Mohon tunggu...
Jarang Makan
Jarang Makan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penggemar content manajemen, pengembangan diri, dan fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Menjauh karena Malu

30 Januari 2024   11:11 Diperbarui: 19 Februari 2024   14:09 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana sendu, bulan merona merah jambu.
di antara deru debu kita memadu.
hiruk pikuk tak terasa berkecamuk.
karena kita dalam cinta, terlena dan mabuk.
 
Janji-janji kita ucapkan.
harapan-harapan kita gantungkan.
di tiang-tiang lampu taman maupun pucuk dedaunan.
prasasti hati tergores di sejulur dahan.
bintik-bintik gerimis mulai berguguran.
berdua kita berteduh dari serangan hujan.
berdua menjalin indah rajutan angan.
 
Hari-hari aku berjibaku.
menjaga bulir-bulir cintamu cintaku.
aku yakin engkau juga begitu.
cinta bukan hanya keindahan kata-kata.
cinta perlu pula kilau permata.
mengejar target dari bos manajer.
dihujat, didamprat, dilaknat mulut customer.
seperti itulah rejekiku bersumber.
 
bagai Nelayan pergi berjuang menuju lautan lepas.
badai menyerang, perahu pun terhempas.
aku tertumbuk malang, tubuhku pun kandas.
aku hanya terlentang saat kesadaran terampas.
sebuah tunggangan menerjang dan hilang tanpa bekas.
 
Aku masih meragu itu semua terjadi.
diriku lalu membeku di biilik operasi.
tangan-tangan itu menjalani sebuah misi.
menyelamatkan hidupku dengan sebuah amputasi.
dua kaki itu kini tinggal satu sisi.
 
Dalam diam aku marah.
dalam bisu aku resah.
aku bertanya mengapa ada musibah?
aku kesulitan tersenyum ramah.
yang telah terkumpul kini musnah.
 
Pandangan itu sayu.
tatapan itu penuh ragu.
hujan deras menghalau debu.
keindahan perlahan berlalu.
terbersit enggan dalam kabut malu.
gaung langkahmu makin jauh terus melaju.
sembari menamai kisah kita sebagai masa lalu.
lembar-lembar kelambu tersingkap satu demi satu.
kesenangan selama ini ternyata semu.
 
Di atas roda aku terpekur.
pada sepasang tongkat kutanya makna kata syukur.
akankah hari esok aku hancur?
apakah hasrat terdahulu harus dikubur?
 
Hanya pada Tuhan aku tumpahkan keyakinan.
ternyata realitas emang keras.
impian dan harapan tak wajib terwujudkan.
tapi cahaya akan memercik selama nalar tidak picik.
jadi, kuatkan diri, hadapi dan lewati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun