Mohon tunggu...
Jarang Makan
Jarang Makan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penggemar content manajemen, pengembangan diri, dan fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Meniti Jalanan Setapak 12

18 Desember 2024   07:37 Diperbarui: 24 Desember 2024   07:46 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Seiring kemunculan sang surya, tetes embun bergulir di atas daun dan jatuh ke tanah. Angin pagi menabuh dedaunan membisikkan desir kedamaian. Hawa pagi meniupkan semangat di sanubari para penduduk desa. Langkah-langkah mereka menggetarkan nadi kehidupan pagi.

Pasar Desa Turi Agung menggeliat lebih bersemangat dari biasanya. Selain pedagang yang biasa membuka lapak di situ, kali ini terdapat lebih banyak pedagang memamerkan barang-barangnya. Tidak hanya di dalam wilayah pasar, di bagian luar pasar banyak penjual telah bersiap sedia.

Di sisi pasar, di sebidang tanah lapang, beragam hasil bumi dan makanan tersusun rapi di wadahnya masing-masing. Seiring naiknya mentari, makanan itu bertambah sedikit demi sedikit. Beberapa perempuan sibuk mengatur kerapian makanan yang ada di situ. Sejumlah lelaki dengan badan kekar juga turut membantu mereka agar suasana tetap tertib. Terlihat pula beberapa sosok prajurit kerajaan semala berdiri di beberapa titik.

Di sela keramaian, Ki Ratmoko, Sogol, dan Murti terduduk menghadap beragam perkakas dari bambu. Widura, setelah membantu menggelar dagangan, berinisiatif mencari lapak Ki Purnomo, mungkin lebih tepatnya mencari Ratri. Sambil mengayun langkah santai, Widura menyusur barisan pedagang di luar wilayah pasar. Sambil mengamati beragam jenis dagangan, ia khusus mencari pedagang kain sambil berharap itu adalah Ki Purnomo.

Setelah menelusuri banyak lapak, Widura menemukan Ki Purnomo dan Ratri terduduk menunggui hamparan kain yang akan mereka jual. Widura lalu menyapa Ki Purnomo dan anak gadisnya. Widura dan Ratri pun kemudian bersepakat nanti saat adu ketangkasan akan dimulai, mereka akan bertemu lagi di lapak ayah Ratri.

Mentari telah benar-benar menyinari wajah bumi ketika selamatan desa dimulai. Sesudah ritual berakhir lapangan di sisi pasar akhirnya mulai diatur menjadi beberapa arena.

Widura, Sogol, dan Murti mendatangi Ratri dan kemudian berjalan bersama-sama menuju tanah lapang. Lahan itu dibagi menjadi arena adu ketangkasan untuk anak-anak dan dewasa. Di golongan anak-anak dibagi lagi menjadi dua, golongan pertama berusia 10 tahun ke atas hingga 12 tahun dan golongan lainnya berusia di atas 12 tahun hingga 15 tahun.

Sesudah memutari lapangan, Widura dan teman-temannya menemukan meja petugas pertunjukan dan lokasi untuk golongan anak-anak. Mereka segera mendaftarkan nama setelah bertanya-tanya. Petugas menjelaskan, pada setiap giliran tampil, petugas akan memilihkan lawan tanding secara acak berdasarkan postur tubuh peserta. Petugas akan memilihkan lawan yang berimbang kecuali bila memang tidak ada, maka peserta akan mendapat lawan yang masih tersisa.

Kali ini peserta golongan pertama menerima beberapa puluh peserta. Anak-anak ini berkumpul di dekat arena ketangkasan. Widura mengamati wajah dan perawakan sosok-sosok yang bakal jadi pesaingnya di arena, ada yang badannya relatif lebih besar, lebih tinggi, lebih kurus, dan lain-lain. Sekilas diamati lagi, terdapat peserta perempuan di antara mereka selain Ratri.

Dalam pada itu, datanglah tiga orang dewasa di tengah kerumunan dan salah satunya berkata lantang, "Anak-anak kelompok pertama ayo berbaris menghadap ke sini!" Ia menunjuk dirinya sendiri. "Dan kelompok kedua menghadap ke sana!" Ia menunjuk ke seorang rekannya di sisi lain.

Orang-orang dewasa yang termasuk tim penyelenggara ini mulai memasang-masangkan para peserta. Widura dan teman-teman lelakinya memiliki postur tubuh yang rata-rata, jadi mereka mudah mendapatkan pasangan yang nantinya akan jadi lawan mereka. Ratri pada putaran pertama ini mendapatkan lawan sesama perempuan. Namun salah satu peserta perempuan kebetulan mendapat lawan laki-laki, tapi secara postur tubuh pasangan ini relatif sama.

"Kalian jangan ke mana-mana ya! Bila tiga kali dipanggil kalian tidak maju ke arena, maka kalian dianggap kalah. Paham!" penyelenggara kembali berkata lantang.

"Paham!" para peserta menjawab serempak.

Widura, Sogol, Murti, dan Ratri kembali berkumpul.

"Bagaimana kesan pertama kalian setelah melihat lawan?" Widura membuka percakapan.

"Lawanku sepertinya anak desa sini. Mungkin kalau aku tampil nanti lawanku akan punya banyak pendukung yang menyemangatinya," Sogol berujar.

"Berarti kamu harus persiapan mental. Jangan sampai kamu grogi dahulu. Ingat perkataan guru kita," Widura menimpali. Sedangkan Murti dan Ratri memandangi Sogol sambil mengangguk memberi dukungan.

"Kalau aku, secara perawakan tubuh lawanku agak kecil dari aku, tapi gerakan kakinya terlihat lincah," Murti berkata kemudian.

"Berarti kamu harus waspada terhadap kelincahannya, dan jangan pandang remeh dia," ujar Widura.

Empat anak itu lalu berjalan mendekati salah satu sudut arena. Sebuah arena berbentuk kotak dengan garis batas di dalamnya. Para peserta yang lain dan para penonton juga mengelilingi arena pertunjukan adu ketangkasan. Di beberapa sudut kerumunan terlihat segerombolan peserta yang berpakaian seragam. Sepertinya mereka ini datang mewakili suatu padepokan silat.

Seorang penyelenggara lalu berdiri di tengah arena dan memanggil nama pasangan yang akan tampil. Dengan suara yang lantang ia mengumumkan aturan pertandingan.

"Peserta pertandingan harus memahami bahwa ini hanya sebuah pertandingan yang bertujuan saling berbagi pengalaman dan saling belajar ilmu bela diri. Jangan sampai pertandingan ini menimbulkan keributan yang tidak diperlukan. Peserta diberi kesempatan mengumpulkan tiga angka kemenangan dalam satu pertandingan. Peserta bisa mendapat nilai bila sanggup mengenai lawan dengan telak atau membuat lawan keluar batas arena. Penyelenggara akan memimpin setiap pertandingan dan memberi nilai."

Pengumuman berhenti sejenak sebelum akhirnya terdengar kembali, "Peserta yang sudah dipanggil silahkan menuju arena."

Tepuk tangan terdengar riuh. Para peserta melangkah menuju arena yang telah dipersiapkan. Para wasit juga mulai menempati posisinya masing-masing.

Di sebuah arena yang ditonton Widura dan teman-temannya, dua anak berperawakan cukup besar berdiri berhadapan. Di satu sisi adalah seorang anak yang mengenakan seragam hijau, dan di sisi lawannya adalah seorang anak yang berpakaian biasa. Setelah wasit meneriakkan aba-aba, dua peserta memulai gerakannya.

Langkah-langkah dua peserta sama-sama mantap. Tatapan mata mereka mengincar kesempatan menyerang. Setelah beberapa saat, tiba-tiba peserta berseragam melancarkan pukulan ke arah dada. Lawannya melakukan gerak bertahan melindungi dada sambil melangkah mundur. Karena serangannya gagal, peserta berseragam melangkah mundur dan menarik pukulannya.

Begitu peserta berseragam menarik langkahnya, lawannya langsung meloncat sambil melontarkan tendangan lurus menyamping ke arah perut. Wajah peserta berseragam terlihat terkejut. Ia tidak menyangka kalau lawannya melakukan serangan mendadak setelah menghindari serangannya. Tendangan peserta berpakaian biasa begitu deras melaju mengincar perut lawannya. Pontang-panting peserta berseragam membuang badannya ke belakang. Tangannya mencoba menutupi arah tendangan peserta berpakaian biasa sekenanya.

Tubuh peserta berseragam berguling menjauh. Walau tendangan peserta berpakaian biasa tidak telak menemui sasaran dan menghasilkan nilai, tangan peserta berseragam agak terasa ngilu akibat terkena tendangan. Karena jarak peserta berseragam agak jauh di luar jangkauan serangnya, peserta berpakaian biasa kembali bersikap siaga. Di sisi lain, peserta berseragam segera bangkit bersikap siaga kembali. Pakaiannya agak kotor terkena noda tanah setelah ia berguling menghindar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun