Mohon tunggu...
miko sujatmiko
miko sujatmiko Mohon Tunggu... -

diam itu bukan pilihan lihat ombak,,,,

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ku Muntahkan Lagi

24 Februari 2010   13:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:45 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sisa-sisa kata yang begitu kuat memaksaku untuk memuntahkan kembali setelah beberapa kali aku melakukannya. Awal yang tak jelas dengan telapak tanpa alas dan akhir yang tanpa dugaan walau sekecil dzarroh. Apa lagi isi yang tak pernah terbesit sesaatpun. Ia bagai burung yang telah lama terkukung dalam sangkar kemudian ada kesempaan yang sekian lama dinantikannya, bagai air yang setia dengan lilitan kedua tepinya, tak tahu kapan ia mesti melaju dan kapan mesti berhenti sesaat menunggu kawan-kawannya dari arah punggungnya.

Liar. Itu yang membuat ia tetap bertahan. Kokoh bagai gunung, dinamis seperti gerak ombak yang tak mengenal lelah. Terlihat indah di mata, sejuk di rasa, semua terpesona ketika mengenalnya. Ditambah pula keramahan yang terwakili oleh angin laut menaklukkan setiap hati hingga benar-benar mengerti hati. Itu sebabnya ia selalu ada di hati setiap pecinta.

Ini adalah kerinduan jari-jemariku, kegelisahan batu di dadaku, keheningan diantara kegersangan pulau-pulau yang telah asing dari tanda-tanda kehidupannya karena ulah aristokrasi keblinger yang sarat dengan kata nurani dan tak pernah mencoba mengenali kata hati. Seiring mereka berdiri di podium resmi dengan ribuan pengunjung yang setia dengan tepuk tangan massal. Dimana ribuan kata gema sistemik dengan trible dan bass kekinian pada alat yang didatangkan dengan ongkos jeritan berlumpur air mata mematikan rasa. Itulah sesungguhnya seperti pelangi tak tahu warnanya atau seperti gajah yang tak mengenal telalainya.

"Hallo, apa kabarmu?", sapaanku pada keheningan sebagai lambang pelepasan kerinduan yang sekian lama terpendam. Lalu ku teruskan cumbuan-cumbuan kecil yang ku mulai dari sentuhan lembut kedua bibirku pada keningnya. Meski tak ku temukan ada bekas kecupan yang sempat ku tulis beberapa tahun silam, namun dalam kesunyian ini ku mulai lagi kemesraan yang pernah ku sulam dengannya dulu. Tak ku hiraukan bintang dan bulan mengintip dari sela-sela dinding kamar dari anyaman belahan-belahan bambu yang sangat nampak usianya melebihi diriku.

Suara-suara hiruk pikuk malampun hilang pelan-pelan seiring ku belajar mengenali lagi dirinya, berlahan ku sentuh jasadnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Seakan semua telah terlewati oleh tanganku yang kaku ini, namun rasa tak percaya lebih dominan di benakku. Ku coba untuk mengelak tapi tak bisa. "Mungkinkah dia adalah dirinya yang pernah bersenggama denganku dulu", besit lirih hatiku.

Ia rubah model rambutnya, yang pernah ku rasa ketika ia urai dengan kepedean tanpa perasaan bersalah lalu aku sambut dengan belaian penuh hati-hati melengkapi keindahan yang dianugerahkan oleh-Nya saat itu. Gaun yang ia kenakan dalam kelambu di malam yang sampai kini sulit mengabur dari bingkai benakku, itupun telah ia ganti dengan yang lebih sempit dan instan hanya karena iklan dan momen belanja dengan teman.

Belum usai kerinduan yang ku rasa, kerumunan pertanyaan hinggap tepat, bidik dadaku. Debaranpun bertambah kencang. Bukan orgasme dari percintaanku, melainkan karena cahaya warna-warni dari sela-sela dinding bambu menyilaukan mataku. Ku namai itu over cahaya hingga mengagalkan mataku menangkap rupa apapun itu di depanku. Kau renggut dengan paksa penglihatanku dan aku tagih hari ini untuk kau kembalikan lagi, demi waktu. Ku tak sabar menunggu hisab dimulai oleh-Nya untuk ku. (miko)

*********
Sangat diharapkan saran dan kritik isi atau hal-hal lain disetiap postingan di blog ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun