Mohon tunggu...
Willy Teniwut
Willy Teniwut Mohon Tunggu... Dosen - Penulis wannabe penulis

Enjoying the ride

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Strategi Mirroring capres "US-Indonesia"

31 Januari 2019   10:39 Diperbarui: 1 Februari 2019   10:48 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di tahun 2016, terjadi kejutan di negeri Paman Sam dimana Mr Trump (DJT) yang tidak diunggulkan dibandingkan calon dari Partai Demokrat Hillary Rodham Clinton (HRC) terpilih menjadi presiden US. Jalan menuju terpilihnya sosok kontrovesial ini melewati banyak riak politik dan hukum yang cukup menggegarkan yang semuanya menyerang established kandidat yang juga merupakan mantan First Lady dan Secretary of State. Mulai dari kasus Benghazi, kasus Bill Clinton dan para wanita, kasus email, hingga pembangunan naratif bahwa HRC merupakan calon yang sangat korup yang dekat dengan Wall Street. 

Strategi ini bisa dikatakan berhasil semuanya mengantarkan DJT menjadi presiden. Sistem pemilihan Presiden di US sedikti berbeda dengan sistem pemilihan di Indonesia, HRC sebenarnya mendapatkan suara terbanyak dibandingkan DJT tetapi karena DJT memenangkan states dengan nilai electoral vote yang lebih banyak terutama pada swing state seperti Ohio, Florida dan Pennsylvania sehingga thresshold 270 tercapai dan mengantar DJT menjadi presiden US. 

 Selain negatif campaign oleh DJT, tim DJT juga berhasil mendapatkan perhatian pemilih dengan dengan tepat topik yang yang sangat menjadi perhatian US pada saat ini, seperti ekonomi, dengan memposisikan dirinya sebagai pebisnis yang sukses di US maka DJT menjanjikan "winning" yang akan non-stop didapatkan, dan selalu menekankan kalau hanya DJT yang menyelesaikan. 

Pesan ini akan sangat suprior jika dibandingkan dengan profil HRC yang sudah lama ada didalam pemerintahan dan lebih dikenal sebegai politisi karena juga pernah menjadi Senator perwakilan dari negara bagian New York. 

Pesan utama dari DJT adalah selalu membuat komentar yang bombastis seperti, US sudah kacau dan akan semakin kacau dengan ancaman imigran dari Mexico dan negara Arab sehingga US harus fokus pada US sendiri dan tidak perlu membantu negara lain selain US dan satu-satunya yang dapat menyelesaikan dan membawa US dari kekacauan ini adalah DJT, selain tidak lupa untuk mengingatkan US akan bubar dan hancur jika HRC terpilih yang memiliki banyak koneksi dan pengalaman di birokrasi dan politik US yang merupakan bagian dari swamp koruptor yang menurut DJT harus di keringkan. 

Kembali waktu sebelum pemilihan, pada satu bulan sebelum pemilihan DJT juga diserang dengan adanya Dosier yang menyebutkan adanya koneksi dari tim kampanye DJT dengan Rusia untuk membantu DJT terpilih menjadi presiden US. 

Selain itu juga DJT tidak memberikan tax return miliknya dan juga ada rekaman yang menyebutkan betapa perilaku buruk DJT pada wanita termasuk hubungannya dengan bintang porno, selingkuh dan perilaku asusila lainnya. Tetapi semua intrik ini tidak menghambat DJT terpilih menjadi presiden US.

 Hal ini bisa disebabkan oleh sistem dwi partai di US yang hanya terdiri dari Demokrat (liberal) dan Republik (GOP-konservatif) sehingga pemilih Republik tidak akan memilih calon Demokrat dan sebaliknya. Sehingga modal setiap calon sudah sekitar 30-35% suara dan sisanya adalah independent. 

Sehingga DJT akan dengan mudah memenangkan pertarungan ketika DJT dapat memenangkan independent dengan memposisikan HRC sebagai sosok koruptor yang tidak kompeten yang akan membawa US ke arah kehancuran dan Startegi ini berhasil. 

Dengan demikian sebagai summary, strategi utama DJT adalah memberikan keyakinan pada rakyat bahwa negara US akan hancur, dan yang dapat menyelesaikannya masalah di US hanya DJT. Selain itu juga DJT selalu berfokus untuk menjaga basenya yang cenderung lebih jauh ke extreme right wing GOP yang berfokus ke US only and the one, dengan mendukung adanya rasis (white supremacy), anti-agama tertentu, anti-pemimpin wanita, warna kulit, imigran dan tembok perbatasan dan isu-isu yang populis di base DJT yang sekitar 30-32% ini. Kombinasi ini tidak hanya memastikan DJT menjadi minimal 32% suara juga membuat HRC terpuruk pada akhir garis finish. Intrik politik seperti penyeledikan FBI pada kasus email yang dilakukan pada beberapa minggu sebelum pemelihan dan serangan sosial media pada berita hoax di FB dan Twitter membuat HRC semakin terjungkal. Hal yang semakin menyakitkan adalah dosier yang menyebutkan tim DJT berhubungan dengan Rusia dan wikileaks adalah benar setelah 2 tahun berjalannya pemerintahan DJT yang pada waktu itu di tolak mentah-mentah oleh pihak DJT dan selalu menyerang kasus email HRC yang ternyata tidak signifikan. 

Perkiraan awal bahwa setelah terpilh nanti DJT tidak akan rasis, bohong, dan lebih fokus pada bisnis dan keluarganya sendiri akhirnya pada kenyataannya terbukti tidak benar dan DJT tetap pada pesannya sebelum pemilihan. 

Hal ini karena DJT tetap ingin menjaga base yang 32% tadi. Report dari salah satu koran top di US bahwa selama dua tahun pemerintahannya DJT sudah berbohong lebih dari 3000 kali secara publik, termasuk diantaranya pada jumlah suara yang diperoleh, jumlah penonton inagurasinya, imigran dan jumlah tax cut. 

Bayangkan jika ini terjadi di Indonesia dimana presiden berbohong secara publik 3000 kali dan tidak mau mempublikasikan laporan pajaknya? Tetapi karena sisten konstitusional US sudah sangat baik sehingga meskipun DJT menimbulkan riak yang cukup signifikan memimpin negara dan dalam hubungannya dengan negara lain tetapi DJT tidak akan di bypass untuk di turunkan secara tidak konstitusional. 

Kembali ke Indonesia, saat ini sangat terlihat sekali ada salah satu calon yang mungkin tidak sadar menggunakan strategi pesan kampanye yang sama seperti DJT. Seperti membuat pesan Indonesia akan hancur, Indonesia akan bubar dan makanan Indonesia lebih mahal dibanding di Singapura misalnya. Pesan-pesan politik yang sangat kontorversi yang lebih fokus untuk membuat pemilih tidak nyaman pada kondisi sekarang dan menurunkan elektabilitas petahana. 

Selain itu, pesan yang dibangun oleh salah satu capres sekarang adalah fokus ke Indonesia dan hanya Indonesia seperti stop impor, tidak perlu hutang dan lainnya. Salah satu tim ini juga mendekatkan diri pada pihak "extreme right-wing"  atau lebih ke arah sebaliknya extreme right wing yang medekatkan diri mereka pada salah satu calon ini. 

Cara ini sebenarnya berhasil pada pilkada Jakarta, yang sangat efektif untuk disebarkan dengan menggunakan sosial media dan juga dengan cakupan yang lebih kecil dibanding wilayah NKRI secara umum. 

Untungnya karena salah satu cawapres adalah pemimpin agama sehingga permainan isu agama menjadi sedikti ditekan meskipun tetap beredar di sosial media dan dilapangan. Berbeda dengan US dimana peran wapres tidak menentukan pemilih, di Indonesia peran wapres dapat menentukan sehingga kedua capres mengambil peluang ini, dengan memilih cawapres yang dapat meningkatkan perolehan suara. Kedua capres memberikan kentungan yang berbeda. Pemuka agama tentu saja akan membantu menurunkan isu agama yang digunakan di pilkada Jakarta dan meningkatkan pemilih di Pulau Jawa, sedang cawapres pebisnis dan muda akan dengan mudah menjual isu ekonomi dan pemilih mileneal yang juga kombinasi strategi DJT dan Bernie Sanders (penantang HRC pada primary partai demokrat di US). 

Penggunaan sosial media yang menjadi senjata utama di US bagi DJT dan kemampuannya dalam meramu headline membuat sedikit sulit bagi kedua capres di Indonesia untuk mengikuti tanpa meninggalkan budaya-budaya ketimuran. Meskipun pada akhir tahun 2018 sudah dicoba dilakukan salah satu capres dengan memberikan komentar yang cukup menangkap perhatian media. Usaha dalam melegitimasi penyelanggara pemilu juga dilakukan oleh DJT dan juga dilakukan di kampanye Indonesia (red- Suara di konntainer). Memainkan isu hukum seperti seperti DJT pada kasus email HRC juga dimainkan pada masa kampanye ini dengan kasus salah satu penyidik KPK.

Semua strategi ini adalah benar selama bukan kampanye hitam. Kampanye negatif dan positif merupakan hal yang sangat wajar dalam kampanye. Hoax dan melanggar hukum yang tidak boleh. 

Dengan waktu pilpres yang kurang-lebih 3 bulan lagi membuat semakin menarik apakah strategi DJT: "divide and conquer dengan kombinasi" dapat berhasil mengalahkan petahana dan apakah ketika setelah menjadi presiden tidak seperti DJT, atau strategi ini tidak berhasil di Indonesia. Mari kita lihat pada tanggal 17 April 2019 nanti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun