Makanya ketika hari itu datang, dengan gerak cepat kupeluk erat saat aku melihat Bunda di Stasiun Kota, menunggu aku. Kupeluk erat berharap Bunda mengerti penyesalan-penyesalan ini padanya, berharap Bunda mengerti kerinduan-kerinduanku padanya yang melembak selama ini. Bunda balas mendekapku penuh sayang, kutahu Bunda tak akan pernah berhenti menyayangi aku hanya karena aku menyebalkan. Kutahu Bunda tak kalah merindukan aku, bahkan ia telah berlinangan air mata saat mengantarku, bagaimana saat selama aku tak ada di rumah?
Keesokan harinya, aku masih terkantuk-kantuk di kasur saat Bunda membangunkanku.
“Katanya rindu Bunda bangunkan ya? Cepat bangun Kina, sudah siang.” Teriak Bunda dari lantai bawah.
Panik mendengar suaranya, aku langsung terbangun dan seketika kecewa melihat langit masih gelap di ujung jendela. “Bunda bohong, ini belum siang. Huu padahal aku masih ngantuk”
“Hihihi Bunda rindu sama omelanmu” tawa Bunda iseng,
Ah Bunda, aku jadi rindu merindu Bunda.
Bandung, 7 September 2016
Cerpen lainnya:
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI