Banyak kali nyamuk.
Sudah terjadi penyerangan
Aku jadi korbannya
Berhati-hatilah kau
ENTAH mengapa prosa jelek itu berngiang di kepala. Berulang kali kucoba, tak juga berhasil aku mengusirnya. Malah semakin menjadi-jadi. Jika tadi saat aku hendak merebahkan tubuh tapi diganggui nyamuk, sekarang malah empat baris prosa itu merampas waktu tidurku. Aku kesal dibuatnya. Timbul penyesalan di benak, mengapa itu harus tercipta di kepalaku.
Konyol rasanya aku harus memakan energi hanya untuk memikirkan nyamuk. Jenak kemudian aku tertegun. Nyatanya nyamuk juga jadi bahan pemikiran banyak orang. Lihat saja, pemerintah sibuk dan mengeluarkan dana tidak sedikit untuk membunuh nyamuk dengan melakukan pengasapan atau fogging. Ibu-ibu pergi toko untuk membeli obat pembasmi nyamuk. Kapitalis menjadikan nyamuk sebagai peluang bisnis. Apalagi para peneliti, pusing dibuat nyamuk. Jelas nyamuk sudah menyita banyak perhatian.
Namun yang membuatku bertanya-tanya, apakah aku dianggap hidup kalau memikirkan nyamuk seperti kata filsuf itu yang mengatakan “saat aku berpikir, maka aku hidup”? Entahlah.
Prosa jelek itu begitu bebas berkeliaran di tiap satuan tempurung kepalaku. Bahkan karena dia, otak milikku menjadi terpengaruh hingga prosa lainnya segera lahir. Tidak hanya satu, tercipta sampai beberapa. Tentu saja prosa-prosa baru itu tidak kalah buruk dengan yang lama. Sama-sama memalukan. Prosa baru sedikit lebih unggul. Poin pada aku yang tidak merasa menyesal merangkainya di kepala. Malah prosa-prosa itu menjelma jadi bahan perenungan diri malam ini.
Banyak sekali koruptor.
Sudah terjadi penyelewangan
Rakyat kecil jadi korbannya.
Berhati-hatilah akan serakah!
Telah aku katakan tadi, prosa (atau puisi) ini jelek. Saking jeleknya, aku khawatir dahi orang yang membacanya berkerut. Maafkan aku. Lihat saja, pemilihan katanya tepat berada di bawah garis kemiskinan sastra. Nilainya juga tidak mengena. Serta banyak lagi unsur prosa yang kurang pas terkandung di dalamnya. Terbukti sudah dan mempertegas kalau aku bukan seorang yang ahli di bidang karang-mengarang prosa. Karyaku itu tidak seindah kebanyakan prosa milik orang lain. Tapi aku tidak berkecil hati. Untunglah iri tidak hinggap di hati. Bagiku baik-buruknya bukan hal utama.
Saya sadar dengan diri sendiri. Saya mengerti bahwa prosa karyaku tak indah. Maka jangan pernah pernah berkata alangkah aku tidak tahu malu sampai-sampai mau menuliskan lalu membagikan prosa jelek ini. Aku hanya ingin menulis. Dan aku berkeyakinan, menulis punya manfaat, setidaknya bagiku.
Aku juga tadi katakan bahwa setelah prosa pertamaku, maka lahir banyak prosa jelek dan mirip. Maka sebelum aku menuliskan lagi satu prosa jelek , izinkan aku mendapat maaf dari Anda. Sekali lagi, maafkan saya. Dan aku mohon, tolong lanjutlah membaca prosa jelek terakhir ini.
Banyak wanita cantik.
Sudah mata melihatnya
Hatiku jadi korbannya.
Awaslah kalau jatuh cinta!
Ah, itu bukan prosa yang manis.
Salam
Larut malam pada 09 Juni 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H