Mohon tunggu...
Zahra El Fajr
Zahra El Fajr Mohon Tunggu... Penulis - a melancholist

Teacher | Fiksiana Enthusiast | Membaca puisi di Podcast Konstelasi Puisi (https://spoti.fi/2WZw7oQ) | Instagram/Twitter : zahraelfajr | e-mail: zahraelfajr@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[RINDU] Cerpen|Rindu Merindu

7 September 2016   01:33 Diperbarui: 31 Maret 2020   00:43 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kina, tolong bawakan Bunda panci di atas kompor,” titah Bunda. Uh, padahal aku hendak pergi main. Bunda membuatku kalut saja mengesahku jemu. Kululuskan saja dengan tak bersih hati. Bunda selalu mengutusku ini itu, selalunya aku padahal anaknya bukan hanya aku. Menyebalkan memang.

Kalau aku sedang tekun-tekunnya melakukan hal kusukai, Bunda sukanya tetiba memanggilku suka merepotiku, menyuruhku apalah; terkadang hal yang sanggup ia lakukan sendiri. Kesal karena dibuyarkan konsentrasiku, wajahku selalu tidak enak, entah Bunda menyadari atau tidak.

Saban pagi, Bunda menjagakanku. Kalau Senin sampai Sabtu, aku masih menurutinya untuk bangun, kecuali hari Minggu, aku sangat tidak suka kala Bunda dengan ngotot membangunkanku, aku terkadang kesal karena malamnya begadang menonton teve, aku masih penuh kantuk, tapi suara Bunda merintangi tidurku saja.

“Kayaknya senang ya kalau Bunda tak ada. Kina nggak akan keributan sebab suara Bunda lagi” prasangka buruk Bunda mode aktif. Aku kesal dituduh demikian. Akhirnya aku pun bangun dengan malas.

Belakangan Bunda membaca gelagatku yang tidak tulus setiap kali melakukan titahnya, Bunda berkata “Hitung-hitung berbuat baik sama orang tua, Kina..” aku menghela nafas.

Kecewa, hari pertama sesudah ini dan seterusnya Bunda tak pernah memanggil namaku kalau membutuhkan sesuatu. Aku dianggurkan. Aku merasa, tak karuan.

***

Sudah habis liburan setelah kelulusan SD, aku melanjutkan SMP di luar kota; di sebuah sekolah swasta berasrama. Hari dimana aku berangkat ke asrama, aku diantar sekeluarga. Kupikir situasi ini bisa kuatasi, aku menghadapinya dengan hati yang mantap. Berbeda dengan Bunda, sepanjang perjalanan ia tersedu-sedu, kepayahan melepasku. Tapi yasudahlah, Bunda masih punya Grani dan Tsui juga Ayah yang akan menemaninya di rumah.

Hari-hari di asrama menyenangkan, banyak teman baru dan semua hal baru lainnya. Aku menyukai semua hal baru dan menyenangkan. Dengan angkuh aku merasa aku bisa menghadapi semua situasi kedepannya. Lagi pula di asrama enak, tidak ada Bunda yang menyuruh-nyuruhku.

***

Seminggu berlalu, dua minggu terlewati, tiga minggu terlampaui, 1 bulan aku merana. Kegiatan padat di asrama dan sekolah, belum lagi senioritas, genk-genk-an yang menjamur sekaligus mengancam (sebenarnya banyak hal yang membuat tempat ini layak dibilang neraka dalam konteks ini), ada satu yang paling mengubek jantungku; aku merasa kehilangan Bunda. Sudah sebulan ini aku tidak berhadap muka dengannya, tidak mendengar suaranya. Lambat-lambat hatiku memaparkan yang sebenarnya, bahwa aku merindukan keberadaannya.

Aku mengubur kesedihanku di wc, menumpahkan air mataku disana agar tersamar gebyuran kran. Aku malu merasa angkuh selama ini menganggapnya bukan apa-apa kuperlakukan begitu. Aku memikirkan pengorbanan-pengorbanannya untukku, tentang hari itu ia melihatku keberatan lalu esoknya ia tak menggangguku lagi. Padahal itu masa-masa terakhir aku di rumah, aku malah membuat keruh kenangan buram kusut tak keruan hari itu. Sesal menumpangi aku.

Aku berniat menelpon Bunda lewat telepon umum di sekolah,

“Halo,”

“Halo Bunda, Bunda sehat?”
 “Ah, Kina, ada apa Kina? Bunda sehat, semoga Kina selalu sehat disana ya” bulir-bulir bening membersihkan bola mataku tak dapat ku cegah.

“Kina sehat Bunda, Kina ingin pulang”

“Kenapa ingin pulang nak? Disana menyenangkan bukan?”
 “Kina janji nggak akan susah disuruh lagi, Bunda.”

“Kina, Bunda ingin Kina jadi orang yang sukses dan baik,”

“Kina bisa jadi yang Bunda inginkan tanpa harus dibuang jauh kesini”
 “Karena Bunda sayang, Bunda harus rela melepasmu nak, ini demi Kina”

Suara isakan itu datangnya dari aku, tak kututup-tutupi lagi. Kudengar suara Bunda berat disana. Bunda pasti sudah tak tahan ingin menangis. Aku putuskan sambungan telepon, aku melengos dari telepon umum ke asrama.

Saat hendak tidur, aku kepikiran Bunda. Semakin kulupakan, ingatan tentang Bunda berulang dan tak terbilang. Kutimang, senyuman Bunda bersanding dengan penyesalanku, meskipun lautan maafnya tak akan surut, aku tetap tak bisa berhenti menangis mengingatnya. Kerinduan ini membuatku insaf, aku lebih membutuhkannya. Aku sadar ketika aku berpura-pura tak membutuhkannya. Aku rindu Bunda, yang selalu menyuruhku ini itu karena akulah yang ia andalkan, akulah satu-satunya anak perempuan Bunda. Akulah yang seharusnya lebih mengerti Bunda. Sela ruang yang panjang ini membuatku tersadar, aku menyayanginya bahkan kalaupun aku tak pernah ada. Aku hanya bisa menekadkan serius belajar di sekolah, melakukan hal terbaik lainnya demi membalas pengorbanan Bunda dan tentu saja Ayah. Karena aku sayang, aku tak akan mengecewakan mereka.

***

Makanya ketika hari itu datang, dengan gerak cepat kupeluk erat saat aku melihat Bunda di Stasiun Kota, menunggu aku. Kupeluk erat berharap Bunda mengerti penyesalan-penyesalan ini padanya, berharap Bunda mengerti kerinduan-kerinduanku padanya yang melembak selama ini. Bunda balas mendekapku penuh sayang, kutahu Bunda tak akan pernah berhenti menyayangi aku hanya karena aku menyebalkan. Kutahu Bunda tak kalah merindukan aku, bahkan ia telah berlinangan air mata saat mengantarku, bagaimana saat selama aku tak ada di rumah?

Keesokan harinya, aku masih terkantuk-kantuk di kasur saat Bunda membangunkanku.

“Katanya rindu Bunda bangunkan ya? Cepat bangun Kina, sudah siang.” Teriak Bunda dari lantai bawah.

Panik mendengar suaranya, aku langsung terbangun dan seketika kecewa melihat langit masih gelap di ujung jendela. “Bunda bohong, ini belum siang. Huu padahal aku masih ngantuk”
 “Hihihi Bunda rindu sama omelanmu” tawa Bunda iseng,

Ah Bunda, aku jadi rindu merindu Bunda.

Bandung, 7 September 2016

Cerpen lainnya:

Kamu Beri Aku Kisahan Lapuk

A-Zed

Pisahkan Saja Kalau Bisa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun