"Lalu apa kata paman prajurit selanjutnya?"
"Aku bisa jadi prajurit kalau aku pandai silat, jujur, dan baik."
"Laalu apa lagi?"
"Nggak ada. Aku langsung balik ikut lari-lari lagi sama kalian."
"Memang anak kecil boleh jadi prajurit?" tiba-tiba sepupu Widura yang usianya lebih muda melontar pertanyaan heran.
Widura dan sepupunya yang ternyata kakak kandung bocah yang termuda spontan tergelak mendengar pertanyaan itu. Sesaat pertanyaan si bocah termuda tak mendapati jawaban. Si bocah hanya bisa keheranan. Ia merasa tidak melawak tapi mengapa dua saudaranya tertawa.
"Maksud pertanyaan kak Widura ke paman prajurit yang sebenarnya adalah: bisakah kak Widura ketika besar nanti jadi prajurit. Bukannya bisakah sekarang langsung jadi prajurit," Widura menjelaskan ke sepupunya yang lebih muda itu setelah tawanya reda. Dan si bocah pun menganggukkkkkkkk-angguk.
Pembicaraan mereka kembali membahas kegagahan para prajurit yang baru lewat di tengah desa itu.Mereka membahas betapa bagus kuda yang dinaiki para prajurit, betapa bagus baju yang mereka gunakan, dan lain sebagainya. Apapun yang dikenakan para prajurit bisa mereka jadikan bahan percakapan.
Di tengah-tengah percakapan itu, terdengar suara perempuan belia memanggil nama mereka dari kejauhan. Rupanya itu kakak tertua dari dua sepupu yang sedang bersama Widura sekarang. Ternyata yang barusan adalah panggilan makan siang. Maka segera mereka menghambur pulang.
Sesampainya di rumah tiga bocah itu langsung menuju ke halaman belakang. Mereka membasuh kaki, tangan, dan wajah masing-masing dengan air di jambangan. Lalu bersama-sama, mereka memasuki rumah sederhana itu dari pintu samping.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H