[caption id="attachment_263542" align="alignleft" width="240" caption="Gus Dur bersama Paus Johannes Paulus II (foto: hirzitthariqi.wordpress.com)"][/caption]
Menjadi seseorang yang mencoba menghormati kemajemukan (biasa disebut pluralis) itu gampang-gampang sulit. Situasinya seringkali membuat posisi kita serba dilematis. Sebab, tidak mustahil, kita justru dimusuhi kelompok sendiri, dan menjadi sasaran tuduhan-tuduhan keji dan kasar.
Minggu ini, misalnya, saya mendapat hadiah kata-kata kasar karena sikap inklusif (terbuka) dan pluralis saya itu. Gara-garanya, apalagi jika bukan tulisan saya yang mencoba berempati kepada jemaat HKBP Bekasi, dan melakukan kritik internal ke dalam jajaran pemeluk agama saya sendiri, Islam. Tulisan saya yang memancing kemarahan sebagian orang, yang justru seiman dengan saya, itu berjudul Kasus HKBP dan Relevansi Isu Kristenisasi Vs Islamisasi.
Tulisan bersambung tiga bagian ini saya posting di blog Kompasiana pekan lalu. Yang memicu kemarahan terutama bagian kedua (#2), yang memang porsinya cukup banyak mengkritisi kelompok Islam garis keras, di samping mengungkap fakta-fakta historis era Nabi Muhammad SAW (sirah) yang selama ini belum banyak diketahui orang. Gara-gara tulisan ini, antara lain saya sempat disebut bodoh, asal ngomong, pembela agama lain, bahkan menggadaikan keyakinan demi mencari popularitas. Astaghfirullah al-adzim, semoga Allah mengampuni kezaliman kita.
Pada saat yang nyaris bersamaan, blog pribadi saya juga mendapat bonus cacian dari salah satu blog walker. "Jarot goblok!" kata tamu blog saya ini. Walaupun menyembunyikan identitasnya dan tak menyebutkan secara spesifik alasan marahnya, saya yakin pengunjung blog ini seagama dengan saya. Rabaan saya, dia marah usai membaca tulisan saya yang berjudul Menjadi Muslim Tanpa Membenci Non-Muslim. Tulisan yang sempat memicu pro-kontra di Kompasiana ini memang saya posting ulang di blog pribadi saya dan pada saat ini menjadi bab pembuka blog saya, jarot10.blogspot.com.
Begitulah salah satu risiko jika kita ingin bersikap seimbang atau adil dalam memandang kelompok lain atau menjadi seorang yang bervisi inklusif dan pluralis. Bisa jadi di mata kelompok lain kita akan populer, karena dianggap mengayomi kaum minoritas dan bersikap bijak kepada penganut agama yang berbeda.
Akan tetapi, ke dalam (internal umat seagama saya sendiri) tak jarang kita justru dicaci maki, dimusuhi, dan dibenci. Terutama oleh kelompok seagama yang tentunya tak sejalan dengan garis berpikir saya. Karena sikap saya inklusif, moderat, dan pluralis, tentunya saudara-saudara saya seiman yang antipati kepada saya adalah dari kalangan yang sikapnya berlawanan dengan saya. Dari situ bisa diduga, yang antipati kepada saya --terkait tulisan-tulisan saya-- ialah mereka yang berpandangan eksklusif (tertutup), ekstrem (keras), dan belum bisa bersikap wajar ketika menyikapi keragaman. Di luar itu, bisa juga mereka yang terkaget-kaget dengan teladan sikap toleran (akhlak tasamuh) Nabi Muhammad SAW yang saya perlihatkan melalui tulisan saya, termasuk interpretasi saya atas ayat-ayat Al Quran yang mendukung sikap toleran.
[caption id="attachment_262880" align="alignright" width="175" caption="Cak Nur dan bukunya yang fenomenal, "Islam Kemodernan dan Keindonesiaan" (foto: mizan.com)."][/caption]
Hikmahnya, dari hujatan dan makian yang saya terima tadi, akhirnya saya lebih menyadari betapa berat perjuangan yang dilakukan oleh almarhum guru bangsa favorit saya, Prof. Dr Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada masa hidupnya dulu, karena konsisten bersikap inklusif dan pluralis, Cak Nur dan Gus Dur sempat dicap "antek Yahudi yang ingin menghancurkan Islam dari dalam." Penuduhnya siapa lagi jika bukan kelompok-kelompok kecil penganut Islam radikal.
Nasib serupa belakangan juga menimpa guru bangsa lainnya, yang juga amat saya kagumi, yakni mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif. Seperti diketahui, Buya Syafii Maarif menyebut serangan atas jemaat HKBP Bekasi yang tengah beribadah sebagai "tindakan biadab". Nah, karena sikap empati mendalam Buya Syafii Maarif atas kekerasan yang menimpa jemaat HKBP Bekasi ini, salah satu yunior saya di KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) sampai mengata-ngatai beliau sebagai “orang tua yang munafik”. Tuduhan yang ditulis di status Facebook-nya itu jelas sangat keji dan tanpa dasar.
Sebagai generasi muda Muhammadiyah, tentu saja saya ikut tersinggung dengan tuduhan ngawur tersebut. Munafik adalah sikap yang seolah-olah beriman atau bertakwa kepada Tuhan, namun kenyataannya justru mengingkari. Apa relevansinya stigma munafik dilekatkan kepada seorang Muslim yang bersimpati kepada umat lain yang diperlakukan semena-mena? Karena itu, tanpa ragu lagi, langsung saya hapus (remove) penghujat Buya Syafii Maarif tadi dari daftar teman saya di Facebook.
Sebelum saya delete nama pengecam tadi, saya tulis pesan di akun Facebooknya, bahwa insya Allah saya masih lebih tsiqoh (percaya) kepada ucapan Buya Syafii Maarif ketimbang kepada pengecam seperti dirinya.
Nasib dimusuhi atau disalahpahami oleh sebagian umat seagama demikian tidak hanya menimpa tokoh-tokoh Muslim. Pemuka umat non-Muslim yang bervisi inklusif dan pluralis pun rupanya menghadapi cobaan tak jauh beda. Konon almarhum Dr Th. Sumartana, seorang pendeta Kristen yang memimpin lembaga dialog antariman DIAN-Interfidie Yogyakarta, juga disalahpahami sebagian umat Kristen sebagai "pembela Muslim".
Fenomena serupa besar kemungkinan juga dialami para pemuka agama lainnya, baik Katolik, Hindu, Buddha, maupun Konghucu. Ibaratnya, tiap seseorang menjadi berpandangan inklusif dan pluralistik --dengan kata lain bersikap lebih ramah, dewasa, dan adil-- kepada kelompok atau umat lain, senantiasa bakal menimbulkan resistensi internal, kendati bisa jadi semakin populer di luar kelompoknya. Ini bukan berarti bahwa mereka adalah orang-orang yang senang mencari popularitas.
Bahkan di negara yang demokrasinya sudah mapan serta masyarakatnya sangat maju dan liberal seperti Amerika Serikat (AS), kesalahpahaman serupa masih muncul. Itulah mengapa, ketika Presiden AS, Barrack Obama, membela hak-hak kaum minoritas Muslim AS untuk membangun masjid dan Islamic Center dekat "ground zero" New York, Obama segera mendapat tudingan sebagai "pemeluk Islam" oleh para penentangnya. Tentu saja tuduhan ini juga tidak benar, sebab Obama penganut Kristen taat.
Pembelaan Obama kepada hak kaum Muslim AS untuk membangun rumah ibadah di tanah mereka sendiri, justru sesuai prinsip kebebasan beragama yang dianut konstitusi Amerika. Hanya kebetulan bakal masjid dan Islamic Center itu berlokasi dekat bekas menara kembar World Trade Center (WTC), yang luluh lantak dibom anggota Tanzim Al Qaeda, pada 11 September 2001. Lokasi bekas pengeboman inilah yang disebut “ground zero” dan menjadi monumen yang dihormati bangsa AS.
Akibat sensitifnya isu masjid di “ground zero”, ide pembangunan masjid tadi memicu pro-kontra bahkan intimidasi bagi kaum Muslim AS. Tak ketinggalan politisi konservatif dari Partai Republik memanfaatkannya guna menyerang Obama. Akan tetapi, Obama tidak gentar. "Keyakinan kita terhadap kebebasan beragama tidak tergoyahkan," kata dia, seperti dilaporkan kantor berita BBC.
Dengan lantang, Obama malah berkata, "Kita semua harus menerima dan menghormati kepekaan terhadap pembangunan di Lower Manhattan. Ground Zero memang tempat sakral. Tetapi saya harus menjelaskan, sebagai warga negara dan presiden, saya percaya umat Islam memiliki hak yang sama dalam melaksanakan ibadah, sama seperti orang lain di negara ini.
"Termasuk hak membangun tempat beribadah dan pusat kegiatan pada lahan pribadi di Lower Manhattan, sesuai dengan hukum setempat. Ini adalah Amerika dan keyakinan kita terhadap kebebasan beragama tidak boleh goyah. Penganut agama apa pun diterima di negara ini, dan perlakuan yang sama adalah sifat mendasar kami."
Mengenai salah paham bahwa Islam yang menyerang AS, seperti dituduhkan mereka yang anti pembangunan masjid di “ground zero”, Obama mengatakan, “Al Qaeda bukanlah Islam. Al Qaeda adalah penyimpangan besar-besaran agama Islam,” katanya. Amerika, kata Obama, bukan memerangi Islam. "Amerika memerangi organisasi-organisasi yang memutarbalikkan (ajaran) Islam.” (Koran Tempo, 15/9/2010).
Demikian pula halnya dengan Cak Nur, Gus Dur, atau Buya Syafii Maarif. Mereka tetap Muslim dan tokoh-tokoh Muslim terkemuka dan dihormati khalayak. Mereka hanya meyakini bahwa Islam, agama yang mereka anut, memang mengajarkan prinsip tasamuh (toleransi) seperti telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan diperintahkan Allah dalam Al Quran.
Di luar itu, mereka sekadar mengamalkan Pancasila dan menjalankan amanat konstitusi yang menjunjung tinggi kebhinnekaan kita sebagai sebuah bangsa. Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 jelas mengatakan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Sementara Pasal 28I ayat (1) menegaskan bahwa hak beragama adalah “hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Karena itulah Pasal 28J UUD 1945 memerintahkan, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Akan tetapi, tampaknya, bangsa kita masih membutuhkan banyak waktu dan kemauan keras untuk belajar, agar bisa menuju tataran ideal itu: menjadi sebuah bangsa yang betul-betul demokratis, beradab, dan dewasa. [] Jakarta, 20 September 2010.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H