Widura dengan sikapnya yang masih kikuk berjalan mendekati kakak Ratri yang berdiri di tepian sungai. Melihat wajah si kakak yang menampilkan senyuman, membuat perasaan canggung Widura agak meluntur.
"Kakak, kami minta maaf. Itu tadi nggak sengaja," Widura berucap sopan pada si kakak.
"Iya, nggak apa-apa. Namanya juga nggak disengaja. Lagi pula kamu sudah membantu memunguti cucian yang terjatuh. Toh jatuhnya tidak ke tanah, tidak kotor lagi, hanya basah saja. Itu tinggal diperas lagi," jawab Kakak Ratri tenang.
"Terima kasih, Kakak," ucap Widura penuh penyesalan.
Kakak Ratri hanya mengangguk dan berbalik badan menyusul adiknya yang sudah berlalu terlebih dulu. Sejurus kemudian Widura berjalan menuju gerombolan anak laki-laki yang sementara menghentikan permainan.
"Teman-teman, aku mau istirahat sebentar. Kalian bila masih ingin melanjutkan permainan, silahkan saja," seru Widura kepada semua temannya.
Widura melintasi tepian sungai yang digunakan untuk lapangan permainan itu. Ia menuju tanggul sungai dan duduk di bawah naungan pohon yang ada di situ. Mengetahui apa yang dilakukan Widura, anak-anak yang lain saling berpandangan, beberapa di antara mereka ada pula yang menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal.
Tidak lama berselang, Eko berkata, "Kalau begitu aku juga istirahat sebentar, permainannya silahkan dilanjutkan." Dan segera Eko pun berjalan menuju tempat duduk Widura.
Permainan bola itu lalu berlanjut, dimulai dari titik bola meninggalkan lapangan permainan. Suara teriakan anak-anak pun kembali terdengar. Sementara Widura dan Eko mengamati permainan teman-teman mereka dari sisi tanggul sungai.
"Bagaimana? Kamu nggak menyangka yah, kalau anak perempuan itu sangat galak," ujar Eko sambil sedikit tersenyum karena masih teringat peristiwa barusan.
"Iya," ucap Widura sambil menyemburkan nafas panjang. "Aku kira aku hanya diomeli saja. Ternyata dia langsung main pukul dan tendang," jawab Widura kemudian dengan nada pasrah.