Mohon tunggu...
Jarang Makan
Jarang Makan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penggemar content manajemen, pengembangan diri, dan fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Cinta yang Terpendam

8 Januari 2025   07:49 Diperbarui: 8 Januari 2025   07:49 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aroma melati dengan keharuman yang pekat menyapa Kamelia di gazebo taman itu. Keharuman itu seakan menjadi pengingat abadi akan cinta yang tak tergapai, yang bersemi dalam hatinya. Senja menyapa, langit bermandikan jingga dan ungu, namun matanya tertuju pada sesosok rumah di seberang jalan, sebuah bangunan minimalis yang terendam dalam cahaya keemasan mentari senja.

Di sanalah Hirza tinggal, pria yang telah menawan hatinya dengan senyum lembut dan mata yang berbinar. Dia adalah segalanya yang Kamelia impikan: baik hati, cerdas, dan memiliki karisma yang memikatnya selayaknya ngengat terhadap api. Namun, Hirza telah memiliki istri, hidupnya terjalin erat dengan wanita lain, wanita yang Kamelia tahu, sama cantik dan memikatnya seperti Hirza sendiri.

Pertemuan itu terjadi secara tak terduga, sebuah kecintaan bersama pada buku yang mempertemukan mereka. Dua sosok itu menghabiskan waktu berjam-jam berdiskusi tentang buku, percakapan mengalir tanpa henti, tawa mereka bergema di antara rak-rak di dalam toko buku di suatu sudut kota. Kamelia, seorang penulis muda, menemukan dirinya terpesona oleh observasi Hirza yang tajam dan ketertarikannya yang tulus pada karyanya. Dia adalah jiwa yang sefrekuensi, sebuah mercusuar di tengah kehidupannya yang biasa-biasa saja.

"Kau tahu, Kamelia," ujar Hirza suatu sore, matanya berbinar saat dia menatapnya, "Kisahmu tentang gadis yang melarikan diri ke hutan itu sangat memikat. Aku bisa merasakan kesedihannya, keinginannya untuk bebas."

Jantung Kamelia berdebar kencang. "Terima kasih," jawabnya, berusaha agar suaranya terdengar tenang. "Aku mencoba untuk menangkap perasaan itu, rasa terkekang dan keinginan untuk menemukan sesuatu yang lebih."

"Kau berhasil," kata Hirza, senyumnya membuat kesadaran Kamelia sedikit terenggut. "Kau memiliki bakat yang luar biasa, Kamelia. Jangan pernah meragukannya."

Kata-kata Hirza, yang terucap dengan tulus, membuat Kamelia merasa seperti terbang. Namun, kebahagiaan itu selalu diiringi rasa pahit, karena dia tahu bahwa dia tak akan pernah bisa berbagi lebih dari sekadar kata-kata dengan Hirza.

"Aku ingin kau membaca ceritaku yang baru," kata Kamelia suatu hari, saat mereka bertemu di toko buku. "Aku harap kau akan menyukainya."

"Tentu saja," jawab Hirza, senyumnya membuat hati Kamelia meleleh. "Aku selalu tertarik dengan karyamu, Kamelia."

Kamelia menyerahkan manuskripnya pada Hirza, hatinya berdebar-debar. Dia telah mencurahkan seluruh perasaannya ke dalam cerita itu, sebuah kisah tentang cinta yang tak terbalas, tentang pengorbanan diam yang dilakukan untuk orang yang dicintai.

"Aku akan membacanya segera," janji Hirza, matanya menatapnya dengan penuh perhatian. "Aku tak sabar ingin cepat-cepat meresapi apa yang kau tulis kali ini."

Kamelia hanya bisa mengangguk, hatinya dipenuhi harapan dan ketakutan. Dia tahu bahwa Hirza tak akan pernah tahu bahwa cerita itu adalah cerminan dari perasaannya sendiri.

Minggu berganti bulan, manuskrip Kamelia tumbuh, setiap halaman menjadi bukti cintanya yang tak terungkap. Dia seringkali menemukan dirinya menatap rumah di seberang taman itu, hatinya dipenuhi kaleidoskop emosi. Dia mencintai Hirza, dia tahu, tetapi dia juga tahu bahwa cintanya adalah rahasia, sebuah harta yang akan selamanya dia simpan rapat-rapat di dalam hatinya.

Suatu sore, saat dia duduk di gazebo, menyaksikan matahari terbenam, sosok familiar muncul dari rumah di seberang jalan. Itu adalah Hirza, sebuah buku di tangannya, langkah kakinya ringan dan riang. Dia berjalan menuju taman, siluetnya menjadi pengingat menyayat hati akan keinginan-keinginan yang tak terpenuhi.

Saat Hirza duduk di bangku, tenggelam dalam halaman bukunya, Kamelia merasakan dorongan tiba-tiba untuk mendekatinya, untuk mengatakan kepadanya apa yang dia rasakan. Namun kata-kata itu mati di bibirnya, ditelan oleh beban cintanya yang tak terungkap.

Kamelia memperhatikannya untuk waktu yang lama, hatinya sakit karena cinta yang tak akan pernah bisa menjadi miliknya. Kemudian, dengan napas berat, dia berbalik, matanya tertuju pada matahari terbenam,, cahaya keemasannya memantul di matanya yang berlinang air mata.

Keesokan harinya, Kamelia menerima kabar dari penerbit, sebuah surat yang mengubah hidupnya. Manuskripnya, kisah tentang cintanya yang tak terungkap, telah diterima. Penerbit memuji kejujurannya, kerapuhannya, dan emosinya yang terpampang telanjang bergema di seluruh bagian cerita.

Kamelia sangat gembira, hatinya dipenuhi rasa pencapaian. Namun, ada juga rasa sedih yang pahit, sebuah pengingat akan cinta yang tak bisa dia miliki.

Saat Kamelia duduk di taman merancang balasan untuk penerbit, dia melihat ke seberang jalan, pandangannya jatuh pada rumah tempat Hirza tinggal. Hirza berdiri di balkon, menatap barisan awan di langit, wajahnya samar-samar terukir gurat-gurat persoalan yang ia hadapi.

Pada saat itu, Kamelia menyadari bahwa cintanya pada Hirza, meskipun tak terbalas, telah memberinya kekuatan untuk menciptakan sesuatu yang indah, sesuatu yang akan menyentuh hati orang lain. Itu adalah cinta yang telah bersemi dalam diam, tetapi pada akhirnya telah memberinya kepuasan yang selalu dia cari.

Dia tersenyum, senyum pahit yang mengandung beban cintanya yang tak terungkap, cinta yang akan selamanya menjadi rahasia, sebuah simfoni bisu yang dimainkan di dalam hati seorang gadis yang mencintai pria yang tak bisa dia miliki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun