Sudah bertahun-tahun X atau yang dikenal sebagai Twitter sebelumnya, menjadi media sosial yang digemari para remaja maupun orang-orang dewasa, termasuk di Indonesia. Twitter adalah situs microblogging dilambangkan dengan burung berwarna biru dan biasanya digunakan untuk men-share apapun itu melalui cuitan atau tweet (Yunita, 2019). Namun, sejak tahun 2023 twitter berganti nama menjadi X yang memiliki tampilan aplikasi berwarna hitam dengan lambang X berwarna putih. Walaupun telah berganti nama dan tampilan, platform ini masih sangat digemari oleh masyarakat. Sayangnya, di balik popularitasnya, X juga menjadi tempat penyebaran ujaran kebencian yang mengancam keberagaman dan toleransi. Hal ini menjadi tantangan serius yang perlu ditangani bersama, mengingat dampaknya yang luas bagi masyarakat Indonesia.
Intinya, maraknya ujaran kebencian di X dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama anonimitas yang ditawarkan platform tersebut. Kebebasan berpendapat yang diklaim sebagai kelebihan media sosial, justru bisa disalahgunakan menjadi celah bagi individu untuk mengeluarkan ujaran kebencian tanpa rasa tanggung jawab. Hal ini sejalan dengan pendapat Zuckerman yang menekankan adanya sisi negatif dari anonimitas di dunia maya. Singkatnya, kebebasan berpendapat di X perlu diimbangi dengan rasa tanggung jawab pengguna. Anomnimitas, yang seharusnya melindungi privasi, justru dimanfaatkan untuk menyebarkan kebencian tanpa konsekuensi yang jelas. Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama untuk menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan ramah.
Mengingat bahwa platform ini menghubungkan berbagai kalangan dengan perspektif dan latar belakang yang berbeda, penting untuk menelusuri penggunaan kesantunan berbahasa dalam komentar di laman X agar tidak memicu konflik sosial. Oleh karena ini, ditemukan cuitan dari sebuah akun @gilbertkurnia1 yang saat ini menjadi pusat perhatian di media sosial.
Kata-kata seperti "lonte" dan "loser", meski terlihat sederhana, menyimpan dampak yang sangat besar. Penggunaan kata "lonte", seperti yang dijelaskan dalam teori framing Eriyanto, bukan sekadar ujaran kasar, melainkan alat untuk merendahkan dan mendiskriminasi perempuan. Kata-kata ini menunjukkan betapa mudahnya ujaran kebencian menyebar dan merusak citra seseorang, bahkan menciptakan lingkungan yang tidak sehat dan penuh permusuhan.Â
Singkatnya, istilah "Baby Printer" dan "Vending Machine Pencetak Anak" merupakan ujaran kebencian yang menyasar perempuan yang hamil di luar nikah. Istilah ini merefleksikan stigma negatif dan menunjukkan bagaimana perubahan sosial, seperti yang dijelaskan Aritonang (2007) tentang keterbukaan generasi muda terhadap pergaulan bebas, dapat memunculkan penilaian moral yang keras dan menghasilkan penghakiman sosial yang kejam terhadap perempuan. Perlu diingat, stigma ini berbahaya dan tidak adil. Kehamilan di luar nikah bukanlah kejahatan dan perempuan yang mengalaminya berhak mendapatkan dukungan dan empati, bukan hujatan dan penghukuman sosial yang merendahkan martabat mereka. Kita perlu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan menghindari penggunaan bahasa yang menghina serta memperkuat stigma negatif.
Singkatnya, mengatakan seseorang "wanita jelek, tidak menarik, dan tidak laku" bukan sekadar ucapan biasa, tapi bentuk penghinaan dan pelecehan yang merendahkan martabat perempuan. Kata-kata itu, yang maknanya pun beragam dan bisa meluas ke sifat buruk, digunakan untuk menyerang, termasuk menyerang kaum feminis. Ini menunjukkan bagaimana ujaran kebencian memanfaatkan bahasa untuk menyerang dan meminggirkan. Lebih jauh, penggunaan kata-kata seperti itu sesuai dengan teori Ruth Wodak yang menjelaskan bagaimana ujaran kebencian dibangun dan dimanfaatkan dalam konteks sosial dan politik untuk mencapai tujuan tertentu, dalam hal ini menyerang dan merendahkan perempuan. Jadi, bukan cuma masalah kata-kata kasar, tapi juga strategi untuk mengontrol dan membungkam suara perempuan.
Singkatnya, ujaran kebencian seperti "kesetaraan gender itu taik kucing" menunjukkan upaya merendahkan gerakan feminisme dengan menggunakan bahasa kasar dan merendahkan. Ungkapan ini, bersama pernyataan "wanita itu lemah secara fisik dan mental", mengungkapkan konstruksi sosial gender yang dibahas Judith Butler. Pernyataan-pernyataan ini bukan sekadar opini, melainkan memperkuat citra negatif terhadap perempuan dan mempertahankan ketidaksetaraan gender yang sudah ada. Â Dengan kata lain, ucapan-ucapan penuh kebencian tersebut bukan hanya pelecehan verbal, tetapi juga refleksi dari sistem patriarki yang terus berupaya mempertahankan kekuasaannya dengan cara mendegradasi perempuan dan menolak gagasan kesetaraan gender. Memahami konstruksi sosial gender sangat penting untuk melawan ujaran kebencian semacam ini dan membangun masyarakat yang lebih adil dan setara.Â
Ucapan "Makan tuh single mother!" bukan sekadar candaan kasar, melainkan bentuk diskriminasi yang menyakitkan. Frasa ini menunjukkan bagaimana perempuan yang memilih atau terpaksa menjadi orang tua tunggal seringkali direndahkan dan dianggap gagal memenuhi ekspektasi peran gender tradisional. Hal ini sejalan dengan pendapat M.S. Aritonang tentang munculnya stigma baru akibat perubahan sosial, yang menyerang perempuan yang berada di luar norma. Lebih jauh, ungkapan tersebut mengungkap bias gender yang masih kuat di masyarakat kita. Perlu disadari bahwa menjadi orang tua tunggal bukanlah kegagalan, melainkan sebuah realitas yang membutuhkan dukungan, bukan hujatan. Kita perlu lebih bijak dan empati dalam bersikap terhadap perempuan yang berada dalam situasi ini. Ucapan "warga kelas dua" yang ditujukan pada perempuan bermakna pelecehan. Frasa ini bukan sekadar kata-kata kasar, melainkan cerminan ketidakadilan sosial yang mendalam. Ia menunjukkan bagaimana perempuan dianggap rendah karena kondisi ekonomi mereka, sekaligus memperlihatkan betapa timpangnya posisi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Penggunaan frasa ini di media sosial memperparah situasi. Di dunia maya, pelecehan ini bisa menyebar luas dan berdampak buruk pada harga diri perempuan yang menjadi sasaran. Seperti yang dijelaskan Bourdieu, ini adalah bentuk kekerasan simbolik yang memperkuat ketidaksetaraan dan menunjukkan bagaimana sistem sosial kita masih menindas perempuan.Â
Serangan personal terhadap pandangan feminis dengan mengaitkannya pada trauma pribadi adalah upaya untuk mengalihkan fokus dari argumen substantif dan melemahkan gerakan tersebut. Ini bukan hanya serangan pribadi, tetapi juga strategi patriarki untuk mempertahankan kekuasaan dengan menolak kesadaran kritis terhadap ketidakadilan gender yang menjadi landasan feminisme. Intinya, menghubungkan feminisme dengan trauma personal mengabaikan basis intelektual yang kuat dari gerakan ini. Dengan demikian, ujaran tersebut bukan hanya tidak adil, tetapi juga menunjukkan bagaimana norma-norma gender digunakan untuk mempertahankan hierarki kekuasaan yang sudah mapan.Â
Kesimpulannya, hasil wawancara dengan beberapa responden menunjukkan adanya kekhawatiran akan dampak negatif kebebasan berpendapat di media X, khususnya munculnya ujaran kebencian karena perbedaan persepsi. Hal ini menekankan pentingnya pendidikan dan pemahaman kewarganegaraan yang baik, termasuk kesantunan berbahasa, agar pengguna media sosial mampu mengekspresikan pendapat tanpa merugikan orang lain. Lebih lanjut, kasus akun @gilbertkurnia1 menunjukkan dampak nyata ujaran kebencian terhadap komunitas pengguna media sosial. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan lingkungan online yang lebih ramah dan bertanggung jawab, dimana kebebasan berekspresi diimbangi dengan kesadaran akan etika dan norma bermasyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H