Di negeri ini, ada semboyan ini negara hukum, maksudnya (mungkin) demi adanya keteraturan - ketertiban - keselarasan masyarakat (seluruh rakyat, tanpa kecuali), maka ada Undang-Undang dan peraturan (yang dikeluarkan Negara: Pemerintah dan Parlemen ) untuk mengatur semuanya.  Dan juga, di negeri ini,  ada semboyan semua warga negara sama di hadapan hukum,  maksudnya (juga mungkin) jika seseorang - seorang WNI berurusan dengan perADILan, maka terjadi suatu proses peradilan yang benar-benar adil; serta tanpa memandang siapa dia;
Semboyan Nan Indah tersebut (memang  akan lebih indah jika terjadi pada realitas hidup dan kehidupan semua warga negara Indonesia) menjadi ungkapan yang keluar dari bibir manis hampir semua pejabat di negeri ini. Semua aparat hukum, polisi, hakim, jaksa, pokrol, pengacara, dan seterusnya mereka yang selalu ada di ranah peradilan, juga mengungkapkan yang sama. Mereka semua ungkapkan yang sama bahwa ini negara hukum dan semua warga negara sama di hadapan hukum.
Tetapi, betulkan seperti itu ...!?
Ada banyak contoh bahwa semboyan sama dan kesamaan tersebut semu dan hanya impian - kata-kata kosong dan hampa. Lihatah, kasus seribu bunga di Timor Tengah Selatan - NTT, Kasus Sandal Jepit di Sulawesi, Kasus buah-buahan di Jateng, Kasus Piring di Tangerang dan lain sebagainya, mereka betul-betul mengalami sisi lain dari peradilan dan keadilan. Mereka harus mengalami keadilan yang cocok, yaitu peradilan yang tunduk pada UANG, KUASA, dan KEKUASAAN. Di sini, si kecil, si miskin, si tak punya, si tak punya uang, tak punya kuasa, tak punya kekuasaan, harus menerima keadaan sebagai yang salah dan harus dihukum (yang seberat-beratnya).  Dan mereka yang mempunyai dukungan POLITIK, KUASA, KEKUASAAN, serta UANG, bolehlah melanggar hukum. Toh nanti semuanya bisa diatur sehingga ada keadilan yang bukan berdasar KUH PIDANA/PERDATA, namun karena POLITIK, UANG, KUASA, KEKUASAAN.
Dan ada lagi, kasus-kasus kerusuhan atas nama agama di Jawa Barat, Sulawesi, Jawa Timur, dan pelbagai Nusantara, hmmm ... para pelaku utama dan aktor intelektual tetap terlindungi, sementara pion-pion dihukum dengan sangat adil, yah ... sekedar dihukum, namun tak menjadi terhukum yang sebenarnya (yang kemudian menyadari kesalahannya). Sehingga banyak orang dengan mudah melakukan tindakan-tindak brutal atas nama agama, toh ... mereka akan dihukum ringan; dan itu adalah dampak perjuangan dari perjuangan.
Akibat dari sisi lain dari keadilan seperti itu, Â maka jangan salah, jika di negeri ini, telah menjadi negeri berdaulat baru yaitu NEGARA berdasarkan HUKUM RIMBA. Lihatlah contoh di Lampung, Nusa Tenggara Barat, Jabodetabek, dan berbagai pelosok negeri, orang lebih suka melakukan tindakan hukum dengan suara senjata, suara pedang, menusuk, clurit, batu, bakar, keroyok, pentungan, rusuh, merusak, membunuh, pancung, dan seterusnya ... daripada duduk dan bicara bersama.
Hmmmmm ...
Banyak anak negeri sudah tidak bisa bicara dan tak mau bicara dengan kata-kata yang menghasilkan  keadilan hukum (sesuai KUH PIDANA/PERDATA), karena tak punya apa-apa untuk meraih - mendapat - membeli keadilan tersebut.
Dan juga, banyak orang di negeri ini, sudah tak peduli dengan apa yang ada pada KUH PIDANA/PERDATA, sehingga tak mau duduk bersama; mereka lebih suka teriakan brutal, suara kekerasan, gelinang darah, dan ketajaman pedang, serta letusan mesiu. Dan semuanya itu lebih mempan daripada ketukan palu hakim serta dididik dalam jeruji besi.
... sungguh ironis negeri ku ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H