Sejak hari Kamis kemaren (18/06/2015), warga muslim di Indonesia dan belahan dunia lainnya memasuki bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah puasa. Sebagai orang yang non-muslim, saya dengan tulus mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa kepada seluruh teman2 saya dan mendoakan semoga menjalani ibadah ini, Tuhan selalu memberi kekuatan dan berkat kepada mereka senantiasa. Hal ini saya tuliskan di status Facebook saya.
Ada teman saya yang memberikan komentar “terima kasih bro…May Allah bless you too” serta memberikan link mengenai makna Ramadhan. Saya membuka link ini dan menemukan makna yang sesungguhnya luar biasa di balik bulan Ramadhan ini.
Kata “Ramadhan” merupakan bentuk mashdar (infinitive) yang terambil dari kata ramidhayarmadhu yang pada mulanya berarti membakar, menyengat karena terik, atau sangat panas. Dinamakan demikian karena saat ditetapkan sebagai bulan wajib berpuasa, udara atau cuaca di Jazirah Arab sangat panas sehingga bisa membakar sesuatu yang kering.
Selain itu, Ramadhan juga berarti ‘mengasah’ karena masyarakat Jahiliyah pada bulan itu mengasah alat-alat perang (pedang, golok, dan sebagainya) untuk menghadapi perang pada bulan berikutnya. Dengan demikian, Ramadhan dapat dimaknai sebagai bulan untuk ‘mengasah’ jiwa, ‘mengasah’ ketajaman pikiran dan kejernihan hati, sehingga dapat ‘membakar’ sifat-sifat tercela dan ‘lemak-lemak dosa’ yang ada dalam diri kita.Jadi, Ramadhan adalah bulan yang sangat sarat makna yang kesemuanya bermuara kepada kemenangan, yaitu: kemenangan Muslim yang berpuasa dalam melawan hawa nafsu, egositas, keserakahan, dan ketidakjujuran. Sebagai bulan jihad, Ramadhan harus dimaknai dengan menunjukkan prestasi kinerja dan kesalehan individual serta sosial. By Muhbib Abdul Wahab
Mungkin makna ini juga perlu direnungkan oleh umat agama lainnya, bahwa sebagai manusia kita harus bisa menang melawan hawa nafsu, egositas, keserakahan dan ketidakjujuran.
Bagaimana dengan keadaan masyarakat Indonesia sekarang, sudah menangkah dari hawa nafsu, egositas, keserakahan dan ketidakjujuran?
Mungkin hampir semua kita menemukan maraknya caci-maki dan pertikaian pasca Pilpres 2014 di media-media sosial atau bahkan melalui surat kabar/televisi. Bahkan sampai detik ini, caci-maki masih terus berlanjut. Masyarakat benar-benar menjadi komoditi politik dimana para Politikus menjadi pemain utamanya. Haters diciptakan untuk terus menghasut rakyat sehingga apa yang tidak benar pun dianggap SATU KEBENARAN mutlak, yang tidak percaya dianggap sebagai orang bodoh dan sesat.
Miris? Banget!
Sering saya berharap, Tuhan mendadak mengadakan satu mujizat massal, ketika bangun pagi hari, mendadak seluruh rakyat Indonesia terbuka pikirannya bahwa mereka sudah dijadikan alat politik, tercuci otaknya akan kebencian, dan terperdaya oleh tipuan semu berkedokkan agama.
Tapi saya tahu itu adalah angan-angan belaka. Harapan yang sangat mustahil terwujud. Karena saya justru melihat penyakit kebencian ini semakin memuncak. Banyak masyarakat kehilangan nalar akibat kebenciannya.
Contohnya, semakin HOAX satu berita, semakin banyak dishare, yang penting menjatuhkan nama orang yang sangat dibencinya. Judul “Ibu Negara RI kemana sementara Istri Presiden Turki menjenguk pengungsi Rohingya di Aceh”. Berhari-hari jutaan orang menshare berita ini dibumbui berbagai macam sumpah serapah. Walau sudah diingatkan bahwa itu berita HOAX, tapi banyak haters yang tutup mata dan tutup telinga akan kebenaran yang sesungguhnya. Kebencian benar-benar merasuk jiwa.
Ketika Menteri Jokowi diusir dari rumah Angeline, status orang banyak sekali yang menertawakan kebodohan Menteri tersebut. Pencitraan yang salah kaprah kata mereka. Seperti pemburu yang mendapatkan mangsa lemah tak berdaya, menteri tersebut habis menjadi bulan-bulanan masyarakat di sosial media. Selang seminggu kemudian, Angeline ditemukan tewas dan dikubur di belakang rumahnya. Masyarakat Indonesia sontak kaget akan kekejian yang dialami oleh Angeline. Dan…ada saja haters yang tetap menyalahkan kelemahan Jokowi atas kejadian yang dialami oleh Angeline.
Setali tiga uang, apapun yang dilakukan oleh AHOK seolah salah di mata haters (yang saya yakin mayoritas dari mereka justru bukan warga DKI). AHOK memperkarakan kasus dana siluman APBD, Ahok yang diserang sebagai pembohong. Ahok menggusur orang-orang yang tidak punya ijin tinggal di bantaran kali, Ahok habis dicaci maki, giliran Jakarta banjir, Ahok dibilang ga bisa mengatasi banjir. Belum lagi ormas-ormas yang mendemo Ahok untuk turun jadi gubernur karena dia berdarah etnis Tionghoa dan non muslim.
Dan masih banyak kejadian lain di Indonesia ini yang membuat masyarakat saling serang dan saling melemparkan kebenciannya.
Saya pribadi berpendapat, ada yang salah dengan rakyat kita. Secara tidak sadar, ciri khas rakyat Indonesia yang ramah mulai hilang, karena rakyat mau dijadikan alat politik. Rakyat mau dipecah belah. Kalau dulu yang memecah belah alah penjajah, sekarang yang memecah belah adalah orang Indonesia juga atas nama kekuasaan.
Semoga di bulan Ramadhan ini, seluruh rakyat Indonesia (baik yang muslim maupun yang non-muslim) bisa merenungkan dengan sungguh-sungguh makna dari Ramadhan itu sendiri.
Ramadhan adalah bulan yang sangat sarat makna yang kesemuanya bermuara kepada kemenangan, yaitu: kemenangan Muslim yang berpuasa dalam melawan hawa nafsu, egositas, keserakahan, dan ketidakjujuran. Sebagai bulan jihad, Ramadhan harus dimaknai dengan menunjukkan prestasi kinerja dan kesalehan individual serta sosial.
Akhir kata, saya pun turut berdoa di dalam hati saya “Ya Tuhan, mampukan aku untuk menang melawan hawa nafsu ku, egositas ku, keserakahan ku dan ketidakjujuran ku. Amin”
Salam,
JR
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H