Di sisi permainan, tensi persaingan makin meninggi. Dua kelompok terus bersaing mengumpulkan angka. Saat satu kelompok mencetak keberhasilan, segera terdengar sorak-sorak kegembiraan. Sedangkan kelompok lainnya hanya bisa menundukkan kepala. Bahkan pada saat tertentu terlihat adegan saling menyalahkan. Tapi di saat berhasil mencetak angka, mereka yang sebelumnya saling menyalahkan sama-sama berjingkrak kegirangan.
Pada suatu saat, kelompok Eko sedang menguasai bola. Mereka sedang berusaha menerobos pertahanan kelompok Widura. Beberapa kali bola berpindah tangan dari satu anak ke anak yang lain. Eko yang saat itu berada di satu sisi lapangan permainan mengumpankan bola ke sisi lain, menargetkan kawannya yang berdiri bebas. Sedangkan Widura yang berdiri di jalur lintasan bola berusaha memotong arah bola itu, mencoba menghentikan alur serangan. Bola dari anyaman bambu itu gagal dikuasai Widura, hanya tersentuh ujung jarinya. Akibatnya arah bola sedikit berbelok. Bola meluncur ke arah sungai.
Di saat yang sama, dua sosok perempuan melintasi sungai akan menuju ke desa Pandan Asri. Mereka adalah Ratri, seorang anak perempuan seumuran Widura, dan kakak perempuannya. Rupanya setelah menyelesaikan cucian dan obrolan bersama para gadis yang lain di sisi desa Ngalam, mereka menuju ke tanggul sungai sisi seberang. Keduanya membawa keranjang yang berisi pakaian, Ratri membawa keranjang yang lebih kecil dan kakaknya membawa yang lebih besar.
Bola meluncur deras ke arah Ratri. Sementara Ratri membelakangi arah kedatangan bola.
"Awas bola!" teriak beberapa anak dan perempuan yang kebetulan memandang ke arah Ratri dan kakaknya.
Widura membeku melihat bola yang sepertinya akan menumbuk sasaran yang tidak semestinya tersebut. Tapi itu hanya sekejap, ia segera berlari ke arah dua perempuan itu.
Karena suara teriakan yang memenuhi lingkungan itu, Ratri dan kakaknya membalikkan badan. Tapi setelah berbalik badan, bola itu membentur tubuh Ratri. Bola itu sebetulnya ringan, tidak terlalu keras, dan lajunya sudah berkurang, tapi itu masih mengagetkan bagi Ratri. Tanpa sadar ia melangkah mundur dan membuatnya terpeleset. Keranjang cuciannya jatuh, isinya tumpah, dan Ratri jatuh terduduk membuat baju di sekujur tubuhnya basah.
Setelah terdengar suara jatuhnya tubuh ke dalam air, suara tawa lalu meledak. Entah itu dari kelompok anak laki-laki maupun dari kelompok para gadis, suara tawa itu terdengar riuh.
Adegan itu memang lucu. Bahkan kakak Ratri juga tidak bisa menahan senyum lebarnya.
Widura yang berlarian segera bersusah payah memunguti cucian Ratri yang kembali basah kuyub dan sempat terbawa aliran sungai. Setelah memasukkan cucian ke keranjang dan meletakkannya di sebongkah batu besar, Widura mendatangi Ratri. Tapi saat itu Ratri sudah berdiri dan matanya melotot ke arah datangnya Widura. Nafas Ratri memburu menahan ledakan emosinya. Memang di tubuh Ratri tidak ada yang terasa sakit, tapi yang terasa adalah malu karena jadi bahan tertawaan.
Widura jadi salah tingkah, ingin tertawa tapi takut. Adegan terjatuh tadi memang menggelikan. Tapi bagaimanapun, walau tidak ada kesengajaan, Widura sedikit punya andil di kejadian ini. Dengan senyuman tertahan dan tingkah polah serba salah, Widura mendatangi Ratri.