Mohon tunggu...
Jas Miko
Jas Miko Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bahasa dan Sastra Arab Penulis, Editor, Content Creator

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Festival Kuliner Non-Halal, Patutkah Dibubarkan?

16 Juli 2024   12:17 Diperbarui: 16 Juli 2024   12:20 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Negara Indonesia, sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, terkenal dengan kekayaan dan keragaman budaya yang luar biasa. Dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia menjadi rumah bagi ratusan suku bangsa yang masing-masing memiliki bahasa, adat istiadat, dan tradisi yang unik. Namun, salah satu aspek yang paling mencolok dari keragaman Indonesia adalah keberagaman agamanya. Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, tetapi juga memberikan tempat yang signifikan bagi agama-agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama bagi setiap warganya, dan hal ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari di mana masjid, gereja, pura, dan vihara berdiri berdampingan. Meskipun beragam, masyarakat Indonesia umumnya hidup dalam harmoni dan toleransi, menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara. Keragaman agama ini tidak hanya memperkaya kehidupan sosial dan budaya bangsa, tetapi juga menjadi tantangan dan potensi bagi pembangunan nasional. Interaksi antaragama yang dinamis memberikan kontribusi signifikan terhadap perdamaian dan stabilitas sosial, serta menegaskan identitas Indonesia sebagai bangsa yang pluralistik dan inklusif.

Dinamika kehidupan selalu berputar, kesalahpahaman tentulah adalah konsekuensi yang muncul dari keberagaman ini, salah satunya dalam urusan agama. Akhir-akhir ini viral di berbagai media tentang kasus yang terjadi di kota Solo, Jawa Tengah. Festival Kuliner Pecinan Nonhalal yang seharusnya dilaksanakan pada tanggal 3 sampai 7 Juli terpaksa harus diberhentikan terlebih dahulu, sampai akhirnya bisa dilaksanakan kembali. Apa itu Festival Kuliner Pecinan Nonhalal sehingga menimbulkan polemik sedemikian rupa? Sebenarnya festival kuliner ini adalah festival kuliner seperti kebanyakan, akan tetapi di situ ada kata
"Nonhalal", sehingga kota yang mayoritas dihuni oleh muslim tersebut menentang (salah satu ormas Islam).

Namun, jika dipikirkan dengan akal dan hati yang jernih? Apakah memang sudah selayaknya festival tersebut dihentikan dan dibubarkan? Mari kita membahasnya dari berbagai pespektif yang akan memperkaya pengetahuan kita.

Dalam Islam, makanan nonhalal ini dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 173:

"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"

Jelas sekali pada ayat di atas dijelaskan bahwa apa saja jenis makanan yang tidak boleh dimakanan oleh umat Islam. Dengan dalil tersebut, maka salah satu ormas di kota Solo menolak dan merasa keberatan dengan izin yang diberikan oleh pemerintah setempat untuk mengadakan gelaran festival kuliner nonhalal.

Dijelaskan bahwa Dewan Syariah Kota Surakarta menyatakan surat himbauan dan pernyataan sikap terhadap festival tersebut. DSKS (Dewan Syariah Kota Surakarta), tercantum pada surat pernyataan tersebut, mengatakan kepada Pemkot Solo dan Kapolres Surakarta bahwa pihaknya keberatan dengan izin yang diberikan kepada festival tersebut.

Alasan yang digunakan oleh DSKS, seperti yang dilansir banyak media, adalah karena berdasar pada keresahan warga, sebab acara tersebut terlalu vulgar kendati mereka juga menghargai accara tersebut. Mereka khawatir akan banyak muslim yang terpengaruh oleh kegiatan itu.

Namun dengan dialog antara beberapa pihak, festival tersebut tetap digelar pada hari berikutnya dengan syarat bahwa harus ada penyaringan pengunjung, muslim dilarang masuk, dan juga dengan pemberian kain hitam sebagai penutup.

Apakah memang sudah seharusnya demikian?

Penduduk Solo tercatat 456.738 memeluk agama Islam, dan 79. 549 memeluk agama Kristen, sisanya beragama lain. Dari sini jelas bahwa muslim di sana sebagai mayoritas. Bisa dikatakan wajar jika DSKS melakukan protes/keberatan kepada pemerintah setempat dengan  pemberian izin festival tersebut, sebab dikhawatirkan masyarakat muslim akan ikut-ikutan. Tapi tidak seharusnya demikian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun