[caption id="attachment_251426" align="aligncenter" width="500" caption="doc lipus.kompas.com/wartaekonomi/tribune/antara"][/caption]1364962767957906818Masih ingat dalam ingatan bahwa pada Awal Oktober 2012 yang lalu, puluhan ribu pekerja di Jabodetabek, membanjiri Jakarta; mereka membanjiri Jakarta dengan lautan manusia berorasi dan bernyanyi, serta berteriak. Mereka menuntut perubahan; perubahan dalam banyak hal yang mennyangkut hidup dan kehidupan sehari-hari. Dan setelah itu, adakah perubahan yang berarti, sesuai dengan tuntutan dalam aksi-aksi tersebut;!? adakah yang terdengar!? adakah sesuatu yang merubah dan berubah, sehingga nampak serta terlihat!?
Agkanya, aksi-aksi pada masa itu, dan hari-hari sebelumnya, praktis belum merubah apa-apa; buruh atau pekerja masih seperti apa adanya, walaupun sudah ratusan atau ribuan kali melakukan demo, aksi, orasi, dan lain sebagainya. Lihat sja, sikon buruh di sekitar anda dan bandingkan dengan suplemen (di bawah), tentu bisa menilain sampai jauh mana aksi dan orasi buruh merubah keadaan, dan sikon itu.
Dengan demikian, jika pada hari ini, ada dan terjadi aksi dan orasi buruh, dalam rangka Hari Buruh Sedunia; yang tuntutannya antara lain gaji (pokok) yang layak (sesuai UMR Regional) dan penghapusan sumber luar, agen tenaga kerja atau outsourrching, mungkin saja bisa berhasil; atau bahkan sia-sia atau menjaring angin.
Aksi dan orasi buruh pada hari ini, 1 Mei 2013, hanya mendapat janji dari pemerintah bahwa mulai 1 Mei 2014, dan seterusnya, dinyatakan sebagai Hari Libur Resmi. Namun itu bukan perubahan, tapi memang seharusnya.
Oleh sebab itu, pada setiap aksi dan orasi buruh, terutama di Indonesia dan negara-negara berkembang, adakah mereka melihat, menuntut hak-haknya yang lebih esensi dari sekedar gaji dan perubahan gaji!?
Sekali lagi, lihat suplemen, ada hal-hal yang lebi dan sangat penting dari sekedar gaji, outsourrching, dan hari libur resmi; hal-hal seperti itulah yang sepatutnya diperjuangkan oleh para buruh atau pun para pekerja lainnya. Berkaitan dengan itu, maka para para pemilik pekerjaan, pabrik, penguasa, dan pengusaha, seharusnya juga mampu merubah atau pun melihat ke dalam hidup dan kehidupan buruh - pekerja, karena mereka yang mempunyai andil besar pada sikon buruh yang termarginalkan.
1364962767957906818Selamat Hari Buruh
Teruskan Aksi dan Orasi tanpa Anarkis, Hingga Terjadi Perubahan
[caption id="attachment_251426" align="aligncenter" width="500" caption="doc lipus.kompas.com/wartaekonomi/tribune/antaranes.com/"][/caption]13673978151936376803SUPLEMEN
Buruh, Mereka Demo Karena Mereka Termarginalkan
SIKON UMUM BURUH DI NUSANTARA.
Mereka menjadi korban korban ketidakadilan para pengusaha.
Kemajuan sebagian masyarakat global (termasuk Indonesia) yang mencapai era teknologi dan industri ternyata tidak bisa menjadi gerbong penarik untuk menarik sesamanya agar mencapai kesetaraan. Para pengusaha teknologi dan industri tetap membutuhkan kaum miskin yang pendidikannya terbatas untuk dipekerjakan sebagai buruh.
Dan dengan itu, karena alasan kurang pendidikan (walaupun tak semua buruh dengan pendidikan yang rendah), mereka dibayar di bawah standar atau sangat rendah, serta umumnya, tanpa tunjangan kesehatan, transportasi, uang makan, dan lain sebagianya. Seringkali terjadi, buruh yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi pun, diperlakukan sama dengan yang berpendidikan pas-pasan.
Para buruh tersebut harus menerima keadaan itu karena membutuhkan nasi dan pakaian untuk bertahan hidup. Akibatnya, menjadikan mereka tidak mampu meningkatkan kualitas hidupnya.
Secara langsung, mereka telah menjadi korban ketidakadilan para pengusaha (konglomerat) hitam yang sekaligus sebagai penindas sesama manusia dan pencipta langgengnya kemiskinan.
Para buruh (laki-laki dan perempuan) harus menderita karena bekerja selama 12 jam per hari (bahkan lebih), walau upahnya tak memadai.
Kondisi buruk yang dialami oleh para buruh tersebut juga membuat dirinya semakin terpuruk di tengah lingkungan sosial kemajuan di sekitarnya (terutama para buruh migran pada wilayah metropolitan). Sistem kerja yang hanya mengutamakan keuntungan majikan, telah memaksa para buruh untuk bekerja demikian keras.
Sehingga cara hidup dam kehidupan yang standar, wajar dan normal, yang seharusnya dialami oleh para buruh, tidak lagi dinikmati oleh mereka.
Fisik dan mental para buruh (yang giat bekerja tetapi tetap miskin), telah dipaksa menjadi bagian dari instrumen mekanis.
Mereka dipaksa (dan terpaksa) untuk menyesuaikan diri dengan irama, kecepatan dan ritme mesin-mesin pabrik dan ritme bising mesin otomotif; mesin-mesin itu, memberikan perubahan dan keuntungan pada pemiliknya, namun sang buruh tetap berada pada kondisi kemiskinan.
Dengan tuntutan itu, mereka tak memiliki kebebasan, kecuali hanya untuk melakukan aktivitas pokok makhluk hidup (makan, minum, tidur) di sekitar mesin-mesin yang menjadi tanggungjawabnya.
MAKNA MARGINAL
Marjin, hasil margin [Inggris]; artinya batas atau pinggir atau tepi; marjinal berarti berhubungan dengan batas atau tepi;. Marjinal menunjukkan karakteristik yang berhubungan dengan batas suatu tepi atau pinggir dari pusat; misalnya, dalam dimensi budaya ataupun geografis.
Marjinal berarti wilayah pinggiran atau daerah tepian. Marjinalitas mempunyai arti yang menunjuk pada suatu kondisi atau situasi dari seseorang atau kelompok atau sesuatu yang berada pada posisi marjinal atau berada pada wilayah pinggiran dari komunitas atau struktur atau sistem yang di dalamnya seseorang atau kelompok atau sesuatu itu ada atau hidup. Marjinalitas untuk menjelaskan bahwa seseorang atau kelompok atau sesuatu memiliki keadaan marjinal.
Marjinalisasi berarti desakan atau pembatasan terhadap seseorang atau kelompok atau sesuatu dalam berbagai aspek yang mengakibatkan obyek desakan atau pembatasan ini tersingkir hingga berada pada batas atau tepi atau pinggiran.
Marjinalisasi menghasilkan orang-orang atau individu (atau pun kelompok baru yang) marjinal; yaitu mereka yang terpasung dalam ketidakpastian psikologis di antara dua (atau lebih) komunitas masyarakat/sosial; sehingga mereka penuh dengan ketidakmampuan mengekspresikan diri serta terbatas (karena dibatasi) daya jangkaunya.
Marjinalisasi tidak ada dengan sendirinya, tetapi terbentuk dengan dan melalui perencanaan yang terstruktur serta rapi; dilakukan oleh mereka yang berkuasa (dan mempunyai kekuasaan) yang berkolaborasi dengan ‘kelompok-kelompok ideologi - sara yang bisa digunakan sebagai alat penindas-penekan-paksaan.’ Kolaborasi tersebut bisa konkrit dan terang-terangan, maupun tak terlihat namun ada.
Dan ikatan yang melekatkan-menyatukan kolaborasi itu adalah kepentingan dan keuntungan bersama. Sehingga alat atau perangkat yang dipakai untuk melakukan marjinalisasi adalah politik, perencanaan pembangunan dan ekonomi, institusi pendidikan,  organisasi massa, kelompok-kelompok etnis, dan lain sebagainya, termasuk agama serta umat beragama.
[caption id="attachment_251426" align="aligncenter" width="500" caption="doc lipus.kompas.com/wartaekonomi/tribune/antara"][/caption]13673978151936376803
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H