Mohon tunggu...
Jarang Makan
Jarang Makan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penggemar content manajemen, pengembangan diri, dan fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Cinta Hana dan Topi Hijau 3

3 Oktober 2024   07:04 Diperbarui: 3 Oktober 2024   07:15 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tema percakapan mereka kali ini mau tak mau mendatangkan kesuraman.

Karena nuansa muram yang makin terasa pekat, Hani memandangi Hana sambil memasang sebuah senyuman menggoda. "Karena mungkin aku cukup lama di sana dan sinyal ponsel mungkin akan sulit, kamu nanti jangan terlalu kangen ke aku loh," katanya.

"Ih kamu. Narsis banget deh. Siapa juga yang ngangenin kamu," Hana menjulurkan lidahnya. Walau di bibir ia berkata tidak, tapi jauh di kedalaman perasaannya Hana terasa ingin mencegah Hani berangkat.

"Jaga dirimu baik-baik, Hani. Semoga kamu selamat dan bisa membantu mereka." ucapan yang klise, tapi hanya itu yang bisa diucap Hana di saat ini.

"Terima kasih, Bu Hana," kata Hani masih dengan senyum menggodanya. "Aku akan selalu mengingat nasehatmu."

Baguslah. Awas kalau sampai melupakan nasehat ibu. Entar pas pulang akan Ibu jewer," jawab Hana meneruskan gurauan Hani.

Hani pun berpamitan kepada Hana dengan senyuman ajaibnya, senyuman yang bisa bikin siapapun bahagia bila memandangnya, mengucapkan selamat tinggal. Ia berjalan dengan langkah pasti, menjauhi taman tempat mereka berbincang.

Hana menatap punggung Hani yang semakin menjauh. Ia merasa sedih melihat Hani pergi, tetapi ia bangga dengan semangat Hani yang ingin membantu orang lain. Ia berharap bahwa Hani akan selamat dan bisa memberikan bantuan yang bermanfaat bagi para korban bencana.

Hana menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menguatkan dirinya. Ia mengingat pesan Hani, "Kamu fokus saja pada kuliah." Ia pun kembali ke perpustakaan, mencoba fokus pada tugas-tugas kuliahnya.

Namun di sisa sore itu, bayangan Hani terus menghantuinya. Ia berharap bahwa Hani akan segera kembali dengan selamat. Ia berharap bahwa Hani akan selalu aman di lokasi bencana.

Di keesokan harinya, Hana terus memantau berita tentang bencana gempa bumi tersebut. Ia rajin membuka situs berita, menonton siaran televisi, dan membaca lini masa portal berita. Ia ingin mengetahui perkembangan terkini tentang bencana itu, dan ia berdoa bahwa Hani akan baik-baik saja.

Di hari kedua, Hana mendapat kabar yang mengagetkan. Dua orang relawan mengalami kecelakaan saat bertugas. Seorang mengalami luka berat, sedangkan yang lainnya meninggal dunia.

Hana terkejut dan panik. Ia segera mencari informasi lebih lanjut, mencoba untuk mengetahui identitas kedua relawan itu. Ia berharap bahwa Hani bukanlah salah satu dari mereka.

Namun, takdir berkata lain. Beberapa jam kemudian, Hana mendapat kabar yang menghancurkan hatinya. Relawan yang meninggal dunia adalah Hani.

Hana terpaku, dadanya terasa sesak,matanya berkaca-kaca. Kekuatan tubuhnya seolah mendadak hilang. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Hani, sosok yang mulai memenuhi segenap pikiran dan emosinya, sosok yang telah banyak mengenalkan warna di hidupnya, sosok yang selalu ceria dan penuh semangat, telah pergi untuk selamanya.

"Hani..." gumam Hana, suaranya bergetar. "Kenapa kamu harus pergi?"

Hana meneteskan air mata, mencoba untuk meredakan rasa sakit yang menghancurkan hatinya. Ia teringat semua kenangan indah yang pernah ia lalui bersama Hani. Ia teringat senyum Hani, kata-kata Hani, dan kebaikan Hani.

"Hani, apakah karena ini kamu melarang aku kangen kepadamu," isak Hana. "Aku tidak percaya kamu sudah pergi."

Hana merasa hancur. Ia tak tahu bagaimana harus melanjutkan hidupnya tanpa Hani. Lelaki itu kini sudah jelas  bukan hanya sekadar teman baginya, Hani adalah sumber inspirasi dan kekuatan. Dan sepertinya Hani juga telah menumbuhkan tunas rasa cinta di hatinya.

Hana menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba untuk meredakan rasa sakit yang mencabik-cabik hatinya. Ia berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk. Ia berharap bahwa Hani masih ada di sisinya. Tapi kadang kala sesuatu yang kita harapkan malah cuma menjadi mimpi, sedangkan yang kita harapkan hanya sebuah mimpi malah jadi kenyataan.

Seminggu setelah pemakaman Hani, Hana mendapat telepon dari nomor yang tidak dikenal. "Halo, ini Kak Hana?" tanya suara lembut di seberang sana.

"Iya, siapa ya?" tanya Hana.

"Saya Dina, adiknya Kak Hani," jawab suara itu. "Kak Hani pernah cerita tentang kakak. Saya ingin bertemu dengan kakak."

Hana terkejut. Ia tak menyangka bahwa Hani pernah bercerita tentang dirinya kepada adiknya. "Oh, iya," kata Hana. "Saya ingin bertemu juga. Bagaimana kalau Di gazebo di depan perpustakaan kampus."

Dina menyahut, "Sore ini, jam lima, bagaimana?"

"Baiklah," jawab Hana. "Kita akan bertemu di sana."

Hana menutup telepon dengan perasaan campur aduk. Ia merasa sedih karena teringat Hani, tetapi ia juga penasaran dengan apa yang ingin disampaikan Dina.

Sore itu, Hana menunggu di gazebo yang biasa ia gunakan bersama Hani bila ingin bertemu. Tak lama kemudian, seorang gadis berambut panjang dengan seragam SMA mendekat. Gadis itu tersenyum, menyerahkan seikat bunga mawar putih kepada Hana.

"Kak Hana, saya Dina," kata gadis itu. "Terima kasih sudah mau bertemu dengan saya."

"Sama-sama, Dina," jawab Hana. "Saya juga ingin bertemu dengan kamu."

Mereka duduk di gazebo, menikmati suasana senja yang menenangkan.

"Kak Hana, Kak Hani pernah cerita tentang kakak," kata Dina. "Kak Hani menceritakan kalau ia bertemu dengan kakak di kampus, dan ia merasa senang bisa berteman dengan kakak."

"Oh, iya?" tanya Hana. "Hani pernah cerita tentang saya?"

"Sebenarnya Kak Hani nggak menyebut nama Kak Hana secara eksplisit. Ia hanya bilang seorang cewek dari fakultas sebelah, begitu sih," jawab Dina. "Aku memastikan kalau cewek yang ia maksud itu Kak Hana ya barusan aja. Sesudah aku menemukan sesuatu. Kak Hani bilang kalau ia suka dengan kakak. Tapi, ia masih malu-malu untuk mengungkapkannya."

Hana terkejut. Walau ia sedikit banyak sudah menduga bahwa Hani memiliki perasaan seperti itu padanya, namun mendengarnya dari orang lain adalah perkara yang berbeda. Ah, seandainya...

"Kak Hani juga menceritakan tentang perjalanan kalian ke hutan," lanjut Dina. "Kak Hani bilang kalau ia sangat bahagia saat itu. Ia mengatakan kalau waktu-waktu bersama kakkak adalah momen yang sangat berkesan."

"Terus yang tadi itu, kamu menemukan apa?" tanya Hana.

"Saya menemukan ini," jawab Dina sambil menyerahkan sebuah kotak kardus kepada Hana.

Hana menerima kotak itu dengan perasaan penasaran. Dina kemudian berpamitan. "Saya harus pulang," katanya. "Terima kasih sudah mau bertemu dengan saya. Semoga Kak Hana baik-baik saja."

Hana menatap punggung Dina yang semakin menjauh. Ia merasakan sebentuk keharuan karena teringat Hani. Ia merasa sedih karena kehilangan orang yang ia sayangi.

Hana kemudian membuka kotak kardus yang diberikan Dina. Ia terkejut melihat topi hijau yang familiar. Di dalam kotak itu, terdapat sebuah foto kecil yang bergambar Hana dan Hani sedang berpose bersama Elang Jawa. Di balik foto itu, terdapat tulisan tangan, "Karena topiku dan seekor burung, aku menemukan kamu."

Hana terpaku. Ia merasakan emosinya kacau balau. Dadanya tiba-tiba terasa sesak dan matanya terasa panas. Semua momen indah yang pernah ia lalui bersama Hani mendadak bermunculan. Topi hijau itu yang awalnya membuatnya penasaran dengan pemakainya. Ia juga teringat bagaimana kali pertama berkenalan dengan Hani. Diawali dengan terjatuhnya topi itu di hadapannya saat Hani menolong seekor burung kecil.

Air mata Hana tidak bisa lagi dibendung. Ia baru saja menemukan kristal-kristal cintanya dalam diri Hani. Namun kristal-kristal itu kini menjadi kristal-kristal air mata kesedihan. Ia merasakan kehilangan yang mendalam. Ia mengingat semua kebaikan Hani, semangat Hani, dan kasih sayangnya yang ada dibalik semuanya itu. Bersama Hani harinya selalu ceria. Bahkan di pertemuan terakhirnya, Hani tidak menginginkan hadirnya sebentuk kesedihan dalam perpisahan.

Hani, kamu akan selalu ada di hatiku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun