Mohon tunggu...
Cerpen

Cerpen/ Mimpi Pohon Tua /

5 Agustus 2016   07:52 Diperbarui: 5 Agustus 2016   08:16 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ular mendesis keras kemudian meletakkan kepalanya diatas lingkaran tubuhnya seperti semula. Sepertinya dia sudah tidak peduli lagi dengan segala macam ocehan orangtua yang dianggapnya sebagai omong kosong. Aku mengalihkan pandanganku ke arah si pohon tua, dia mengacuhkan kata-kata ular. Dia menutup matanya kemudian menghirup udara yang ada di sekelilingnya perlahan-lahan. Seakan-akan dia ingin menikmati setiap detik yang tersisa dari hidupnya yang diyakininya akan berakhir besok, melalui dahan-dahannya yang tiba-tiba saja berubah menjadi besi tangan bergerigi. Aku tidak berniat mengganggunya. Jadi, aku kembali bersandar ke badannya dan menatap langit kemudian menghitung bintang hingga sekitar satu jam kemudian aku pamit pulang. Pohon tua mencoba menahan tangisnya dan mengucapkankata-kata perpisahan kepadaku yang telah menemaninya selama lebih dari enam tahun.

“Ya, terimakasih banyak atas sandaran yang kamu berikan selama enam tahunini pohon tua. Aku sangat senang bisa bersahabat denganmu.”

pohon tua kembali menangis keras, dan kemudian mengecilkan suaranya karena takut akan membangunkan ular yang sedang tertidur nyenyak.

“Sampai jumpa di alam sana teman”

Aku mengangguk kemudian berjalan pulang.

***

Pagi-paginya aku terbangun mendengar suara kerumunan orang yang berjalan santai di jalan depan rumahku. Cepat aku bangun dari kasur dan berjalan menuju jendela yang mengarah ke jalan tersebut. Di sana, aku melihat belasan laki-laki bertubuh kekar dengan tawa yang keras muncul di sela-sela percakapan dan langkah kaki mereka. Aku bisa melihat jelas setengah di antara mereka membawa mesin berukuran sedang dengan besi bergerigi yang sepertinya baru saja diasah. Mereka berjalan pelan menuju bukit kecil pinggiran kota. Setelah mereka berlalu, aku berjalan pelan menuju ke tempat tidurku dan sedetik kemudian kembali tertidur lelap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun