Mohon tunggu...
Jasmine Putri arumsari
Jasmine Putri arumsari Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

sangat antusias terhadap teknologi dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Identitas Nasional di Tengah Tantangan Globalisasi dan Pluralitas

5 Desember 2024   17:45 Diperbarui: 5 Desember 2024   17:48 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketimpangan representasi ini tidak hanya terjadi dalam budaya, tetapi juga dalam kebijakan pendidikan. Mata pelajaran seni budaya di sekolah, misalnya, sering kali lebih fokus pada seni tradisional dari wilayah tertentu, sementara budaya dari daerah-daerah yang kurang dikenal hanya menjadi pelengkap. Akibatnya, generasi muda dari wilayah minoritas sering merasa kurang dihargai, dan generasi muda dari wilayah mayoritas tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang keberagaman budaya bangsanya.

Selain budaya, agama juga menjadi isu penting dalam diskursus pluralitas dan identitas nasional. Indonesia dikenal dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang mencerminkan semangat keberagaman dalam kesatuan. Namun, dalam praktiknya, nilai-nilai agama mayoritas, yaitu Islam, sering kali mendominasi wacana nasional. Hal ini terlihat dalam kebijakan tertentu yang cenderung mengakomodasi kepentingan mayoritas, sementara kelompok agama minoritas, seperti Kristen, Hindu, Buddha, atau kepercayaan lokal, sering kali merasa kurang terwakili atau bahkan terpinggirkan. (Suryadinata, 2017).

Dominasi nilai-nilai mayoritas ini menimbulkan tantangan besar dalam membangun identitas nasional yang inklusif. Meskipun Indonesia secara resmi mengakui enam agama, kelompok agama minoritas sering kali menghadapi kendala dalam menjalankan praktik keagamaan mereka. Selain itu, minimnya representasi nilai-nilai minoritas dalam simbol-simbol nasional juga dapat memperkuat perasaan eksklusi di kalangan masyarakat minoritas.

Misalnya, dalam beberapa kasus, kebijakan lokal yang berbasis nilai agama mayoritas dapat memengaruhi kehidupan sosial masyarakat minoritas, baik dalam bentuk pembatasan ruang publik untuk kegiatan keagamaan mereka atau marginalisasi dalam pengambilan keputusan politik. Hal ini bertentangan dengan prinsip inklusivitas yang seharusnya menjadi landasan identitas nasional Indonesia.

Namun, tantangan pluralitas ini bukanlah hal yang tidak dapat diatasi. Ada beberapa langkah strategis yang dapat diambil untuk memastikan bahwa keberagaman budaya dan agama di Indonesia benar-benar menjadi kekuatan dalam membangun identitas nasional yang inklusif:

  1. Penguatan Representasi Budaya Lokal
    Pemerintah harus memberikan perhatian lebih pada budaya-budaya dari daerah yang kurang dikenal, seperti Papua, Nusa Tenggara, atau Maluku. Promosi seni dan budaya daerah ini dapat dilakukan melalui program nasional seperti festival budaya, pameran seni, dan kompetisi tradisional yang melibatkan seluruh provinsi.
  2. Pendidikan Multikultural yang Setara
    Kurikulum sekolah perlu didesain ulang untuk mencakup lebih banyak konten tentang budaya dan sejarah daerah-daerah minoritas. Ini penting untuk menanamkan pemahaman dan rasa hormat terhadap keberagaman di kalangan generasi muda.
  3. Dialog Antaragama yang Proaktif
    Mendorong dialog antaragama di tingkat nasional dan lokal dapat memperkuat rasa saling pengertian dan menghormati. Forum lintas agama yang melibatkan pemimpin agama mayoritas dan minoritas dapat menjadi platform untuk membangun komunikasi yang lebih inklusif.
  4. Pengakuan yang Setara terhadap Bahasa Daerah
    Bahasa daerah merupakan bagian penting dari identitas lokal yang harus dilestarikan. Pemerintah dapat mendukung program revitalisasi bahasa daerah melalui pembelajaran di sekolah, media massa, atau teknologi digital seperti aplikasi pembelajaran bahasa daerah.
  5. Pengembangan Kebijakan yang Inklusif
    Kebijakan pemerintah harus dirancang untuk mencerminkan keberagaman budaya dan agama di Indonesia. Dalam pengambilan keputusan, pemerintah harus memastikan bahwa suara minoritas didengar dan diakomodasi dengan adil.

Pluralitas di Indonesia adalah anugerah yang harus dikelola dengan bijak. Identitas nasional yang kuat tidak dapat berdiri hanya di atas dominasi satu kelompok budaya atau agama, tetapi harus dibangun di atas fondasi yang menghargai keberagaman. Dengan langkah-langkah strategis yang mengedepankan inklusivitas, Indonesia dapat memastikan bahwa pluralitas bukan menjadi penghalang, melainkan menjadi kekuatan dalam membangun identitas nasional yang kokoh dan relevan di era modern.

 

Nasionalisme Modern: Menjaga Relevansi di Era Globalisasi

Nasionalisme adalah konsep yang terus berevolusi seiring dengan perkembangan zaman. Jika pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 nasionalisme erat kaitannya dengan perjuangan kemerdekaan, penjajahan, dan pembentukan negara-bangsa, maka pada era modern, nasionalisme mengambil bentuk yang berbeda. Di tengah globalisasi yang kian menghapus batas-batas negara, nasionalisme modern menghadapi tantangan besar untuk tetap relevan tanpa kehilangan esensi kebangsaannya.

Pada masa lalu, nasionalisme identik dengan perjuangan melawan penjajahan dan upaya mempertahankan kedaulatan bangsa. Semangat nasionalisme mendorong terbentuknya solidaritas kolektif untuk melawan dominasi asing dan membangun kemerdekaan politik. Namun, ketika tantangan kolonialisme tidak lagi menjadi ancaman utama, nasionalisme kini menghadapi dinamika baru. Tantangan nasionalisme modern tidak hanya terletak pada upaya mempertahankan integritas nasional, tetapi juga bagaimana menyikapi globalisasi yang membawa pengaruh besar dalam hampir semua aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, budaya, hingga teknologi.

Nasionalisme modern yang relevan harus mampu menjawab tantangan globalisasi dengan cara yang bijak. Di satu sisi, globalisasi membuka peluang besar untuk memperkenalkan budaya dan nilai-nilai nasional ke panggung internasional. Produk budaya seperti batik, wayang, dan angklung, misalnya, dapat menjadi alat diplomasi budaya yang efektif. Pengakuan internasional terhadap batik sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO adalah contoh nyata bagaimana nasionalisme dapat dikemas dalam kerangka global yang positif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun