KISAH NYATA, Minggu Siang Hari ini, duduk di teras, menikmati cerah, karena sebelumnya hujan sejak sekitar 03:00 pagi. Kedatangan tamu yang belum pernah di kenal, mereka adalah sepasang suami isteri setengah baya (ternyata, bapaknya adalah pensiunan pns golongan bawah, dan isterinya membuka warung asi, di sekitaran kampus ternama di republik ini).
Ternyata mereka sementara mencari tempat/lokasi usaha baru; dan mampir dan bertanya tentang lokasi yang memungkinkan untuk membuka warung nasi. Saya, bertanya, mengapa harus pindah lokasi; sedangkan di tempat sekarang, cukup laris karena banyak melayani anak kost. Jawaban pasangan suami-isteri tersebut, membuat saya kaget dan sangat heran.
KAGET dan HERAN karena  (menurut tuturan mereka) hampir dua bulan terakhir, warung nasi mereka sepi, malah kadang hanya ada pemasukan Rp 10.000.- (sepuluh ribu rupiah); sangat jauh dari biasanya, yang bisa mencapai Rp. 200.000.-  Dan ketika mereka berdua mencari penyebab utamanya, ternyata ada tetangganya (yang juga tokoh agama di daerah tersebut) yang menyampaikan kepada orang-orang bahwa, 'jangan makan di Warung Nasi Ibu Maria, karena ia kafir; ia selalu masak dengan minyak babi, sehingga masakannya enak dan laris ... serta kata-kata rasis lainya" Menurut ibu Maria, sebagai orang asal Jawa Tengah, walau Kristen, ia tak pernah makan daging babi atau pun makanan yang dinyatakan haram (apalagi masak dengan minyak dari daging babi). Pasangan suami-isteri tersebut tak mau ribut, dan mereka memilih pindah. Itulah penyebabnya, sehingga mereka mau pindah ke tempat lain.
Dari kisah nyata di atas, saya melihat betapa rasisnya (sebagian atau oknum!?) orang-orang di beberapa wilayah  Indonesia.  Mereka tanpa malu (dan tak punya rasa malu) mengungkapkan hal-hal yang bersifat RASIALIS - SARA, untuk menjatuhkan serta merugikan orang lain.
Sentimen  SARA serta ungkapan rasis - rasialis agaknya menjadi senjata ampuh untuk  menembak siapa saja yang tak disukai. Sekaligus sebagai alat pada/dalam diri orang-orang (tertentu) untuk (atau dengan tujuan) menyingkirkan sesamanya.
Agaknya, sakitnya negeri ini semakin parah. Tokoh-tokoh agama, yang diharapkan dapat menjadi - dan menebarkan kedamaian, ternyata banyak yang menjadi penyebar-penebar kebencian (atas nama agama) terhadap sesamanya. Dan secara sadar, mereka telah menciptakan kerugian sosial pada masyarakat; sekaligus merusak tatanan hidup dan kehiduapan berbangsa serta bernegara.
Jika sikon seperti di atas tidak diubah dan berubah, mungkin (pada suatu waktu), jika orang mau makan di warung - restauran, maka perlu bertanya, pemiliknya beragama apa; atau mau membeli sesuatu, maka perlu mengetahui agama si penjualnya; atau jika mau naik bus-taxi, mak tanya dulu agama di pemilik atau si sopirnya. Poko'e .... segala sesuatu harus dihubungkan dengan agama sang pmilik - penjual - dan seterusnya. Â Dan masih banyak hal lain lagi ....
.......... memang negeri ini sedang sakit karena  intoleran dan radikalisme  agama...........
JAPPY PELLOKILA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H