Pohon tua membuka mulutnya, setelah sebelumnya dia menatapku dengan tatapan sayu.
“Sudah berapa lama kamu berkenalan denganku?”
Dia tidak menjawab pertanyaanku. Aku menggumam.
“Sekitar enam tahun.”
“Bukan waktu yang lama bukan?”
Aku mengangguk, relatif, pikirku mencoba memahami arah pertanyaannya.
“Selama itu, sudah berapa banyak bintang yang kamu hitung?”
Baiklah, sebuah pertanyaan sulit. Aku sama sekali tidak ingat berapa banyak bintang yang aku hitung selama ini. Mungkin sudah jutaaan, atau bahkan mungkin sudah milyaran, aku tidak tahu pasti.
“Tentusaja, mana mungkin kamu ingat. Ada terlalu banyak bintang yang berserakan di atas sana. Aku yakin, pasti ada bintang yang telah kamu hitung berkali-kali karena kamu lupa pernah memasukkannya ke dalam hitunganmu. Seandainya bintang tersebut tahu, dia pasti akan menangis, itupun seandainya dia punya air mata.”
Pohon tua berhenti sejenak. Dia mengarahkan pandangannya ke langit malam.
“Itulah aku, salah satu dari milyaran bintang tersebut. Tidak peduli seindah apapun, seterang apapun, setua apapun, kalau banyak yang memilikiciri-ciri yang sama denganmu, kamu hanyalah sesuatu yang biasa walaupun bagi yang pertama kali melihatnya itu adalah sesuatu yang menakjubkan. Lalu, seiring perjalanan waktu, tidak akan ada yang peduli dan sadar jika kamu menghilang dari tempat kamu berada karena banyak yang bisa menggantikan tempatmu tersebut. Seperti aku, kalaupun aku mati, kamu pasti akan menemukan pohon yang lain untuk bersandar, ularpun tidak akan menangisi kematianku.”