Mohon tunggu...
Angel Sang Pemenang
Angel Sang Pemenang Mohon Tunggu... -

demokrasi telah mati

Selanjutnya

Tutup

Money

Presiden Itu Bukan Simbol, Jadi Harus Pinter Beneran

8 September 2018   09:05 Diperbarui: 9 September 2018   08:26 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rupiah mencapai 15 ribu per US Dollar disaat negara Asean lainnya tenang dan teduh tentu saja menampar semua wacana pemerintah yang bicara seolah semuanya baik - baik saja dengan fundamental ekonomi Indonesia. Sebelumnya wacana wacana optimisme itu bersautan mendominasi media seperti sebuah kebenaran.

  1. Hutang besar ga apa apa, yang penting bisa bayar
  2. Infrastruktur akan menurunkan biaya distribusi
  3. Rasio hutang kita paling aman dibanding negara Asean lainnya
  4. Percayalah ekonomi kita ini akan melesat

Alam menjawab dengan keras:

  1. Hutang makin melesat tinggi dengan Dollar di angka 15 ribu
  2. Infrastruktur merontokkan BUMN kita
  3. Rasio hutang dibanding PDB tidak mencerminkan kemampuan bayar, Tetapi rasio export
  4. Bukan ekonomi yang melesat tetapi Utangnya.

Negara itu bukan warung kopi yang tanpa perlu punya neraca debit kredit nya pun bisa bertahan belasan tahun. Ini adalah sebuah negara dengan dana kelolaan ribuan trilyun rupiah. 1% dari 2000 trilyun rupiah pun sudah senilai 20 trilyun rupiah. Potensi yang besar sekaligus resiko yang besar jika salah kelola. Disisi lain,rezim ini sudah belanja infrastruktur ugal - ugalan, gelap mata dan impulsive, seolah tidak punya anggaran dan perencanaan sama sekali.

dokpri
dokpri
Mengapa ugal - ugalan?

Ugal ugalan karena dari sejak pertama yang diincar adalah subsidi rakyat kecil menengah untuk membiayai infrastruktur. Akibatnya daya beli drop. Bukan duit yang didapat dari pencabutan subsidi justru daya beli turun dan memukul industri dalam negeri, akibatnya ekonomi stagnan dan pajak turun drastis.

Apa itu Gelap Mata?

Ketika pajak turun drastis, bukan nya berusaha menolong sektor riil. Justru gelap mata dalam memburu pajak, akibatnya muncul item dan skema pajak baru yang justru makin membunuh dunia usaha dan daya beli, kekosongan barang yang disebabkan industri dalam negeri mati suri menyebabkan barang import makin cepat masuk ke dalam negeri, bahkan bukan cuma barang industri yang masuk tetapi juga barang pertanian dan peternakan karena dua sektor itu ikut terpukul. Puncaknya adalah kelangkaan telur dan daging ayam.

Apa itu Impulsive:

Semua carut marut itu tidak pernah diakui sebagai salah kelola. Tetap saja mengerjakan semua yang berhubungan dengan negara secara impulsive. Mulai ramai ramai menuding Turki, Venezuela, Argentina memberi efek buruk pada ekonomi Indonesia. Padahal secara ekonomi korelasinya sangat kecil. 

Di dalam negeri, merasa kursinya bergoyang keras, maka tuduhan makar dan radikalisme mulai dihembuskan. Akibatnya banyak ormas terprovokasi dan terjadilah persekusi demi persekusi. Hehehe... bagaimana mungkin mengganti presiden melalui pilpres dianggap radikalisme? Emang situ mau jadi presiden selamanya? empat tahun saja sudah bikin susah kok mau dua periode.

Bagaimana jika Presiden kurang cakap dan hanya mengandalkan pembantunya?

Transfer knowledge tidak bisa dilakukan hanya dalam sebuah rapat - rapat kabinet. Kemudian kita berasumsi semua ideal dan presiden hanya memilih dua opsi yang sama sama bagus. Keputusan terkadang mempunyai tautan yang sangat rumit dan perlu pemahaman dasar. Tidak mungkin juga rapat kabinet menjadi sebuah kuliah umum tentang politik atau ekonomi.

Mengingat pentingnya posisi presiden, sudah bukan waktunya lagi memilih presiden karena hal hal artifisial dan gimnick yang gampang dikondisikan seperti misalnya, baik hati, suka beri sepeda, punya banyak kartu, bajunya sederhana ataupun masuk gorong gorong atau situasi yang mudah disetting lainnya. Presiden haruslah punya kepandaian dan kecakapan kelas dunia. Jika pun kuliah sebaiknya dengan prestasi yang membanggakan dan kelas dunia, jika menjadi pengusaha bukan cuma kelas kotamadya. 

Memang benar tidak semua yang "kelas global" berkorelasi dengan kualitas, contohnya untuk sebuah nominasi walikota terbaik didunia. Apa mungkin kota kecil di Jawa Tengah mengalahkan komplektivitas kota kota super metropolitan dunia seperti, Tokyo, Beijing, Seoul, New York, London, Amsterdam, Dubai, dsb?

Dunia Makin Global, Kita Jangan Norak

Kompetisi dunia itu riil, bagaimana kita bisa berkomunikasi setara tanpa punya pride yang tinggi? Jika soal bahasa saja sudah menjadi kendala, bagaimana mungkin kita bisa menunjukkan sebagai pemimpin Indonesia yang dihargai di kancah global. Bahasa bukan segalanya, tetapi bahasa banyak bercerita tentang dimana posisi seseorang tersebut seharusnya berada, kemampuan bahasa menunjukkan jam terbang, kemampuan bahasa menunjukkan seberapa luas perspektif seseorang.

Berbicara antipasif beda dengan pesimisme. Antisipasif artinya kita paham bahaya didepan, mempersiapkan diri untuk sesuatu terburuk dan berharap yang terbaik yang terjadi.

Sedangkan pesimisme adalah setara dengan fatalisme, seolah semua sudah nasib, tidak ada yang perlu diubah juga tidak berusaha mengubah hal yang buruk. Albert Einstein seorang ilmuwan penemu teori relativitas mengemukakan, "Idiot adalah berharap hal yang berbeda dengan melakukan hal yang sama."

So, jika saat ini kita sudah merasakan pahitnya kegagalan. Mengapa kita tidak menggantinya?

Mari sejenak merenung, mendengarkan kejujuran nurani kita, #2019GantiPresiden.

5 tahun sudah cukup, biarkan semua pemimpin datang dan pergi, asalkan negeri ini bisa berjaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun