Mohon tunggu...
Jasman F. Simanjuntak
Jasman F. Simanjuntak Mohon Tunggu... -

Mencintai buku dan perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berahi yang Terkalahkan

8 Juli 2016   16:31 Diperbarui: 8 Juli 2016   16:38 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

LELAKI ITU mengaku diri bukan manusia golongan bermoral baik. Ia mengaku, penyakitnya, kecanduan seksual. Ia kerap menjadikan kekasihnya hanya sekadar pemuas renjana berahi. Bukan hanya kekasihnya itu, perempuan lain juga turut menjadi alat pemuas. Bahkan ia membiarkan kekasihnya diperbudak oleh lelaki hidung belang sebagi pemuas asal ia diberi uang. Dengan kata lain, ia tega hati menjual kekasihnya.

Ia bekerja sebagai penjaga toilet di salah satu taman di Kota Medan. Dengan profesi itu memungkinkannya bertemu dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Mulai dari ibu-ibu, anak-anak, pemuda-pemudi, dan juga berusia lanjut. Karena penjaga toilet pulalah yang mempertemukannya dengan seorang gadis yang akan dikisahkan di sini.

Seperti hari-hari biasa, pengunjung datang ke taman. Ada yang bermaksud menikmati udara yang sedikit segar di balik tingginya polusi di Kota Medan. Ada yang sekadar menghabiskan waktu. Ada pula yang hendak berpadu kasih. Tidak terkecuali, waktu itu, seorang perempuan datang dengan menggunakan seragam sekolah saat seharusnya ia di kelas. Perempuan itu membolos dan pergi ke taman.

Kita namai saja perempuan itu: Sheila.

Setelah keluar dari toilet, Sheila memberi selembar uang dua ribuan kepada lelaki penjaga toilet. Namun lelaki itu menolak uang Sheila. Ia ingin berkenalan untuk kemudian bercerita.

Yang diinginkan lelaki itu berwujud. Mereka berkenalan dan bercerita. Maka didapatilah lawan bicara satu sama lain adalah Sheila dan Sitorus. Ya, penjaga toilet itu Sitorus. Sitorus merupakan salah satu marga pada Suku Batak Toba. Dan ibu yang melahirkan Sheila juga boru Sitorus. Dalam adat Batak, Sitorus adalah “Tulang” (Paman)-nya Sheila. Dan Sitorus harus menyebut Sheila sebagai “Bere” (Keponakan).

Begitulah. Hubungan antara Sitorus dan Sheila terus berlanjut. Mereka kerap bertukar kata di taman. Sheila bercerita tentang ayah dan ibunya yang sering berantam, yang membuatnya tidak betah di rumah. Sedang Situros lebih banyak sebagai pendengar dan sesekali memberi tanggapan.

Kehangatan antara mereka berdua membuat Sheila tidak lagi canggung menginap di kontrakan Sitorus. Suatu malam, ketika Sheila tidak ingin pulang ke rumahnya, ia menginap di rumah Sitorus. Sitorus berulang kali menolak, namun Sheila bersikeras.

Entah setan apa yang menyelinap di diri Sheila. Di kontrakan Sitorus yang sedikit lebih luas dari lapangan pingpong, Sheila tanpa busana tergolek di samping Sitorus yang sudah tertidur. Ia membangunkan Sitorus. Ia meminta Sitorus untuk berhubungan badan.

Sitorus kesulitan memposisikan diri. Kecanduannya akan seksual menyuruhnya untuk memenuhi permintaan Sheila. Namun, di sisi lain, ia masih ingat budaya, adat istiadat. Ia dan Sheila adalah “Tulang” dan “Bere”. Adat Batak tidak membenarkan mereka berpacaran apalagi berhubungan badan. Pantang!

“Nggak. Aku ngantuk,” Situros berdalih. Ia menutupkan kembali matanya. Di malam itu, ia berusaha mengalahkan berahinya dengan berpegang pada adat.

***

BARANGKALI, banyak manusia yang pernah di posisi Sitorus. Beberapa di antara mereka berhasil mengalahkan berahinya. Namun tidak sedikit pula yang tenggelam akan permainan setan. Maka tidak jarang kita mendengar seorang ayah tega memperkosa anaknya, baik kandung ataupun tiri. Kita sering mendengar seorang anak dicabuli oleh tetangganya sendiri. Bahkan orang yang dipandang tekun beragama juga turut sebagai pelaku. Dan banyak lagi daftar kejahatan seksual yang tidak terduga-duga sebelumnya.

Sitorus adalah salah satu dari barisan sunyi yang mengalahkan berahinya. Ia tidak kalap. Dengan caranya, dengan berpegang pada nilai adat yang berlaku di sekitarnya, ia mampu mengatasi rayuan manis sang setan. Ia masih membiarkan dirinya diikat nilai adat yang membuat hidup (setidaknya bagi masyarakat Batak) lebih beradab.

Sebagai anak bangsa yang memiliki ragam budaya, sudah sepatutnya kita bersyukur. Budaya bangsa ini sarat mengandung nilai-nilai kehidupan yang mengarahkan hidup lebih baik. Namun, seringkali pula kita lupa akan nilai-nilai kehidupan yang terkandung pada warisan budaya itu. Kita berpenyakit lupa.

Salam…

Medan, 8 Juli 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun