara, Ulupi, Gandawati, dan Srikandhi, sangat enggan dia lewatkan. Ah, tidak-tidak! Dhanapati menggeleng-gelengkan kepalanya. Mengusir separuh dirinya yang serupa monster gila manakala berhadapan dengan wanita. Malangnya, pesona itu rupanya telah memperangkap erat. Dhanapati lancap melemparkan senyuman penuh makna.

Kiran segera memahami, “Kenalkan Kang, dialah yang terkenal sebagai pendekar Sabuk Kencana Mu Gung Hwa dari Negeri Poktanju.”

“Kau pasti Dhanapati, durjana pemetik bunga dari Jawa Dwipa!” sambut Pyeonggang disusul tawanya yang jenaka-manja.

Dhanapati tersentak mendengar penuturan wanita yang dianggapnya titisan kelima istri tercantik Arjuna. Dia menatap Kiran dengan pandangan heran.

“Kenapa heran? Tidak sadarkah Kakang, bila jejulukmu itu sudah kondang di seantero jagad persilatan!” mulut Kiran mengerucut, sedikit menyesali mengapa keharuman nama padepokan Mbah Wongso, harus ternodai dengan gelar tak resmi Dhanapati.

Pyeonggang melangkah hati-hati. Tak sampai berjarak dua depa, ia berhenti. Matanya membentuk bulan baiduri, tajam mengawasi.

“Hati-hati Kang! Jangan sampai terpukau oleh pesona paras ayunya! Dan berhentilah menatap pada keindahan bunga Mu Gung Hwa yang melekat di dadanya itu! Atau… Kakaaanngg!!”

Terlambat sudah. Peringatan Kiran itu menjadi tak berguna. Dhanapati menggelepar pasrah; seperti ikan malang tersesat di mata kail. Lemah tak berdaya dalam dekapan mesra Pendekar Sabuk Kencana Mu Gung Hwa. Ataukah sengaja melemahkan diri, menyerah kalah pada ajal, karena sang penjemput maut bukanlah dewa bersenjata gada, namun dewi seharum kesturi. Darah Kiran tercekat, melihat Dhanapati lehernya ditelikung sedemikian rupa di bawah ketiak mulus Pyeonggang, namun wajahnya tak menampakkan rona kesakitan. Ceruk harum di bawah lengan baju Hanbok itu memang sangat memabukkan.

Aigo!Hanya sampai di sini sajakah kehebatan pendekar dari Jawa Dwipa? Atau kakangmu ini tak lebih dari seorang durjana sejati ? Mana kehebatan ajian Palguna Pemikat Bunga, yang konon kabarnya sanggup menyihir setiap wanita hanya dalam satu kedipan mata saja. Apakah kau salah satu dari para wanita itu, Kiran-ssi ?!”

”Pyeonggang-ssi, lepaskan dia. Maafkan kelemahan etikanya. Walau kelihatan gagah perkasa, namun kondisinya saat ini sedang dalam trauma. Semua wanita cantik yang dia temui, dilihatnya sebagai Kaleena…”

Wusss !

Tanpa pedulikan permohonan Kiran, Pyeonggang melesat dengan menggendong Dhanapati yang terpejam nyaman selayaknya bayi dalam buaian.

”Bila Shang Gurulaki pun tunduk-takluk kepadanya, mengapa tak kau beri kesempatan padaku, Kiran-ssi ?! Ha ha ha !” bahana tawa Pyeonggang membangunkan seluruh penghuni hutan.

”Ayolah ! Demi persahabatan kita, serahkan Kakang Dhana sekarang juga. Waktu kami tak banyak, keperluan kami di sini sangat mendesak.”

Berkata begitu, Kiran menyibakkan Selendang Hangestreni yang selalu terlilit di lehernya. Kain panjang yang bertekstur lembut itupun berubah menjadi sekeras tongkat toya berbahan baja. Dalam sekejap ujungnya yang berenda telah mengikat pinggang Dhanapati. Kakak tunggal gurunya itu masih dalam kondisi setengah terpejam, dan apa mau dikata, senyum di bibirnya itu benar-benar menyebalkan, senyum penuh kenikmatan yang sangat menjengkelkan kala dipandang.

Hyaatt !!!

Sebelum Pyeonggang sempat memasang kuda-kuda, Kiran lebih dulu melancarkan serangan kedua, totok darah asmara yang membekukan kesadaran Dhanapati, diurainya dengan cepat. Dalam sekali tohok, Dhanapati pun tersadar. Sesaat matanya jelalatan. Demi menyadari belitan Selendang Hangestreni, ia pun segera tahu dirinya tengah diperebutkan oleh dua pendekar wanita sakti.

Kyaaa !

Dengan ajian Galah Cungkring Melenting, Dhanapati berhasil membebaskan dirinya dari perangkap cinta Pyeonggang. Satu kepalan tangannya diputar beradu dengan telapak tangan yang terbuka. Seberkas cahaya melesat di antaranya. Tubuhnya pun melambung beberapa lompatan. Lalu gravitasi membantunya turun dengan cepat membelakangi Kiran; berdiri dengan tegap, cengkeraman kakinya di tanah berlumut terlihat mantap, tangannya disilangkan, tubuhnya digunakan sebagai perisai berjaga-jaga sekiranya Pyeonggang masih berkenan atas dirinya. Dia tak ingin sesuatu terjadi pada Kiran hanya karena kealpaannya.

“Ha ha ha! Jjoa-jjoa-jjoa!” Pyeonggang mengangguk-angguk senang. ”Ini yang kunanti ! Ini baru sambutan yang menyenangkan ! Terima kasih sudah melayani permainanku. Gumawo, chingu-ya !”

Dhanapati melirik Kiran dengan pandangan tak mengerti. Kemudian melongo, melihat senyum tenang di wajah adiknya. Jadi, pertarungan itu bukanlah sebenar-benarnya sebuah pertarungan?

Miane, Kiran-ssi! Aku tak dapat membantumu mencari informasi Shang Gurulaki! Yakinlah bahwa dia pasti baik-baik saja. Tapi, aku tak mengerti dirimu, Chingu ! Mengapa kau sudi menyerahkan diri untuk mencari perempuan yang jelas-jelas adalah kekasihnya, penyebab utama sakit di hatimu itu, hm ?”

”Pyeonggang-ssi !!” jerit Kiran, matanya cepat melirik tak enak hati pada Dhanapati. Dia tak ingin menambah kemelut di hatinya dengan kalimat-kalimat spontan dari Pyeonggang.

”Baik-baik, maafkan bibir cantikku yang kelepasan bicara…”

*

Kembara mencari Kaleena, telah menjadi sebuah perjalanan keliling dunia. Tak hanya Pyeonggang, pendekar dari Negeri Poktanju yang mereka temui, beberapa pertarungan dengan banyak jawara dunia pun tak luput mereka hadapi. Tercatat dalam ingatan Kiran, mereka pernah beradu seratus jurus dengan Pendekar Xióngmâo Móshù, rahib sakti dari Negeri Juangliyan-tie atau Negeri Kelambu Pring; sebutan yang lebih mudah bagi lidah rakyat negerinya, Nuswantaraya.

Kemudian saat tiba di Negeri Waleslesland Raya, Dhanapati untuk kesekian kali, nyaris terpedaya oleh rupa elok menawan dari ksatria bernama Kati Wudelthok; templar wanita yang pernah terlibat dalam pertempuran sengit di medan perang Cannae yang terkenal itu. Kembara yang luar biasa menakjubkan, karena secara tak terduga pun keduanya pernah berjumpa dengan pendekar peranakan Ong Tiong Oen yang membawa Barisan Cengkrong dimana anggotanya adalah beberapa benggol, lenggaong, kecu dan lain-lainnya, entah sedang dalam misi apa.

Selanjutnya, nasib membawa mereka berdua, Kiran dan Dhanapati, terjebak dalam perang saudara antara Negeri Birumba dengan negara tetangganya, Ankhorr. Mereka pasti pulang hanya membawa nama, andaikan Raja Gopal dan Manzou Samorau tidak kebetulan berada dalam kancah peperangan itu. Dua pendekar yang pernah menetap di padepokan Mbah Wongso selama beberapa dekade itulah yang membantu Kiran dan Dhanapati keluar dari neraka perang.

“Raja Gopal tak pernah berubah. Posturnya masih tinggi kekar. Gemulai tariannya pun masih menyenangkan. Aku masih ingat cerita tentang kelahiran dirinya dari celah-celah pegunungan Hindu Kush, hingga gelar Raja Hindu Kush pun melekat padanya. Kakang ingat ?” tanya Kiran di sela-sela istirahat mereka. Angannya melayang beberapa tahun silam, saat Raja Gopal harus menetap karena tertinggal kapal yang hendak membawanya pulang ke negerinya, Lembah Kalindus.

”Hmm…” malas-malasan Dhanapati menjawab. Dia tengah sibuk memikirkan arti dari perjalanan panjang yang harus dia tempuh bersama Kiran. Mengapa harus sesulit ini mencari Kaleena ? Kemanakah Kaleena sebenarnya ? Kepergiannya sungguh bagaikan ditelan Dewa Bumi. Tak mungkin Shang Gurulaki hilang tak tentu rimba, bahkan jejaknya pun tak terdeteksi ajian Telepartapati; ajian kebatinan tingkat sempurna yang mampu mengetahui keberadaan siluman sekalipun.

“Kakang masih ingat dengan atlas dari lembaran kulit unta yang diberikan pendekar Manzou Samorau untuk guru Mbah Wongso? Aku tak pernah menyangka akan menjejakkan kaki di negeri-negeri yang namanya dulu hanya kubaca dari peta dunia itu” tanya Kiran lagi. Lama tak terdengar jawaban, Kiran pun tersadar, Dhanapati tidak sedang menjadi dirinya sendiri. Pria itu nampak duduk bersila dengan mata terpejam dan tarikan nafas yang teratur sempulur.

“Ah, Kaleena…, sembunyi dimanakah kau? Jangan katakan, inilah yang kau sebut sebagai tebusan atas segala kesalahanmu, seperti yang kau katakan di akhir pertemuan kita…” batin Kiran gaduh memikirkan Kaleena. “Kasihanilah Kakang Dhanapati, ia sangat menderita karena kepergianmu, Kaleena…” rintih batin Kiran, matanya menatap iba pada Dhanapati yang masih khusyu dalam semedinya…

***

Pustaka Kata:

Anyeong haseyo : salam [Korea]

olaen man-eyo : apa kabar, lama tak jumpa [Korea]

ssi : imbuhan kehormatan untuk setiap akhir panggilan nama seseorang [Korea]

baiduri : batu pertama yang berwarna dan banyak macamnya, seperti: bulan, pandan, sepah

hanbok : baju tradisional [Korea]

aigo : sebuah seruan bermakna: aduh, ya ampun, dst [Korea]

Jjoa-jjoa-jjoa : suka-suka-suka! [Korea]

Gumawo : terima kasih [Korea]

Chingu : teman [Korea] akhiran ‘ya’ menandakan keakraban

Templar :  Ordo ksatria yang paling ditakuti di masa Perang Salib

Miane : Maaf

Benggol, lenggaong, kecu : sebutan untuk para jago, jawara, dari berbagai daerah di masa penjajahan

Sempulur : selaras berkembang/berkelanjutan

Sumber gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun