Aku tak keliru, kulihat pola awan memucat pudar
Nyawa awan berlari dalam hitungan 0
Kemarau menyapu semesta berwujud sengatan,
Jenazah awan telah berkeranda di rumah duka
“Kapan?”
“Kapan berhenti bertanya?”
Firasat ajal mustahil wujudnya
Berang, Osiris tak mau menanggungnya
Jingga senja memudar jua tertuang dalam bendera kuning
Daun kering, nyawanya melayang ke batin akhirat
Akarnya, ditelan hangus oleh surya yang berapi-api
Sekiranya hidup, hidupnya tinggal puntungnya saja
Abu berlari tergelincir padamnya jasad,
Tinggal ruh di sajadah, tertinggal
Dera, cemas hendak berpulang kemana hadir
Warna hatinya ditampik langit
Dalam hitungan 0, sekarang sudah 1
Awan sudah ditelan kelam,
Panas kemarau menyiksa ruh dan jasad
Hati mayat hidup itu ditampik langit, tak ia miliki tempat berpulang.
Bandung, 3 Oktober 2016
Zahra,
Puisi lainnya :
Sepertinya Ada yang Tak Nampak di Jendela
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H