TRADISI MERARIK (MENIKAH) DALAM ADAT SASAK LOMBOK DALAM PERSPEKTIF GENDER
By : Jasmansyah, M.Pd
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan Allah SWT menciptakan manusia ke dunia ini adalah sebagai khalifah (Al-Baqorah: 30). Sebagaimana khalifah, manusia dituntut untuk memelihara alam, menjadi pemimpin untuk ummat dan menyebarkan ajaran Ilahi kepada segenap manusia. Allah SWT menciptakan segala sesuatu didunia ini dalam keadaan berpasang-pasangan. Siang-malam, sorga-neraka, cantik-jelek, suka-duka, hidup-mati, nyata-gaib, besar-kecil, laki-perempuan, suami-istri, tua-muda, dan lain-lain. Penciptaan yang berpasang-pasangan tersebut bukanlah suatu kebetulan, melainkan memiliki hikmah yang luar biasa dan belum diketahui manusia. Penciptaan manusia secara berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan, kemudian diberikan perasaan cinta dan syahwat meniscayakan manusia dapat saling melengkapi untuk menjalankan fungsi kekhalifahannya. Perasaan inilah yang menjadikan manusia suka pada lawan jenis dan ingin hidup bersama sebagaimana yang terjadi pada penghulu manusia yaitu Nabi Adam dan Siti Hawa. Namun demikian, manusia juga dianugerahi akal yang membedakannya dengan makhluk lainnya seperti hewan, sehingga manusia terikat dengan aturan khusus dalam berpasangan dengan lawan jenisnya, yaitu melalui pernikahan yang sah sesuai syari’at Islam. Pernikahan sebagai media untuk menghubungkan dua insan, laki-laki dan perempuan disyariatkan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia yang halal dan sesuai dengan Syari’at Islam. Menikah adalah perintah Allah SWT. Banyak ayat dan hadits nabi yang terkait dengan hal ini. Tujuan dari pernikahan itu sesungguhnya adalah melindungi kemuliaan manusia di depan TuhaNya, sebagai khalifah di bumi. Disamping itu, masih banyak lagi tujuan disyariatkannya pernikahan ini di antaranya, memperbanyak keturunan yang bersujud kepada Allah, menjaga mata dari pandangan yang haram, lebih-lebih lagi menjaga kemaluan dari berbuat perzinaan seperti telah termaktub dalam al-Qur’an yang artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. al-Isra’: 32). Menurut Abdullah Nasikh Ulwan[1] bahwa motif-motif Islam memerintahkan umatnya untuk menikah adalah sbb: 1) memelihara keturunan, 2) memelihara nasab (status), 3) menyelamatkan masyarakat dari dekadensi moral, 4) sebagai media pembentukan rumah tangga yang ideal dan pendidikan anak, 5) membebaskan masyarakat dari berbagai penyakit, dan 6) menumbuhkan kasih sayang orang tua kepada anak. Perkawinan sering diartikan sebagai ikatan suami istri yang sah. Menurut ensiklopedia Indonesia[2] diartikan sebagai perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri. Sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Wantjik, 1976). Sementara itu, Hilman Hadikusuma dalam M. Arief Dj.[3] Mengatakan bahwa hakekat perkawinan sesungguhnya adalah kebutuhan hidup yang mendasar yang merupakan ikatan suci antara seorang laki-laki dan perempuan yang saling mencintai dan saling menyayangi. Peraturan tentang pernikahan di Indonesia tertuang dalam UU Perkawinan no. 1 tahun 1974. Dalam Undang-Undang tersebut seluruh seluk beluk tentang perkawinan di Indonesia diatur. Undang–Undang Perkawinan itu dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tersebut diatas dan menjadi acuan tentang perkawinan di Indonesia. Dalam mengimplementasikan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dalam hal perkawinan, masyarakat di berbagai daerah memiliki tradisi/adat istiadat yang berbeda-beda dalam rangkaian ritual & perayaan pernikahan. Masing-masing daerah memiliki ciri-ciri dan adat istiadat tersendiri yang sudah dilakukan secara turun temurun selama berpuluh bahkan beratus-ratus tahun yang dimulai sejak nenek moyang mereka terdahulu. Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, budaya, ras, bahasa dan lainnya, dalam praktek upacara adat pernikahanpun berbeda-beda. Seperti adat perkawinan padang, jawa, batak, sunda, makasar, aceh, banten, dan termasuk adat perkawinan suku sasak Lombok NTB. Perbedaan tradisi dalam melaksanaan prosesi perkawinan yang diparktekkan di Indonesia masih wajar dan tidak keluar dan peraturan Agama yang dianut, maupun perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sejatinya, yang berbeda hanya pada tataran ritual dan perayaan guna mensyiarkan kegiatan pernikahan tersebut, dan bukan pada rukun/syarat sesuai dengan ketentaun-ketentuan yang tertuang dalam syariat Agama dan perundang-undangan yang berlaku.. Tradisi/adat pernikahan masyarakat Lombok tergolong unik dan berciri khusus. Salah satu ciri pernikahan masyarakat sasak-Lombok adalah tradisi “kawin lari”. Kawin lari dalam masyarakat Lombok sudah terjadi secara turun temurun selama puluhan bahkan rautsan tahun. Walaupun ada yang mengatakan bahwa tradisi kawin lari (Merari’) bukannlah adat asli suku Sasak, melainkan adat yang datang dari luar (Bali) pada saat kerajaan Bali menjajah Lombok. Lebih tepatnya adalah akulturasi budaya Bali (yang menajajah Lombok waktu itu) dan mayoritas beragama Hindu, Sasak (yang dijajah) dan mayoritas beragama Islam. Dugaan itu diperkuat oleh John Ryan Bartholomew, bahwa praktik kawin lari dipinjam dari budaya Bali. Analisis antropologis historis yang dilakukan Clifford Geertz dalam bukunya Internal Convention in Bali (1973), Hildred Geertz dalam, tulisannya An Anthropology of Religion and Magic (1975), dan James Boon dalam bukunya, The Anthropological Romance of Bali (1977), seperti dikutip Bartolomew,[4] memperkuat pandangan akulturasi budaya Bali dan Lombok dalam merari’. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Solichin Salam dan menegaskan bahwa praktik kawin lari di Lombok merupakan pengaruh dari tradisi kasta dalam budaya Hindu Bali. Berdasarkan kedua argumen tentang sejarah kawin lari (merari’) di atas, tampak bahwa paham akulturasi merari’ memiliki tingkat akurasi lebih valid. Dalam tradisi merarik/menikah pada suku sasak, setiap phase dari rangkaian budaya merepresentasikan simbol-simbol tertentu yang terkadang tak terpahami dengan logika sederhana. Segala bentuk tradisi yang dipraktekkan sesungguhnya memiliki makna/nilai tersebunyi (hiden values), baik bagi pihak keluarga laki-laki, keluarga perempuan, maupun masyarakat sekitar. Dalam konteks gender, pernikahan dalam praktek budaya sasak memiliki banyak makna, yang tidak hanya memposisikan perempuan sebagai pihak yang yang dihormati, tapi juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada keluarga perempuan yang sudah membesarkan, mendidik, sampai kepada usia cukup untuk menikah. Dari pemaparan diatas, dalam makalah ini penulis bermaksud melakukan telaah sederhana tekait dengan tradisi merarik/menikah masyarakat Sasak-Lombok dalam perspektif Gender. Nantinya, diharapkan tulisan sederhana dapat memperlihatkan bagaimana pelaksanaan tradisi merarik pada masyarakat Sasak-Lombok, dan bagaimana posisi perempuan dalam konteks budaya/adat merarik/kawin tersebut. B. Rumusan Masalah
- Bagaimana pola perkawinan/pernikahan dalam budaya Sasak-Lombok?
- Bagaimana kaitan antara tradisi merarik pada masyarakat Sasak-Lombok dengan hukum agama dan UU?
- Apakah ada praktek-praktek adat dalam tradisi merarik pada masyarakat Sasak-Lombok yang bertentangan dengan hukum Agama maupun negara?
- Bagaimana posisi perempuan dalam adat/tradisi merarik pada masyarakat Sasak-Lombok?
C. Tujuan Tulisan ini bertujuan untuk :
- Mengetahui bagaimana praktek merarik dalam budaya masyarakat Sasak-Lombok;
- Untuk mengetahui keterkaitan antara praktek tradisi merarik dengan hukum/aturan agama dan negara (UU).
- Untuk mengetahui apakah ada praktek-praktek adat dalam tradisi merarik pada masyarakat Sasak-Lombok yang bertentangan dengan hukum Agama maupun negara;
- Untuk mengetahui lebih detail Bagaimana posisi perempuan dalam adat/tradisi merarik pada masyarakat Sasak-Lombok.
BAB II
PEMBAHASAN
- A. Membaca Ayat dan Hadits tentang Pernikahan
Menikah adalah printah Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana dikutip dalam bukunya Faqihuddin Abdul Kodir[5] dan disempurnakan dengan kutipan dari http://hendryfikri.wordpress.com, terdapat banyak sekali dalil-dalil naqli (Al-Qur’an & Hadits) yang memerintahkan dan mengisyaratkan manusia untuk melakukan pernikahan, antara lain:
- Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah SWT akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An Nuur : 32)
- Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Ar-Ruum ; 21)
- Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Adz Dzariyaat : 49)
- Janganlah kalian mendekati zina, karena zina itu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk (Al-Isra : 32)
- 5. Dialah yang menciptakan kalian dari satu orang, kemudian darinya Dia menciptakan istrinya, agar menjadi cocok dan tenteram kepadanya (Al-A’raf : 189)
- Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) (An-Nur : 26)
- Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. ( An-Nisaa : 4)
- 8. Shalat 2 rakaat yang diamalkan orang yang sudah berkeluarga lebih baik, daripada 70 rakaat yang diamalkan oleh jejaka (atau perawan)” (HR. Ibnu Ady dalam kitab Al Kamil dari Abu Hurairah)
- 9. Sabda Rasulullah: ”Tiga orang yang memiliki hak atas Allah menolong mereka : seorang yang berjihad di jalan Allah, seorang budak (berada didalam perjanjian antara dirinya dengan tuannya) yang menginginkan penunaian dan seorang menikah yang ingin menjaga kehormatannya. (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim dari hadits Abu Hurairah)
10. Diantara kamu semua yang paling buruk adalah yang hidup membujang, dan kematian kamu semua yang paling hina adalah kematian orang yang memilih hidup membujang. (HR. Abu Ya’la dan Thabrani) 11. Rasulullah SAW bersabda : Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian diantaramu. Sesungguhnya, Allah akan memperbaiki akhlak, meluaskan rezeki, dan menambah keluhuran mereka (Al Hadits) 12. Barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karena silau akan kekayaan lelaki meskipun buruk agama dan akhlaknya, maka tidak akan pernah pernikahan itu dibarakahi-Nya, Siapa yang menikahi seorang wanita karena kedudukannya, Allah akan menambahkan kehinaan kepadanya, Siapa yang menikahinya karena kekayaan, Allah hanya akan memberinya kemiskinan, Siapa yang menikahi wanita karena bagus nasabnya, Allah akan menambahkan kerendahan padanya, Namun siapa yang menikah hanya karena ingin menjaga pandangan dan nafsunya atau karena ingin mempererat kasih sayang, Allah senantiasa memberi barakah dan menambah kebarakahan itu padanya. (HR. Thabrani) 13. Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, mungkin saja kecantikan itu membuatmu hina. Jangan kamu menikahi wanita karena harta / tahtanya mungkin saja harta / tahtanya membuatmu melampaui batas. Akan tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab, seorang budak wanita yang shaleh, meskipun buruk wajahnya adalah lebih utama. (HR. Ibnu Majah) 14. Dari Jabir r.a., Sesungguhnya Nabi SAW. Telah bersabda : Sesungguhnya perempuan itu dinikahi orang karena agamanya, kedudukan, hartanya, dan kecantikannya ; maka pilihlah yang beragama. (HR. Muslim dan Tirmidzi) 15. Wanita yang paling agung barakahnya adalah yang paling ringan maharnya. (HR. Ahmad, Al Hakim, Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih) 16. Jangan mempermahal nilai mahar. Sesungguhnya kalau lelaki itu mulia di dunia dan takwa di sisi Allah, maka Rasulullah sendiri yang akan menjadi wali pernikahannya.” (HR. Ashhabus Sunan) “Sesungguhnya berkah nikah yang besar ialah yang sederhana belanjanya (maharnya) (HR. Ahmad) 17. Dari Anas, dia berkata : ”Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar berupa keIslamannya” (Ditakhrij dari An Nasa’i) 18. Rasulullah Saw melarang laki-laki yang menolak kawin (sebagai alasan) untuk beralih kepada ibadah melulu. (HR. Bukhari) 19. Sesungguhnya dunia seluruhnya adalah benda (perhiasan) dan sebaik-baik benda (perhiasan) adalah wanita (isteri) yang sholehah. (HR. Muslim) 20. Rasulullah Saw bersabda kepada Ali Ra: “Hai Ali, ada tiga perkara yang janganlah kamu tunda-tunda pelaksanaannya, yaitu shalat apabila tiba waktunya, jenazah bila sudah siap penguburannya, dan wanita (gadis atau janda) bila menemukan laki-laki sepadan yang meminangnya.” (HR. Ahmad) 21. Seorang janda yang akan dinikahi harus diajak bermusyawarah dan bila seorang gadis maka harus seijinnya (persetujuannya), dan tanda persetujuan seorang gadis ialah diam (ketika ditanya). (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah) 22. Kawinilah gadis-gadis, sesungguhnya mereka lebih sedap mulutnya dan lebih banyak melahirkan serta lebih rela menerima (pemberian) yang sedikit. (HR. Ath-Thabrani) 23. Janganlah seorang isteri memuji-muji wanita lain di hadapan suaminya sehingga terbayang bagi suaminya seolah-olah dia melihat wanita itu. (HR. Bukhari) 24. Seorang isteri yang ketika suaminya wafat meridhoinya maka dia (isteri itu) akan masuk surga. (HR. Al Hakim dan Tirmidzi)
- B. Pernikahan dalam Islam