Mohon tunggu...
N W Wulandari
N W Wulandari Mohon Tunggu... -

students, very musical, loves writing Semoga Berita Terkini dari penulis bermanfaat untuk masyarakat luas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kartini dan Para "Angry Feminists"

20 April 2018   18:30 Diperbarui: 23 April 2018   13:08 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'Habis Gelap Terbitlah Terang' menjadi pijakan kuat dalam pendakian wanita di tebing patriarki. Sebuah revolusi mental, dari keterbelakangan menuju kekayaan pola pikir. Karena keterbelakangan, termasuk pendidikan, sangat berpengaruh bagaimana sebuah masyarakat terbentuk. Dan Kartini bisa melihat permasalahan ini.

Kartini layak mendapat gelar pahlawan, dengan pena sebagai persenjataannya. Dari pemikirannya yang terdidik, kehidupan perempuan berubah dengan signifikan. Memang, siapa pun bisa memiliki pencapaian ini. Tapi dari guratan Kartini lah semuanya bermula.

 Kartini adalah sosok yang progresif. Pemikirannya berkembang dari idealis menjadi toleran. Dari gadis pemarah menjadi wanita yang ngemong.

Status pernikahannya dengan pria yang pernah punya tiga istri dilihat oleh sebagian sebagai kekontrasan dari perjuangannya. Perjuangan besar Kartini adalah kebebasan, otonomi dan hukum yang adil untuk perempuan. Salah satu contohnya, Kartini ingin perempuan di Jawa tidak lagi harus dipingit lalu hanya menunggu dinikahi.

Tapi, seiring kondisi kehidupannya berubah dalam waktu yang terbilang singkat, Kartini memutuskan untuk melakukan kebalikan dari apa yang Ia perjuangkan.

Ia menanggalkan cita-citanya menjadi guru dan menikah dengan pria yang dijodohkan untuknya.

Kontras.

Tapi menurut penulis, justru ini adalah semangat feminisme yang sebenarnya. Pada intinya, Kartini BISA memilih untuk mengorbankan impiannya, dan menikahi pria yang bisa mendukungnya untuk membuat sekolah bagi para perempuan.

Sekali lagi, Kartini TETAP BISA memilih. Dan bagi penulis, itu termasuk dalam nilai kebebasan yang dirinya perjuangkan di setiap goresan tinta pada suratnya.

You can't make everyone happy, though.

Sebagian feminis melihat ini sebagai kelemahan. Karena bagi sebagian ini, patriarki adalah musuh utama perjuangan mereka. Pria dengan arogansinya perlu digetok kepalanya biar cepat sadar. Karena sangat sulit untuk menghilangkan kultur pemerkosan atau kekerasan seksual dari pria.

Mereka lelah harus selalu mengayomi pria. Mereka lelah harus jadi kambing hitam. Mereka lelah dilabeli "Kalo cewek tuh harus gini gitu!" Mereka lelah harus berpikir ribuan kali untuk pakai baju seperti apa, karena bingung pakaian apa yang tidak merangsang birahi pria. Mereka lelah harus terus waspada jalan kaki di publik. Mereka lelah cuma disuruh diam ketika pria tidak suka dengan masukan mereka. Mereka lelah dibilang paranoid. Mereka lelah dibilang lebay!

Ya, para perempuan ini sangat marah.

Menyikapi persoalan ini, penulis hanya memiliki dua pedoman: 

Satu, Pada dasarnya lelaki itu brengsek, dan
Dua, Wanita hanya ingin dimengerti.

Ketika seorang perempuan bersikap seperti antipati terhadap kaum pria. Itu bukan karena ia sombong atau sok cantik (seperti yang para pria katakan), atau merasa lebih hebat dari pria. Pria dengan arogansinya, sangat mudah untuk merendahkan martabat perempuan.

"Yaelah neng, sombong amat digodain doang. Diapa-apain juga kagak."
"Ih, cantik-cantik belagu. Entar cantiknya ilang loo.."
"Aaaa.. jelek aja sombong lu gak mau digodain.." (combo hit)

Pernyataan itu muncul karena sifat egois pria yang tidak mau kalah derajatnya. Pantang seorang pria direndahkan oleh wanita, padahal dia sendiri yang merendahkan dirinya karena sudah menggoda perempuan tersebut, karena gagal.
Lalu, pria berharap semua perempuan harus mau takluk, bagaimana pun caranya?

Itu adalah keterbelakangan dan permasalahan besar, bahkan sangat membahayakan. 

Jangan sebut lebay!

Karena inilah kenyataannya, yang ingin perempuan sampaikan kepada pria: Mereka hanya ingin dipahami kalau mereka takut hidup di dunia patriarki. Mereka sadar, mereka akan selalu jadi korban dan kambing hitam. Berita terkini.

Jika diperkosa, perempuan juga pasti disalahkan karena pakaiannya. Jika ada kasus perselingkuhan, perempuan lah yang disalahkan karena menggoda laki orang. Masih di kasus yang sama, pria dengan mudah bilang, istrinya sudah tidak menarik lagi, makanya ia cari ketertarikan di wanita lain yang lebih menarik.

Mendapat perlakuan yang buruk terus-menerus akan menimbulkan trauma, sehingga melahirkan antisipasi dalam diri si perempuan. Dan seringnya, para pria tidak suka sikap tak acuh perempuan. 

"Pokoknya, si cewek harus mau sama gue"

Wajar, muncul istilah 'Angry Feminists', mereka adalah perempuan yang sudah bingung harus melakukan apa agar dirinya bisa layak hidup seperti manusia pada umumnya, tanpa perlu was was akan ancaman pria. Sehingga mereka hanya bisa marah dengan aturan-aturan yang didominasi pria ini. Undang-undang, verbal, maupun kultural.

Pria pada dasarnya brengsek adalah mutlak, tapi ada ukuran kebrengsekannya.

Sedikit bersyukur masih eksis para pria yang sadar akan permasalahan wanita, tapi pun masih banyak yang belum paham benar. Seringnya terlambat. Beberapa baru sadar setelah melihat sendiri kesengsaraan seorang wanita, yang terjadi di depan mata mereka.
Bukankah lebih baik, para pria ini mau memahami keputusan-keputusan wanita, yang mungkin kesannya aneh, ketimbang harus terjadi dulu kemalangan?

Ada lagi pria-pria yang seolah turut memperjuangkan feminisme, tapi justru menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan atensi para perempuan. Mereka disebut brocialist.

Siapa bilang perempuan selalu benar?

Mereka cantik, digoda. Mereka jelek, dihina.

Mereka pintar, dijegal. Mereka bodoh, dibudaki.

Mereka kaya, disindir. Mereka miskin, jadi pelacur.

Dan semua itu label yang datang dari pria. Mirisnya, lebih banyak lagi kaum perempuan yang sudah terlalu didoktrin kultur patriarki, dan ikut-ikutan menghakimi.

Kenapa bisa begitu? 

Kurangnya pendidikan? Tidak, banyak akademisi dan peneliti perempuan sekarang.
Kurangnya kesempatan untuk perempuan berkarya? Enggak, bahkan Indonesia sudah punya presiden perempuan pertamanya.
Lalu apa dong? Seharusnya sebagian besar tujuan Kartini memajukan perempuan tercapai kan?

Betul...
Tapi selama kultur patriarki masih mendominasi, menghakimi, menentukan bagaimana pria dan wanita harus hidup, selama itu juga perempuan dilihat lebih rendah, tidak signifikan di mata orang-orang. Dan selamanya berjalan di belakang bayang-bayang pria.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun