Mohon tunggu...
Jarot Citro
Jarot Citro Mohon Tunggu... profesional -

Bukan siapa-siapa, bukan apa-apa.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Perempuan Bermata Srigala

13 Oktober 2010   14:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:27 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_288668" align="alignright" width="299" caption="(foto: h4byby.blogspot.com)"][/caption]

Ia selalu berdiri di tempat itu setiap aku keluar masuk gapura rumah dinas. Wajahnya kosong, namun dingin. Dari balik mata setajam tatapan srigala, aku merasa ada sebilah belati yang terjulur. Mengancam jantungku. Perempuan berjubah angin itu seperti serpihan mimpi buruk yang bangkit dalam mata terjaga.

Aku tak ingin peduli, tapi, “Siapa sih orang di seberang gapura itu? Aneh deh Pah, seminggu ini ia selalu di situ. Matanya itu loh yang bikin Mamah takut”. Ternyata isteriku pun memperhatikannya.

“Mamah kan ibu bupati, wajar kalau kemana-mana diliatin rakyatnya,” aku menepisnya.

“Tapi yang ini lain, Pah. Sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu.”

“Itu juga wajar. Sebagai isteri pejabat, pasti banyak yang ingin menyampaikan keinginan pada Mamah. Itulah yang disebut aspirasi.”

Isteriku diam, wajahnya tak setuju.

*****

Gempa mengguncang pikiranku tiba-tiba. Dari balik kaca mobil, aku pandangi lebih lekat wajah kering dan berdebu itu. Tak salah lagi. Aku mengenal perempuan yang berdiri sediam patung Dewi Durga itu.

Lima tahun lalu ia mendatangiku. Segumpal persoalan ia sodorkan ke mukaku. Lalu, “Gugurkan! Kau akan kunikahi dan mendapat semua yang kau inginkan,” tandasku dalam pertengkaran yang menyala.

“Kalau mau nikahin aku, kenapa Mas nyuruh aku gugurin anak ini,” ia meratap. Bertahan.

“Kau tahu, aku pejabat publik, ketua partai, bupati terhormat. Apa kata orang kalau mereka tahu soal ini. Kau ingin menghancurkan karirku!”.

Ia diam. Matanya tak rela. Namun kini tanpa perlawanan.

Setelah kupastikan ia menuruti keinginanku, aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Para staf pernah bercerita seorang perempuan berulang-ulang mencariku. Tapi kesibukan mengurus nasib banyak orang, membuatku tak ada waktu menemuinya. Hingga ia benar-benar lenyap dari ingatan.

*****

“Pah, kok perempuan itu gak ada lagi. Papah nyuruh orang Dinas Sosial mindahin dia ya?” tanya isteriku pagi itu.

“Ah mana sempat Papah mikirin satu gelandangan,” wajahku setenang hari-hari biasa.

Dering handphone mengalihkan perhatian. “Gimana, beres?”

“Beres, Bos. Saya masukin tong, saya cor pakai semen. Terus saya buang ke laut. Hanya ular laut yang bisa nemuin bangkainya,” suara orang di ujung lain.

Gempa di otakku mereda. Kulirik jam tangan. Hampir lupa, pagi ini aku harus membuka acara. “Mah, suruh ajudan Papah nyiapin pidato untuk seminar perlindungan perempuan dan anak”.

Lalu hari-hari kembali berjalan seperti biasa. Landai. Menjenuhkan.

Jakarta, Oktober 2010 “Sefiktif apapun flash fiction, ‘ia’ adalah hasil refleksi dari kenyataan. Senyata apapun sebuah flash fiction, ‘ia’ tetaplah sebuah fiksi.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun