Di tahun 2023, bencana alam semakin banyak bermunculan, salah satunya adalah bencana kemarau. Kemarau merupakan bencana alam yang seringkali tidak disadari oleh banyak orang karena banyak orang-orang menganggap kemarau hanyalah musim yang lazim saja terjadi tiap tahunnya, apalagi penduduk negara tropis. Namun, kemarau justru salah satu bencana alam yang perlu diwaspadai.
Kemarau yang berkepanjangan dapat membuat beberapa wilayah mengalami kekeringan. Kekeringan akan berdampak dengan jumlah persediaan air bersih yang akan menurun secara drastis. Kekeringan juga akan berdampak pada sektor pertanian dan perhutanan.Â
Pertanian akan mengalami gagal panen dan Perhutanan akan mengalami kebakaran hutan akibat gesekan daun-daun kering yang tersorot sinar matahari yang panas.Â
Banyak sekali dampak yang dihasilkan kemarau, namun dampak yang jarang masyarakat sadari adalah kemarau dapat menyebabkan penyakit terhadap manusia.Â
Banyak masyarakat tidak menyadari dampak kemarau terhadap manusia itu sendiri. Padahal kemarau dapat meningkatkan risiko dan angka penyakit kulit seperti kanker kulit.
Kanker kulit adalah salah satu jenis kanker yang banyak didiagnosa di dunia dengan lebih dari 1.5 juta kasus di 2020. Kanker kulit banyak dialami oleh pria daripada wanita.Â
Kanker kulit biasanya disebabkan oleh mutasi atau kerusakan genetik di jaringan sel kulit manusia yang berasal dari paparan radiasi sinar ultraviolet (UV) secara berlebihan. Sinar ultraviolet ini berasal dari sinar matahari dan alat-alat yang memiliki sinar UV buatan.
Sinar UV dapat menjadi ancaman bagi kulit manusia karena sinar UV tidak baik untuk kulit jika tingkat radiasi UV yang terpapar cukup besar. Sinar UV terbagi menjadi tiga yaitu, sinar UV A, UV B, dan UV C. Sinar yang mencapai permukaan bumi dan dapat menembus kulit manusia adalah UV A.Â
Sinar yang membantu pembentukan vitamin D pada kulit dan sedikit sampai ke permukaan bumi adalah UV B. Sinar yang sangat berbahaya dan tidak sampai ke permukaan bumi adalah UV C. UV C terabsorbsi dengan sempurna oleh lapisan ozon, uap air, oksigen, dan karbon dioksida karena lapisan ozon lebih mudah menyerap panjang gelombang UV yang pendek.Â
Masalahnya, global warming dari tahun ke tahun kian meningkat dan mengakibatkan lapisan ozon semakin menipis. Jika lapisan ozon semakin tipis, maka kemungkinan UV C tidak terabsorbsi dengan sempurna dan menyebabkan bumi semakin cepat panas dan radiasinya dapat masuk lebih dalam pada kulit sehingga akan menimbulkan dampak negatif, yakni penuaan dini, menurunkan sistem kekebalan tubuh, kanker kulit, melasma, hingga kebutaan.
Global warming memang dapat dicegah, namun apakah misi mencegah global warming dari tahun ke tahun menghasilkan dampak yang cukup untuk mengurangi kerusakan bumi? Nyatanya, angka global warming setiap tahunnya kian meningkat. Bahkan, para ilmuwan sudah memperingati bahwa bumi akan dilanda masalah yang cukup serius kedepannya.Â
Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran manusia dalam menghentikan atau mengurangi global warming masih rendah. Maka, penyakit atau bencana yang disebabkan oleh global warming tidak akan mengalami penurunan kecuali manusia melakukan pencegahan.
Mengingat tentang bahaya radiasi sinar UV, maka kulit perlu dilindungi meskipun tubuh telah menyediakan sistem perlindungan alami. Secara umum ada dua cara untuk melindungi kulit dari radiasi sinar UV yaitu, perlindungan secara fisik, yakni dengan memakai payung, topi lebar, baju lengan panjang, celana lengan panjang, dan lain sebagainya.Â
Selain itu, dapat dilakukan perlindungan secara kimiawi dengan mengoleskan produk-produk perlindungan dari sinar matahari langsung pada kulit seperti penggunaan sunscreen pada kulit (Dewi dan Neti, 2013; Watson et al. 2016).
Karena dampak global warming yang kian memburuk, kini berdiam diri di rumah saja juga dapat terpapar sinar UV. Memakai pakaian yang menutupi seluruh kulit juga bukan solusi terbaik karena beberapa bahan pakaian justru tidak menyerap keringat dan menyebabkan masalah tubuh lainnya. Memakai topi juga hanya menutupi area di kepala saja. Salah satu opsi terbaik yaitu memakai sunscreen atau sun protector pada kulit.
Permasalahan yang terjadi saat ini adalah minimnya pengetahuan masyarakat mengenai manfaat dari keberagaman nilai SPF pada sunscreen berdasarkan iklim di Indonesia.Â
Sunscreen memiliki SPF (Sun Protection Factor) merupakan simbol lamanya sunscreen untuk melindungi kulit akibat paparan sinar ultraviolet. Semakin besar SPF yang teraplikasi di kulit, semakin kulit terlindungi dari paparan sinar ultraviolet. Untuk negara tropis yang frekuensi terpapar sinar mataharinya lebih sering dan besar, disarankan untuk memakai sunscreen dengan nilai SPF 15, 30 bahkan lebih.
Selain itu sunscreen tidak hanya diaplikasikan untuk satu hari saja, namun sunscreen juga butuh re-apply. Berdasarkan Pedoman Penandaan Tabir Surya pada Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. 19 Tahun 2015 tentang Persyaratan Teknis Kosmetika, ketepatan reapply sunscreen sangat terkait dengan pemilihan nilai SPF. Sebagai contoh, apabila kita menggunakan sunscreen dengan SPF 15, kulit akan terlindungi selama 10 x 15 = 150 menit (Depkes RI, 2015). Dengan demikian, apabila kita berada di bawah sinar matahari lebih dari 150 menit, maka harus dilakukan re-apply sunscreen.
Itulah mengapa penting untuk menggunakan tabir surya atau sunscreen untuk kita semua. Selalu menjaga kesehatan kulit kita dengan penggunaan sunscreen yang maksimal, terlebih ketika cuaca bumi yang akhir-akhir ini semakin panas maka kulit kita sangat membutuhkan perlindungan dari sunscreen. Sunscreen akan membantu kulit terpapar dari sinar radiasi UV yang berlebihan hinggamembantu mencegah timbulnya resiko kanker kulit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H