[caption id="attachment_89275" align="alignright" width="340" caption="(Foto: Google)"][/caption] PERKEMBANGAN situasi belakangan ini membuat adanya Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Rumah Ibadah menjadi penting dan mendesak. Pada era Orde Baru yang otoriter dan sentralistis, boleh jadi kebutuhan itu belum begitu dirasakan. Karena atas nama stabilitas nasional, pemerintah saat itu dapat meredam konflik bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan dengan tangan besi. Nah, ketika kendali pemerintah pusat kian diperlonggar dengan desentralisasi dan otonomi daerah seluas-luasnya, ditambah demokrasi yang membuka pintu lebar-lebar bagi kebebasan berpendapat (freedom of expression), negara membutuhkan instrumen hukum yang kuat untuk mengantisipasi dan mengendalikan kemungkinan terjadinya konflik horizontal tersebut, terutama konflik antarumat beragama. Instrumen hukum yang ada saat ini, berupa Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, sudah tak memadai lagi. Sebab Peraturan Bersama Menteri (PBM) ini ternyata prakteknya justru sering dijadikan alasan untuk memunculkan konflik. Rumah ibadah yang belum berizin atau dalam proses mengurus izin, kerap menjadi sasaran kekerasan ormas tertentu dengan tameng PBM tentang Pendirian Rumah Ibadah ini (selanjutnya disebut PBM Rumah Ibadah). PBM Rumah Ibadah dirasakan juga mempersulit pendirian rumah ibadah, terutama bagi penganut agama minoritas di suatu wilayah. Padahal niat PBM semula justru memfasilitasi atau mempermudah pendirian rumah ibadah. Pengertian minoritas di sini tak hanya menunjuk umat Kristiani, melainkan bisa saja umat Hindu, Buddha, Konghucu, termasuk Islam. Sebab tidak selalu umat Islam menjadi mayoritas di seluruh wilayah. Dengan demikian, minoritas di sini netral atau tidak pandang bulu. Lebih dari itu, PBM tidak dikenal dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, seperti diatur Pasal 7 UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Terlebih jika maksudnya untuk melaksanakan ketentuan UUD 1945, khususnya Pasal 29. Menurut hierarki peraturan perundangan kita, sebuah pasal atau ketentuan dalam konstitusi mestinya diderivikasikan dengan UU yang dibuat DPR bersama pemerintah atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Kemudian UU dirinci dengan Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres). Baru kemudian PP atau Perpres ini dilaksanakan dengan Peraturan Menteri. Sementara PBM langsung meloncat dari Pasal 29 UUD 1945 ke Peraturan Menteri. Menurut pakar ilmu perundang-undangan, Dr. Maria Farida Indrati Soeprapto, peraturan menteri harusnya di bawah peraturan pemerintah/presiden, karena menteri bertanggung jawab kepada presiden. RUU Rumah Ibadah Dengan diatur dalam bentuk UU, selain secara hukum lebih kuat, proses pembuatannya diharapkan lebih dapat mengakomodasi aspirasi semua kelompok. Bukan saja kepentingan umat agama-agama, tapi juga penganut aliran kepercayaan dan sekte-sekte tertentu, seperti Ahmadiyah dan Syiah, yang rentan mendapat perlakuan tak adil dari pemeluk agama arus utama (mainstream). Ini sesuai Pembukaan UUD 1945 paragraf ke-4 bahwa salah satu tujuan dibentuknya pemerintah adalah demi "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia." Melalui pembahasan yang terbuka di DPR, ditambah proses dengar pendapat dengan semua pemangku kepentingan (stakeholder) terkait, diharapkan RUU Rumah Ibadah akan lebih adil sekaligus lebih melindungi seluruh warga negara untuk melaksanakan ibadah sesuai agama atau kepercayaannya. Idealnya, RUU ini merupakan turunan Pasal 29 UUD 1945 ayat (1) yang berbunyi "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa" dan ayat (2) yang menyatakan, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu." RUU harus berlandaskan semangat menghormati kebebasan beragama dan menjalankan agama (freedom of religion) sebagai hak asasi warga negara yang tak dapat diganggu gugat. Jadi sesuai Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, bahwa hak beragama "adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun." Substansi RUU juga harus dijiwai semangat nondiskriminasi, seperti dianut Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan, "Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu." Dengan kata lain, RUU harus sesuai prinsip equality befor the law, sebagaimana disebutkan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Soal namanya tidak harus RUU Rumah Ibadah. Bisa saja RUU Kebebasan Beragama, RUU Perlindungan Agama, atau RUU Kerukunan Beragama. Yang jelas, RUU perlu mengatur sanksi tegas dan keras bagi tiap bentuk serangan terhadap umat yang sedang beribadah dan perusakan rumah ibadah, maupun penghasutan untuk mengadu domba antarumat beragama.Tentu saja RUU juga perlu mengatur prosedur pendirian rumah ibadah itu sendiri. Bila dibuat dalam format lebih luas, misalnya RUU Kebebasan Beragama, RUU perlu mengatur ihwal konversi agama dan penyebaran agama. RUU perlu memerintahkan pula agar majelis agama-agama membentuk kode etik penyebaran agama (misionaris atau dakwah) yang disepakati bersama. RUU juga perlu mewajibkan setiap lembaga agama atau lembaga pendidikan agama untuk mengajarkan semangat toleransi dalam kurikulumnya. Strategis RUU Rumah Ibadah ini sangat strategis mengingat karakter religius tetapi majemuk masyarakat Indonesia. Karena itu, pemerintah bersama DPR perlu memprioritaskan RUU ini. Apalagi jika dinamai RUU Kerukunan Beragama, ini sudah masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) yang ditetapkan DPR dan pemerintah. Ini mengitngat makin seringnya muncul kerawanan sosial terkait masalah rumah ibadah dan interaksi antarumat beragama. PBM mengenai rumah ibadah yang ada saat ini, selain dinilai mempersulit pendirian rumah ibadah, juga belum mengatur perlindungan memadai bagi umat yang dianggap tak sejalan dengan kelompok arus utama. Ini misalnya dialami penganut aliran Ahmadiyah atau Syiah yang masjidnya sering menjadi sasaran perilaku anarkis kelompok Islam lainnya. PBM juga terkesan mendesentralisasikan urusan agama kepada pemerintah daerah. Ini bisa kita lihat dari kasus Ciketing, Bekasi, di mana pemerintah pusat seolah menimpakan tanggung jawab penyelesaian kasus itu semata ke pundak Walikota Bekasi dan Gubernur Jawa Barat. Sementara pemerintah pusat, termasuk Kementerian Agama, hanya wait and see, bahkan terkesan cuci tangan. Pendelegasian urusan agama kepada daerah, seperti terlihat dari PBM tersebut, bertentangan dengan Pasal 10 ayat (3) UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur bahwa agama merupakan kewenangan pusat. Mestinya, urusan agama --termasuk rumah ibadah-- ini menjadi otoritas Kementerian Agama dan pemerintah pusat umumnya. Pemerintah pusat tak boleh abai bahwa seolah-olah hal ini domain pemerintah daerah. RUU juga perlu mengoreksi pelbagai kelemahan PBM. Antara lain RUU harus dilandasi semangat mempermudah pendirian rumah ibadah; perlindungan kepada umat yang sedang beribadah dan rumah-rumah ibadah; serta penghormatan hak-hak warga negara untuk beribadah sesuai agama atau kepercayaannya. Tentu saja RUU tetap harus menjamin keharmonisan dan kerukunan hidup antarumat beragama, maupun sesama umat seagama namun berbeda mazhab, aliran, ataupun sekte. RUU juga perlu mengatur sanksi kepada kelompok-kelompok yang menghalang-halangi umat beragama untuk beribadah dan perlakuan diskriminatif yang diterima suatu pemeluk agama di tempat kerja atau di lembaga-lembaga pelayanan publik. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H