Seorangdiri, aku sangat senang melihat langit malam yang dipenuhi benda-benda langit. Kakakku pernah bilang, kedipan cahaya bintang yang aku lihat saat ini, bisa saja merupakan pesan masa lalu darinya yang mungkin telah mati ribuan tahun yang lalu. Sebuah tanda yang mengatakan bahwa dirinya pernah ada, menjadi salah satu bagian dari milyaran bintang-bintang yang bertebaran di setiap sudut ruang alam semesta. Jika cuaca cerah dan awan beserta hujan tidak menghalangi, setiap malam aku pasti akan melakukan hal yang sama, berjalan pelan menuju puncak sebuah bukit kecil yang terletak di pinggiran kota, dan di pertengahan jalan, aku akan memisahkan diriku dari jalan yang biasa dilalui orang untuk sampai ke puncak bukit, menuju sisi lain bukit kecil yang di sana akan aku temui sebuah pohon besar yang berusia ratusan tahun.
Di hadapan pohon besar tersebut, aku biasanya menatapnya dari bawah ke atas, kemudian melepas sepatuku dan perlahan memanjat pohon besar tersebut dengan senter aku jepitkan di mulut.Aku hanya membutuhkan waktu sekitar 4 menit untuk sampai ke puncak tertinggi, dan turun sedikit menuju dahan yang cukup nyaman dan kuat untuk menyandarkan diriku yang kecil. Setelah itu, seperti biasa, aku mematikan senter yang aku bawa dan memasukkannya ke saku celanaku yang kusam, kemudian dengan tenang aku menatap langit, menghitung tiap-tiap bintang sebanyak yang aku bisa. Mengagumi keberadaan mereka yang telah lama ada sebelum keberadaanku. Kalau aku bosan menghitung bintang, aku akan menutup mataku, dan kemudian membiarkan diriku hanyut dalam kesunyian yang terkadang diselingi oleh suara-suara binatang malam yang sibuk mencari makan malamnya. Jika sudah seperti ini, aku lebih tertarik mendengarkan apa yang hewan-hewan malam lakukan.
Jangkrik jantan seringkali menyanyikan lagu-lagu cinta yang mereka persembahkan untuk para jangkrik betina yang sedang bercengkrama di sela-sela rerumputan. Hukum rimba berlaku di sini, para jangkrik betina secara insting lebih menyukai pejantan bersuara lantang dan berwibawa, sehingga jadilah nyanyian mereka terdengar seperti teriakan anak-anak muda generasi tawuran. Sebuah lagu cinta yang diselingi makian, akan selalu berakhir dengan pertemuran masal konyol yang seru untuk aku dengar di atas pohon ini.
Lain lagi dengan ular, dia lebih memilih untuk tetap berada di dalam sarangnya yang tepat berada di sisi lain pohon besar ini. Pada awalnya, aku terganggu dengan kehadirannya, tapi dia tidak melakukan apapun terhadapku selama enam tahun aku bersandar di pohon ini. Selama enam tahun tersebut, kami tidak terlalu banyak bicara seperti layaknya orang yang berada di rumah yang sama. Namun, aku bisa memahami itu, aku dan ular adalah makhluk yang lebih senang menyendiri daripada bersama dengan koloni yang hanya akan menimbulkan rasa ketidak nyamanan.
Selanjutnya, burung hantu adalah burung yang selalu aku lihat kehadirannya tepat di pohon yang berseberangan denganku. Dia selalu diam, tenang tanpa gerakan apapun selain menggerakkan kepalanya yang aneh, kemudian dengan sebuah gerakan kilat, dia menukik tajam mencengkram binatang kecil, seringkali tikus, dalam satu kali gerakan dan kemudian melahapnya dengan kejam di atas pohon. Setelah kenyang, dia akan bergerak pergi menuju tempat lain untuk mencari mangsa lain. Sehingga, aku sama sekali tidak pernah berbicara dengannya.
Satu-satunya yang rajin mengajakku bicara adalah pohon besar tua tempat aku bersandar ini. Dia bagaikan seorang kakek tua yang senang menceritakan kisah-kisahnya di masa muda dulu, selalu tertawa sepahit apapun cerita masa lalu yang dibawakannya. Dalam perbincangan tersebut, aku lebih banyak berada di pihak pendengar yang baik dan seringkali bosan. Seperti orangtua pada umumnya, dia senang sekali menceritakan hal yang sama berulang-ulang, dengan ekspresi yang sama, tidak peduli pendengarnya sudah mendengarkan hal tersebut berulangkali darinya. Namun, hari ini, dia membawakan sebuah cerita yang berbeda, sebuah pesan kematian.
“Besok aku akan mati,” katanya dengan nada yang pilu dan terdengar pahit.
Aku membuka mataku, dan menjauhkan punggungku dari tubuhnya dengan ekspresi terkejut. Ular yang sedari tadi terlihat tidur, ternyata masih memasang telinganya, dia membuka matanya dan mendesis kencang.
“Apa maksudmu orangtua?” si ular bertanya sembari mempermainkan lidahnya yang mengeluarkan desisan yang mengerikan. Dari desisan yang tidak biasa tersebut, aku bisa menduga dia kebingungan dengan ucapan rumah tempatnya tinggal. Setelah itu, dia mengalihkan pandangannya ke arahku. Pandangan kita menyiratkan hal yang sama.
“Ya, seperti yang aku bilang tadi”
Dia berhenti sejenak menarik nafas.
“Besok aku akan mati.”
Ular mendesis.
“Darimana kamu tahu takdirmu orangtua?”
“Aku baru saja terbangun dari mimpiku yang menggambarkan aku akan mati besok karena bunuh diri dengan dahan-dahanku yang tiba-tiba menjadi sebuah besi yang bergeririgi tajam,” ujarnya sendu dengan nada tidak bersemangat.
Ular tertawa, dan ini pertamakalinya aku tahu kalau pohon pun ternyata bisa bermimpi dan dia percaya mimpinya tersebut bisa menjadi nyata.
“Jangan bercanda!. Kamu hanyalah sebuah pohon, dan sebuah pohon tidak akan pernah bisa bunuh diri.”
Tentu saja, aku sepakat dengan apa yang dikatakan ular, bagaimana mungkin sebuah pohon bunuh diri jika untuk merontokkan kulitnya saja dia membutuhkan lumut dan cacing-cacing. Namun, si pohon tua tidak bergeming.
“Aku akan mati besok.”
Ular kembali mendesis dan beranjak kembali ke tempat tidurnya, menganggap kata-kata pohon tua tadi hanyalah igauan konyol yang keluar dari pohon yang sudah bosan hidup.
“Baiklah,” aku membuka percakapan yang sudah terhenti oleh kesunyian sekitar belasan menit lalu. Aku berniat mengacuhkan ucapan pohon tua sepertiapa yang ular lakukan. Tapi, rasa penasaran membuatku tidak tenang dengan kesunyian yang tidak biasa dari pohon tua yang biasanya cerewet dengan kisah-kisah yang telah dilaluinya.
“Apa yang membuatmu yakin nyawamu akan berakhir besok orangtua?.”
Pohon tua membuka mulutnya, setelah sebelumnya dia menatapku dengan tatapan sayu.
“Sudah berapa lama kamu berkenalan denganku?”
Dia tidak menjawab pertanyaanku. Aku menggumam.
“Sekitar enam tahun.”
“Bukan waktu yang lama bukan?”
Aku mengangguk, relatif, pikirku mencoba memahami arah pertanyaannya.
“Selama itu, sudah berapa banyak bintang yang kamu hitung?”
Baiklah, sebuah pertanyaan sulit. Aku sama sekali tidak ingat berapa banyak bintang yang aku hitung selama ini. Mungkin sudah jutaaan, atau bahkan mungkin sudah milyaran, aku tidak tahu pasti.
“Tentusaja, mana mungkin kamu ingat. Ada terlalu banyak bintang yang berserakan di atas sana. Aku yakin, pasti ada bintang yang telah kamu hitung berkali-kali karena kamu lupa pernah memasukkannya ke dalam hitunganmu. Seandainya bintang tersebut tahu, dia pasti akan menangis, itupun seandainya dia punya air mata.”
Pohon tua berhenti sejenak. Dia mengarahkan pandangannya ke langit malam.
“Itulah aku, salah satu dari milyaran bintang tersebut. Tidak peduli seindah apapun, seterang apapun, setua apapun, kalau banyak yang memilikiciri-ciri yang sama denganmu, kamu hanyalah sesuatu yang biasa walaupun bagi yang pertama kali melihatnya itu adalah sesuatu yang menakjubkan. Lalu, seiring perjalanan waktu, tidak akan ada yang peduli dan sadar jika kamu menghilang dari tempat kamu berada karena banyak yang bisa menggantikan tempatmu tersebut. Seperti aku, kalaupun aku mati, kamu pasti akan menemukan pohon yang lain untuk bersandar, ularpun tidak akan menangisi kematianku.”
Dia kemudian menunjuk satu titik besar yang tergantung di langit. Titik tersebut merupakan titik terindah yang bahkan karena keindahannya, beberapa orang melakukan pemujaan berlebihan padanya tanpa memperhatikan betapa banyaknya bopeng dan guratan kusam yang menjalar di seluruh bagian tubuhnya, orang-orang di tempatku memanggilnya bulan atau terkadang jika mereka sedang dibuai cinta, mereka memanggilnya dewi malam. Meskipun keindahan dan cahaya terangnya hanyalah pinjaman cahaya matahari, bintang-bintang pemilik cahaya yang berada di belakangnya terlihat tidak berarti apa-apa selain sebagai penghias keindahannya di atas langit. Seakan, bulanlah tokoh utama dalam panggung langit ciptaan tuhan. Sesuatu yang mungkin menimbulkan sedikit rasa iri di hati sesuatu yang bukan apa-apa.
Pohon tua mendesah, kemudian diam, hanyut dalam pikirannya. Aku mencerna perkataannya dengan seksama mencoba mencari komentar yang tepat. Tapi, meski tidak terungkapkan, aku mengerti dan memahami maksud perkataannya. Sesuatu yang wajar, akupun terkadang merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakannya. Hidup di tengah-tengah sekumpulan wajah yang sama namun tidak memiliki sesuatu yang bisa ditonjolkan, aku membuatmu terkadang membenci dirimu sendiri dan kemudian mulai menyalahkan keadaan. Tapi, apa yang bisa dilakukan selain menerimanya karena keadaan tersebut, terkadang adalah sesuatu yang tidak bisa diubah sekuat apapun mencoba mengubahnya.
“Aku mengerti orangtua. Tapi apa yang bisa kita lakukan. Itu adalah sesuatu yang seperti tidak bisa diubah bagaimanapun caranya.”
“Ya, aku tahu”
Pohon tua mengangguk.
“Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang ada di dalam hatiku saja sebelum aku mati besok pagi” katanya sendu.
“Sudahlah orangtua!”
Tiba-tibaterdengar teriakan ular yang sedari tadi aku yakin hanya pura-pura tidur dan ikut mendengarkan curahan hati pohon tua.
“jangan pernah keluarkan lagi kata-kata kamu akan mati besok itu. Lebih baik sekarang kamu menceritakan kisah masa lalumu seperti biasanya. Aku akan dengan senang hati mendengarkan untuk yang kesekian kalinya. Kamu tahu, apapun yang terjadi, dahan-dahanmu berubah menjadi besi bergerigi misalnya, jangan pernah mencoba mengarahkannya ke tubuhmu yang lebih kuat dari baja itu. Jangan sampai sebuah pohon yang telah berulang kali selamat dan bertahan hidup dari berbagai macam angin topan ganas, mati konyol melalui dahannya sendiri. Tapi, jangan lupa apa yang aku katakan tadi. Dahanmu tidak kan pernah bisa berubah menjadi besi bergerigi”
Pohon tua besar diam, mencoba menyerap kata-kata ular yang membujuknya untuk menghapuskan pikiran konyol yang berasal dari mimpinya, kemudian berkata pelan.
“Aku akan mati besok”
Ular mendesis keras kemudian meletakkan kepalanya diatas lingkaran tubuhnya seperti semula. Sepertinya dia sudah tidak peduli lagi dengan segala macam ocehan orangtua yang dianggapnya sebagai omong kosong. Aku mengalihkan pandanganku ke arah si pohon tua, dia mengacuhkan kata-kata ular. Dia menutup matanya kemudian menghirup udara yang ada di sekelilingnya perlahan-lahan. Seakan-akan dia ingin menikmati setiap detik yang tersisa dari hidupnya yang diyakininya akan berakhir besok, melalui dahan-dahannya yang tiba-tiba saja berubah menjadi besi tangan bergerigi. Aku tidak berniat mengganggunya. Jadi, aku kembali bersandar ke badannya dan menatap langit kemudian menghitung bintang hingga sekitar satu jam kemudian aku pamit pulang. Pohon tua mencoba menahan tangisnya dan mengucapkankata-kata perpisahan kepadaku yang telah menemaninya selama lebih dari enam tahun.
“Ya, terimakasih banyak atas sandaran yang kamu berikan selama enam tahunini pohon tua. Aku sangat senang bisa bersahabat denganmu.”
pohon tua kembali menangis keras, dan kemudian mengecilkan suaranya karena takut akan membangunkan ular yang sedang tertidur nyenyak.
“Sampai jumpa di alam sana teman”
Aku mengangguk kemudian berjalan pulang.
***
Pagi-paginya aku terbangun mendengar suara kerumunan orang yang berjalan santai di jalan depan rumahku. Cepat aku bangun dari kasur dan berjalan menuju jendela yang mengarah ke jalan tersebut. Di sana, aku melihat belasan laki-laki bertubuh kekar dengan tawa yang keras muncul di sela-sela percakapan dan langkah kaki mereka. Aku bisa melihat jelas setengah di antara mereka membawa mesin berukuran sedang dengan besi bergerigi yang sepertinya baru saja diasah. Mereka berjalan pelan menuju bukit kecil pinggiran kota. Setelah mereka berlalu, aku berjalan pelan menuju ke tempat tidurku dan sedetik kemudian kembali tertidur lelap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H