Mohon tunggu...
Cerpen

Cerpen/ Mimpi Pohon Tua /

5 Agustus 2016   07:52 Diperbarui: 5 Agustus 2016   08:16 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorangdiri, aku sangat senang melihat langit malam yang dipenuhi benda-benda langit. Kakakku pernah bilang, kedipan cahaya bintang yang aku lihat saat ini, bisa saja merupakan pesan masa lalu darinya yang mungkin telah mati ribuan tahun yang lalu. Sebuah tanda yang mengatakan bahwa dirinya pernah ada, menjadi salah satu bagian dari milyaran bintang-bintang yang bertebaran di setiap sudut ruang alam semesta. Jika cuaca cerah dan awan beserta hujan tidak menghalangi, setiap malam aku pasti akan melakukan hal yang sama, berjalan pelan menuju puncak sebuah bukit kecil yang terletak di pinggiran kota, dan di pertengahan jalan, aku akan memisahkan diriku dari jalan yang biasa dilalui orang untuk sampai ke puncak bukit, menuju sisi lain bukit kecil yang di sana akan aku temui sebuah pohon besar yang berusia ratusan tahun. 

Di hadapan pohon besar tersebut, aku biasanya menatapnya dari bawah ke atas, kemudian melepas sepatuku dan perlahan memanjat pohon besar tersebut dengan senter aku jepitkan di mulut.Aku hanya membutuhkan waktu sekitar 4 menit untuk sampai ke puncak tertinggi, dan turun sedikit menuju dahan yang cukup nyaman dan kuat untuk menyandarkan diriku yang kecil. Setelah itu, seperti biasa, aku mematikan senter yang aku bawa dan memasukkannya ke saku celanaku yang kusam, kemudian dengan tenang aku menatap langit, menghitung tiap-tiap bintang sebanyak yang aku bisa. Mengagumi keberadaan mereka yang telah lama ada sebelum keberadaanku. Kalau aku bosan menghitung bintang, aku akan menutup mataku, dan kemudian membiarkan diriku hanyut dalam kesunyian yang terkadang diselingi oleh suara-suara binatang malam yang sibuk mencari makan malamnya. Jika sudah seperti ini, aku lebih tertarik mendengarkan apa yang hewan-hewan malam lakukan.

Jangkrik jantan seringkali menyanyikan lagu-lagu cinta yang mereka persembahkan untuk para jangkrik betina yang sedang bercengkrama di sela-sela rerumputan. Hukum rimba berlaku di sini, para jangkrik betina secara insting lebih menyukai pejantan bersuara lantang dan berwibawa, sehingga jadilah nyanyian mereka terdengar seperti teriakan anak-anak muda generasi tawuran. Sebuah lagu cinta yang diselingi makian, akan selalu berakhir dengan pertemuran masal konyol yang seru untuk aku  dengar di atas pohon ini.

Lain lagi dengan ular, dia lebih memilih untuk tetap berada di dalam sarangnya yang tepat berada di sisi lain pohon besar ini. Pada awalnya, aku terganggu dengan kehadirannya, tapi dia tidak melakukan apapun terhadapku selama enam tahun aku bersandar di pohon ini. Selama enam tahun tersebut, kami tidak terlalu banyak bicara seperti layaknya orang yang berada di rumah yang sama. Namun,  aku bisa memahami itu, aku dan ular adalah makhluk yang lebih senang menyendiri daripada bersama dengan koloni yang hanya akan menimbulkan rasa ketidak nyamanan. 

Selanjutnya, burung hantu adalah burung yang selalu aku lihat kehadirannya tepat di pohon  yang berseberangan denganku. Dia selalu diam, tenang tanpa gerakan apapun selain menggerakkan kepalanya yang aneh, kemudian dengan sebuah gerakan kilat, dia menukik tajam mencengkram binatang kecil, seringkali tikus, dalam satu kali gerakan dan kemudian melahapnya dengan kejam di atas pohon. Setelah kenyang, dia akan bergerak pergi menuju tempat lain untuk mencari mangsa lain. Sehingga, aku sama sekali tidak pernah berbicara dengannya. 

Satu-satunya yang rajin mengajakku bicara adalah pohon besar tua tempat aku bersandar ini. Dia bagaikan seorang kakek tua yang senang menceritakan kisah-kisahnya di masa muda dulu, selalu tertawa sepahit apapun cerita masa lalu yang dibawakannya. Dalam perbincangan tersebut, aku lebih banyak berada di pihak pendengar yang baik dan seringkali bosan. Seperti orangtua pada umumnya, dia senang sekali menceritakan hal yang sama berulang-ulang, dengan ekspresi yang sama, tidak peduli pendengarnya sudah mendengarkan hal tersebut berulangkali darinya. Namun, hari ini, dia membawakan sebuah cerita yang berbeda, sebuah pesan kematian.

“Besok aku akan mati,” katanya dengan nada yang pilu dan terdengar pahit. 

Aku membuka mataku, dan menjauhkan punggungku dari tubuhnya dengan ekspresi terkejut. Ular yang sedari tadi terlihat tidur, ternyata masih memasang telinganya, dia membuka matanya dan mendesis kencang.

“Apa maksudmu orangtua?” si ular bertanya sembari mempermainkan lidahnya yang mengeluarkan desisan yang mengerikan. Dari desisan yang tidak biasa tersebut, aku bisa menduga dia kebingungan dengan ucapan rumah tempatnya tinggal. Setelah itu, dia mengalihkan pandangannya ke arahku. Pandangan kita menyiratkan hal yang sama.

“Ya, seperti yang aku bilang tadi”

Dia berhenti sejenak menarik nafas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun