Mohon tunggu...
Jari Pena
Jari Pena Mohon Tunggu... wirasastra -

kehidupan ini apapun ronanya sebenarnya hanya berujung pada satu muara yaitu : cinta,,

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Bromo

2 Januari 2014   15:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:14 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bromo seperti kalimat sakti untuk melempar diri ini ke lorong waktu, seperti dejavu, saya terlempar lewati semua kisah yang melihat frame waktu dalam satu bingkai. Dan lanskap yang maskulin sore itu menerima saya dengan muram. Bromo seperti lelaki perkasa yang makin menua dan makin mature. Diperah seperti apapun dengan atas nama pariwisata, dia tetap diam. Bromo seperti sebuah janji dan keterlanjuran, semarah apapun dia hanya bisa diam, bukan pasrah tapi bijak. Buat saya Bromo seperti halaman depan, ia telah merasuk dalam diri ini karena sebuah inisisasi kedewasaan, dan awal saya mengunjunginya ia masih seperti pemuda yang tampan. Lautan pasirnya yang hitam seperti lebatnya rambut, caldera raksasa yang dikelilingi hutan pinus dan hamparan ladang kentang laksana bahu yang tegap dan berotot. Ia menyatu menjadi satu badan yang teramat tampan.

Namun entahlah, seperti semua mahluk yang akan meluruh dalam genggaman waktu, Bromo hari ini memang masih seperti dulu, tampan namun makin menua. hutan pinus yang dulu mengelilinginya hari ini telah berganti dengan hutan beton, banyak hotel berdiri disana seolah tak bisa menampung keiinginan semua manusia untuk melihat wajah bromo yang makin eksotis. Pasir hitamnya yang dulu terlihat mengkilap hari ini seperti rambut yang pelan bergeser jadi abu-abu karena debu vulkanik yang beberapa waktu muntah seolah ini pertanda kalau ia marah atau memberi tanda kalau lanskap itu kini berubah dan ia tak menyenanginya.

Bromo dalam benak saya  yang tergambar saat ia masih dikelilingi hijaunya hutan pinus, keramahan penduduk Tengger, dan bunga edelweis yang bisa dilihat liar tumbuh bebas di padang savana, hari ini saya tak melihatnya lagi. Efek pariwisata memang seperti paradoks,,,entahlah keramahannya dulu,  kini menjadi sebuah kewajiban,,, bukan tulus (meskipun begitu saya masih bisa menemuinya kemarin), efek ekonomi membuat semua serba terukur, dan parameternya adalah rupiah. Satu hal yang salah adalah Bromo bukanlah kaldera, gunung batok dan lautan pasir. Bromo adalah kesatuan dari penduduk tengger, keaslian hutannya, dan ladang kentang yang bergaris dilihat dari kejauhan. Hal itu kemarin saya tak melihatnya lagi, ada yang hilang membuat Bromo tidak utuh lagi. Mestinya dalam jarak 1 km atau lebih, tidak boleh ada bangunan beton berdiri disana, disisakan hanya hutan  sebagai pintu masuk sebelum turun ke lautan pasir (camping ground tempat saya berkemah dulu entah kemana karena diatasnya berdiri bangunan hotel).

Apapun itu, saat kemarin kembali kesana, saya menangkap Bromo hanya diam, saya tahu itu hal yang bijak buatnya, dan saya yakin kelak waktu juga akan merubah keseimbangannya saat manusia berusaha untuk menggenggamnya dengan keras. Buat saya Bromo tetap hal yang indah dan tampan apapun ia hari ini

(terima kasih buat pak Tik yang telah menerima saya dirumahnya dengan keramahan yang luar biasa)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun