Tulisan ini merupakan kelanjutan dari Kebohogan Publik Menteri Luar Negeri RI Kebohongan Publik Menteri Agama RI Kebohongan Publik Ketua DPR RI
Catatan I Bohong artinya tidak sesuai dengan hal-keadaan-sikon yang sebenarnya; bukan yangg sebenarnya; kebohongan adalah sesuatu yang bohong, tak mengungkapkan yang sebenarnya. Publik bermakna orang banyak atau umum; semua orang yang ada; orang ramai, masyarakat luas. Kebohongan Publik, adalah seseorang yang dengan sadar berkata - menyampaikan - melakukan kebohongan; dan ungkapan tersebut, tersebar luas dan bisa dipahami sebagai kebenaran atau  dipercayai kebenarannya.
[caption id="attachment_185697" align="alignright" width="180" caption="kompas.com"][/caption]13387871431641030779
Catatan II. Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, mempertanyakan janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal penyelesaian konflik pelarangan ibadah dan penutupan gereja. Ketua PGI Andreas Yewengoe berulang kali mengomunikasikan masalah itu ke Presiden. Bahkan, pada 16 Desember silam, di hadapan PGI, Presiden menjanjikan akan turun langsung menyelesaikan kasus intoleran itu. Tetapi, hingga kini belum ada solusi ampuh terhadap pembelengguan hak beribadah tersebut; sampai sekarang tak ada solusi atas berbagai serangan yang dilakukan massa intoleran ke/pada sejumlah gereja. Janji presiden, menurutnya, tidak sesuai dengan perkembangan penyelesaian kasus-kasus intoleransi tersebut. Karena itu, PGI menilai Presiden tak konsisten.
Menurut Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Presiden tak konsisten, akan tetapi, menurut saya, ia bukan sekedar tidak konsiten namun telah melakukan kebohongan publik terhadap Rakyat Nusantara, terutama ke/pada Gereja-gereja di Indonesia.
Presiden hanya sekedar menyampaikan janji; mengucapkan sesuatu untuk menyenangkan pendengar agar yang mendengar terhibur dan percaya bahwa Presiden mampu selesaikan masalah dan pergumulan rakyat (terutama mereka yang tertindas, minoritas, dan marginal).
Sayangnya janji sang presiden tak pernah tergenapi; rakyat tak bisa berharap bahwa pengharapannya pada janji-janji sang kepala negara akan menjadi kenyataan. Â Semuanya semu dan kosong serta hampa.
Lihat saja apa yang terjadi di Negeri ini, semakin jelas menunjukan bahwa Negara (degan Pusat Kekuasaan pada Presiden SBY) tidak berfungsi. Karena ketidak berfungsi tersebut, maka yang terjadi adalah kebohongan demi kebohongan, untuk menutupi ketidakmampuan mengatasi pergumulan rakyat.
Negara (dhi. aparat negara) seharusnya berfungsi sebagao alat untuk kebaikan dan ketertiban umat manusia. Dalam kerangka adanya kebaikan dan ketertiban itu, (aparat) negara harus mampu mencegah munculnya kejahatan, serta sebisa mungkin menghasilkan yang baik. Walaupun demikian, kekuasaan dan wewenang yang pada negara (orang-orang yang mengatur negara) tidak boleh menyalahgunakan kekuasaannya. Artinya, manusia tidak boleh menggunakan kekuasaan yang padanya untuk menindas sesamanya, pertumpahan darah, peperangan, serta berbagai tindak otoriter serta perbuatan anarkhis lainnya.
Akan tetapi, yang terjadi sekarang ini adalah sesuatu yang tak menentu.  Sikon kita, di Nusantara, yang ada NKRI tercinta, negara sebagai alat untuk kebaikan dan ketertiban umat manusia (manusia Indonesia) di Nusantara, agaknya jauh dari harapan. Pada era sekarang ini, pemerintah yang sekarang, manusia Nusantara yang seharusnya telah menjadi manusia baru hasil reformasi, tertib, maju, dan saling menghargai sesama sebagai anak bangsa, ternyata … .
Kekuasaan dan wewenang yang pada negara (orang-orang yang mengatur negara) yang seharusnya tidak menyalahgunakan kekuasaannya; tidak menggunakan kekuasaan yang padanya untuk menindas sesamanya; meniadakan pertumpahan darah, permusuhan antar warga; meniadakan tindak otoriter aparat negara; serta menghapus perbuatan anarkhis atas nama agama, dan lain sebagainya, lainnya; ternyata terjadi kebalikannya.
Di NKRI tercinta, pada satu sisi, sisi rakyat kecil, sisi umat minoritas, sisi rakyat yang tanpa uang, kuasa, dan kekuasaan, terjadi semua kebalikan dari fungsi negara yang baik dan benar. Di sana - sini, aparat negara menunjukan bahwa kekuasaan dan wewenang yang pada mereka bertujuan untuk negara menyalahgunakan kekuasaannya. Tidak sedikit aparat negara yang bekerja sama dengan preman-preman keagamaan, ormas radikal, pengusaha hitam, tokoh agama, politisi busuk, (dan secara bersama) melakukan penindasan, membunuh, bertindak brutal, merusak, menyingkirkan mereka yang tak sejalan-sepaham.
Aparat Negara, lebih mudah diam dan mengalah daripada menghasilkan perdamaian dan kebaikan kepada segenap warga masyarakat. Bahkan, negara lebih banyak diam dan tak berbuat untuk membela dan menenangkan warga (terutama kaum minoritas karena perbedaan sara) yang tertindas - tersingkir oleh mereka yang (merasa) kuat serta mayoritas.
Akhirnya, kita, rakyat (dalam/pada sikon hidup dan kehidupannya) harus menerima bahwa untuk dirinya, Negara tidak berfungsi ….. itulah nasib rakyat dan bangsa ini; lebih banyak rakyat ada pada wilayah yang Negara Tidak berfungsi; sehingga terasa bahwa mereka ada di negeri yang lain, negeri yang diperintah oleh pemerintah yang tidak berfungsi. .... dan presiden tetap saja melakukan kebohongan kepada rakyat.
Ternyata, SBY sama dan sebangun dengan Marzukie Alie, yang juga melakukan kebohongan publik. Sikap yang tak konsisten (menurut PGI) dan melakukan kebohongan publik tersebut sangat melukai perasaan rakyat RI, yang ikut memilihnya sebagai presiden. SBY sangat tega membohongi rakyat yang memilihnya; membohongi umat beragama; menyakiti hati mereka yang minoritas; menambah kepedihan hati kaum minoritas yang sudah mengalami penindasan serta menjadi umat yang tertindas.
1338527815194645416
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H