Memasuki akhir 2013, beberapa bulan ke depan, nuansa hangatnya sikon politik semakin terasa, namun terasa beda dari tahun-tahun yang lewat. Jika pada Pemilu-pemilu yang kemarin (Pasca 98), banyak orang sedikit adem, sebelum Pemilu Legislatif, tak begitu banyak bicara tentang siapa Presiden RI; mereka cenderung menanti setelah Pemilu, kemudian adanya koalisis parpol, serta kandidat-kandidat yang diusung koalisi tersebut.
Kali ini, jelang Suksesi Kuasa-Kekuasaan-Pusat Politik NKRI pada 2014, masih 2013 bahkan tahun sebelumnya, sudah banyak orang inginkan bahwa dirinya (yang paling tepat dan pas) menjadi penerus/menerima Suksesi Nasional tersebut.
Semakin ke sini, sudah banyak Bakal Kandidat yang telah mencapreskan diri (dan sekaligus tebar pesona sambil memperkenalkan di kehadapan publik). Misalnya, Abu Rizal Bakrie, Wiranto-Harri Tanoe, Prabowo, Rhoma Irama, Farhat Abbas; ada juga Dahlam Iskan, serta Imam Besar FPI (plus Suryadharma Alie) yang kemarin dicapreskan oleh para pengikutnya; mungkin ada yang lain, namun masih malu-malu kucing untuk tampilkan diri.
Dari semua Bakal Kandidat Presiden-Wapres di atas, umumnya mereka telah membentuk atau mempunyai TimSes dalam rangka PencapPresan-PencaWapresan, telah tampil di media, dialog di TV, juga melalui iklan. Sekali lagi, semuanya yang mereka lakukan itu, dalam rangka menarik perhatian publik, dan nantinya memilih sebagai Pres-Wapres.
Sayangnya dan teramat disayangkan, berbagai upaya tebar pesona dari para Bakal Kandidat itu, agaknya tak begitu mendapat respon publik. Coba anda perhatikan info image hasil survei Litbang Kompas di atas, ada sosok yang tak sekalipun bicarakan niat untuk menjadi Presiden, Wakil Presiden, ataupun orang yang berkuasa di NKRI, akan tetapi justru dialah mendapat penerimaan publik yang tertinggi.
Jokowi melewati semua tokoh-tokoh tua lainnya, apalagi Farhat, Rhoma, dan Rizieq FPI; nama dan sosok Jokowi melesat, meroket, semakin menaik jika dibandingkan dengan pada Bakal Kandidat lainnya; padahal ia hanya diam diri.
Dalam diamnya itu, justru nama Jokowi yang semakin meroket; meroket bukan karena ia gunakan bahasa roh, batin, ataupun ilmu telepati tingkat tinggi sehingga bisa ngobrol dan tebar pesona dari dari jarak jauh. Jokowi tak punya kekuatan dan kemampuan supra-super natural apa-apa, tapi dirinya bisa menjadi Kandidat Presiden di hati banyak orang.
Bayangkan saja, orang biasa (jika pernah bertemu Jokowi, maka mudah melihat kesederhanaan dan kebersahajaanya) namun bisa mengisi serat mempesona banyak hati orang Indonesia. Betapa tidak, dari hasil kerja Litbang Kompas di 33 provinsi, menunjukan semakin besar proporsi calon pemilih yang jelas menyatakan pilihannya terhadap sosok pemimpin nasional yang mereka kehendaki, dan itu tertuju ke/pada sosok Jokowi.
Dengan demikian, diriku juga sangat setuju dengan Litbang Kompas, bahwa,
"Bagi responden pendukungnya, paduan antara karakteristik persona yang dimiliki dan kompetensi yang ditunjukkan Jokowi selama ini menjadi alasan utama mereka menyandarkan pilihan. Ketulusan, kepolosan, dan kesederhanaan yang ditunjukkan Jokowi menjadi modal kepribadian yang memikat publik. Sisi kepribadian tersebut berpadu dengan kompetensi yang ditunjukkan selama ini dalam langkah politiknya. Ia tidak bersifat elitis, gemar turun langsung memotret persoalan. Sebagai pemimpin lokal, ia produktif mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat dan mencoba konsisten menyelesaikan permasalahan. Paduan antara sosok kepribadian dan tindakannya yang dinilai publik tidak artifisial ini mendapatkan tempat yang tepat di saat bangsa tengah merindukannya, ..."
Oleh sebab itu, menurutku, kita biarkan dan harus membiarkan agar Jokowi tetap tidak bicara atau berdiam diri tentan Pencapresan dirinya. Belum saatnya Jokowi bicara dan bertindak; akan tetapi biarkanlah rakyat yang bicara dan bertindak tentang Pencapresan tersebut; nantinya rakyat bicara dan bertindak, dan Jokowi ikuti kehendak yang berbicara serta bertindak tersebut.
Pada sikon diam sekarang pun, telah ada ratusan ribu, atau mungkin telah mencapai jutaan, Relawan Jokowi pada semua povinsi di NKRI.
Saatnya Rakyat menentukan pemimpin, bukan diberikan pemimpin, dan rakyat terpaksa menerima karena tak ada pilihan lain.
[caption id="attachment_274469" align="aligncenter" width="546" caption="doc kompas.com"][/caption]13775008121292574287
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H