Aku memulai menuliskan dari yang kutahu,
yaitu kata : aku
Aku dengan senang hati
menanyakan
“apakah kamu sedang mencari rumah? karena aku pun,”
Lalu kita sama-sama merasa tidak sendiri
di dunia yang bising
Aku dengan suka hati
menjadi kata sambung
antara kamu dan cahaya
agar rumah kita benderang
karena sesuatu yang baru baiknya cemerlang
agar terang mengiringi sejak mula,
Begitulah harap.
. . . . . . . .
Aku hanya bicara aku,
sebab tidak yakin kamu bagaimana
Senang kah? Suka kah?
Salah salah tebak ku, daratanmu dikuasai kebingungan?
Meronta, kamu sok-sok an bukan tokoh utama
Nyatanya selain utama kamu selalu pertama
Yang lebih nyata,
kamu sudah terpatri menjadi kata sambung antara Harapan dan Aku
menyibuki aku menulis banyak harapan
membuat bising jarak antara kata sambung itu
melampaui kata cukup, dan batas hanyalah batas
-
“di rumah ini, harapan seharusnya milik bersama!”
Teriakanmu lenyap ke atap
Masuk ke dalam daftar kenyataan
Memutus keterhubunganku dengan kata 'harapan'
Di pojokan kamu tersedu,
menatap langit-langit
Ra, 25 Januari 2019
*Potret berarti gambar atau lukisan yang seringkali merepresentasikan seseorang, yang mana seseorang tersebut menjadi dominan dalam gambar. Seri Potret berisikan 'surat terbuka' dalam bentuk puisi yang ditujukan untuk satu orang. Pesan yang disampaikan bisa perihal penantian, rasa cinta, rindu, dll. Semoga bertemu di Seri Potret selanjutnya!
Puisi Seri Potret Sebelumnya :
Potret IV
Potret V
Potret VI
Puisi Lainnya:
Sepertinya Ada yang Tak Nampak di Jendela
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H