Berpuluh tahun lalu mereka pertama kali bertemu. Kala itu Deonal Sinaga masih siswa kelas dua SMA di tanah kelahirannya. Sedang sahabatnya itu berkunjung ke daerahnya. Sahabat itu datang dari negeri Belanda ke Sipaholon, Sumatera Utara, untuk menikmati obyek wisata air panas. Di sanalah mereka bertemu dan berkenalan.
Kendati sehari-hari Deonal tidak berbahasa luar, namun ia tidak kesulitan bicara dengan sahabatnya itu. Mereka berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Sejak SMP, Deonal sudah fasih berbahasa Inggris. Dan ia meyakini, komunikasi yang baik turut membantu persahabatan mereka.
Kepulangan sahabat itu ke negeri kincir angin, tidak serta merta memutus hubungan mereka. Deonal mengirimi sahabatnya surat. Dan, sedikitnya, dua bulan kemudian, ia menerima balasan suratnya. Suatu ketika, Deonal tidak hanya mendapat surat, tapi ia juga dikirimi sepotong kostum sepak bola tim nasional Jerman pada perhelatan Euro 1992. Deonal senang mengingat itu.
Tali temali persahabatan itu nyaris menghilangkan perbedaan antar mereka. Tidak hanya berbeda bangsa, suku, ras, mereka jua berbeda keyakinan. Deonal dibesarkan dalam keluarga Kristen, sedangkan sahabatnya itu tidak percaya kepada Tuhan atau ateis. Namun, semua itu tidak merusak hubungan mereka.
Sebagaimana kebanyakan pemuda di daerahnya, Deonal bergumul akan masa depannya. Hatinya dibuat pada posisi pilihan yang sulit, antara berkuliah di teologi atau kedokteran. Sesungguhnya ia lebih ingin menjadi dokter. Namun, orangtuanya lebih suka ia jadi seorang pendeta. Ia belum menentukan pilihan.
Deonal menyadari bahwa kuliah kedokteran membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ia juga menyadari keluarganya tidak mampu membiayai kuliahnya. Tapi keuangan bukanlah masalah bagi Deonal. Sahabatnya itu bersedia membiayai segala kebutuhannya asalkan ia memilih kuliah kedokteran.
Ketika tamat SMA, Deonal belum juga memilih. Ia masih bimbang. Kepalanya masih dipusingkan antara teologi dan kedokteran. Sementara pendaftaran mahasiswa teologi berakhir besok hari. Dan orangtuanya kian mendesak.
Deonal mengambil jalan. Ia mengurung diri ke kamar. Ia berdoa. Dan akhirnya ia mau mendaftarkan diri sebagai mahasiswa baru di STT HKBP di daerahnya. Namun langkah itu tidak mematikan niatnya kuliah kedokteran. Ia malah berharap tidak lulus saat di sekolah tinggi teologi itu. Ia berharap besar.
Nasib berkata lain. Deonal dinyatakan lulus. Ia diterima di sekolah tinggi teologi. Lantas Deonal jadi mahasiswa dan meninggalkan keinginan kuliah kedokteran.
Keputusan dilaporkan ke temannya di Belanda. Ia mengirim surat berisi kalau ia memilih kuliah teologi ketimbang kedokteran. Dan keputasannya sudah bulat, tidak tertawar lagi.
Lama menunggu, surat balasan tidak datang. Tidak dua bulan kemudian. Tidak tiga bulan kemudian. Tidak setahun kemudian, berpuluh tahun. Tidak setelah Deonal berkeluarga dan menjadi pendeta. Tidak saat saya mewawancarai Deonal.
Persahabatan mereka tergantung, atau terputus. Namun satu hal yang dipelajari Deonal dari kisah mereka: "Jangan lawan kata hatimu," katanya.
Salam...
Medan, 20 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H